Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Pasrah

"Apa-apaan kamu ini? Kok bisa berubah jadi kayak gini?" tanya Mba Lala setelah menampar ku.

Kak Anti hanya terdiam, wajahnya penuh keheranan. Aku sendiri bingung, apa yang sebenarnya mereka inginkan dariku. 

"Yaudah, ambilin kursi roda buat gue. Gue mau jenguk kawan gue. Abis itu, gue lanjut jengukin Rina," ujarku tanpa menatap mereka. 

Mba Lala menyahut, "Ngga usah, kalau cuma terpaksa." 

"Gimana sih, kalian? Kok dari tadi kayak nguji gue terus? Apa sih yang kalian inginkan?" tanyaku tanpa bergeming dari posisi. 

Mba Lala pun meninggalkan ruangan, sepertinya ingin mengambil kursi roda untukku. 

"Dek, kenapa sih tiba-tiba berubah seperti ini?" tanya Kak Anti, kesedihan terlihat dalam sorot matanya. Tak lama, pintu terbuka kembali dan Mba Lala kembali, kali ini bersama dengan wanita yang membuat semangatku kembali memuncak.

"Wulan," panggil ku sambil tersenyum ke arahnya. 

Senyumku terbalas oleh senyum manis Wulan. Suasana yang berbeda sekali dengan ketiga wanita di samping ku, mereka tampak terhenyak dan terkejut melihat keakrapan kami berdua. 

Perasaanku saat ini begitu berat, selalu merindukan kehadiran Wulan, dan hatiku tidak bisa menahan diri untuk menanti kehadirannya. Rindu yang ku rasakan seperti lama sekali tidak bertemu dengannya, jika saja kami bisa berdua, pastilah aku segera memeluk erat Wulan, dan mengecup pipinya yang begitu sulit untuk ku lupakan. 

Ketiga wanita itu kemudian menuntun ku untuk duduk di kursi roda. Awalnya, Mba Lala yang ingin mendorong kursi ini, tapi aku segera menolak. 

"Mba, biarkan Suster Wulan saja yang mendorong," pintaku, mataku tak henti menatap Wulan penuh harap. 

Tanpa tindak protes, Wulan pun mengambil alih kendali kursi roda. Kami bergerak menuju ruangan Valen. Ketika sampai di sana, aku melihat Valen sudah mampu duduk tegak, meski tangannya masih terbungkus perban tebal dan lengannya tergantung di lehernya. Suasana hati ku mulai terasa berat, tak mampu menyembunyikan rasa cemas yang melingkupi pikiran ku.

"Gimana, Bro? Udah agak enakan?" sapaku penuh kekhawatiran. 

"Udah, Bro. Paling sore nanti udah bisa keluar dari sini. Tapi..." ucapnya dengan suara serak, tak mampu melanjutkan kalimatnya. 

"Tapi apa? Ada masalah?" tanyaku dengan heran, merasakan kegelisahan yang muncul di wajah sahabatku. 

"Gue nggak bisa bayar biaya pengobatan gue, Bro. Dan sementara simpanan gue selama ini dipegang bini gue," jelasnya sambil menunduk, takzim dan pasrah. 

"Mas nggak usah pikirin itu semua, nanti biar gue urusin biaya administrasinya," celetuk Wulan dari arah belakangku, tangannya menepuk pundakku dengan lembut. Gue mendongak ke atas, mencari tatapan matanya yang penuh ketulusan. Dia mengangguk pelan, menegaskan keseriusannya. 

"Ngga usah sok baik, Lu! Gue ada uang kok," protes Kak Anti, suaranya mencirikan rasa sakit hati yang mendalam. 

"Ngga usah cari muka di depan adek gue! Dasar perempuan murahan!" lanjut Kak Anti menghardik, mengejek Wulan dengan penuh kebencian. 

Kembali, aku merasa emosi mendengar perkataan kakakku. Entah mengapa, hatiku seperti diiris perlahan, rasanya sakit, perih, dan gundah saat mendengar Wulan dihina oleh Kak Anti.

"Kak, sekali lagi gue dengar kata-kata celaan tentang Suster Wulan, gue nggak akan pernah maafin kakak lagi!" Aku bentak sambil menatapnya tajam. 

"Dek, kenapa sih lu tega belain cewek yang notabenenya baru saja lu kenal, dibandingkan dengan kakak kandungmu sendiri? Aku kecewa liat perubahanmu saat ini," ungkap Mba Lala.

"Oke, oke, mulai saat ini, kakak janji nggak akan ganggu kamu lagi. Jangan lupa jaga diri kamu baik-baik ya, kamu nggak usah cariin kakak lagi. Kakak yakin bisa jaga diri di kota ini tanpa kamu," ujar Kak Anti sesenggukan.

"Kakak pamit," lanjutnya kemudian langsung pergi meninggalkan kami semua. 

"Mba kecewa sama kamu, Dek," lanjut Mba Lala sebelum kemudian ikut mengejar Kak Anti.

"Lu nggak ikut mereka?" tanyaku menatap Pingki. 

Tapi sejenak Pingki tidak mempedulikan ucapanku, dia kemudian mengambil alih kursi roda. 

"Misi, Suster, gue mau ngomong penting sama Alex," pinta Pingki sebelum mengambil alih kursi roda.

Perlahan Pingki meraba ujung kepalaku, rabaannya turun ke pundak, kemudian bagian dadaku, dan menelusupkan tangannya yang membuatku risih. 

"Apaan sih, di liatin orang tuh," protesku. Namun, rabaannya merambah ke pangkal pahaku dan berakhir di ujung kaki. 

"Aku cabut dulu, Lex," ucap Pingki sebelum meninggalkan ruangan tempat Valen dirawat.

Kini hanya aku, Suster Wulan, dan Valen di sini. Wulan berdiri di sampingku, dan rinduku pada Wulan tak tertahankan. Aku segera melingkarkan tangan ku di pinggangnya, menyandarkan kepalaku dan menutup mata erat-erat. 

"Lex, " seru Valen, membangunkan ku dari lamunanku. 

"Iya, apa?!" tanyaku. 

"Kamu masih waras kan? Kok bisa sih kamu nempel sampe segitunya? Udah berapa lama kalian berdua dekat?" tanya Valen penasaran.

"Hmm... baru aja, tapi aku sayang banget sama dia," jawabku, tanpa ragu mengungkapkan perasaanku. 

Atmosfer menjadi lebih mendalam, ketegangan dan rasa haru bercampur dalam udara, seakan dunia sekitar kami pun ikut merasakan emosi yang meluap-luap.

"Jadi, lu udah..." belum sempat Valen melanjutkan kalimatnya, aku langsung menyela, "Iya, udah. Gimana, lu setuju nggak gue pacaran sama suster cantik di samping gue ini?" tanyaku seraya meminta pendapat Valen.

Aku melihat dia menatap Wulan dengan tajam, dan Wulan pun membalas tatapannya. Ada sedikit perasaan aneh dalam diriku, melihat seberapa dalam tatapan mereka berdua, namun karena sudah begitu cinta, aku mencoba tidak mempedulikannya. 

"Sayang, boleh nggak kita lanjutkan permainan kita sebelumnya? Tapi kita mainnya bertiga lagi sama teman kamu itu, Valen. Kasihan dia, pasti udah nahan lama nggak dikeluarin. Jadi, aku mau bantuin dia juga," kata Wulan, meminta persetujuanku. 

Aku terguncang mendengar permintaannya itu, sejujurnya dalam hati aku ingin menolak. Tapi, untuk melihat kebahagiaan Wulan, aku akhirnya mengalah. 

"Boleh aja kok, Sayang. Selama kamu bahagia, gue juga ikut bahagia," jawabku tulus.

"Emangnya lu mau, bro? Nikmatin pacar baru gue?" tanyaku lagi kepada Valen, mengecek kembali keinginannya.

"Hehehe, siapa sih yang bisa menolak permintaan wanita secantik Wulan, Bro? Gue aja, kalau disuruh ijab kabul, langsung gue laksanakan hari ini juga," jawabnya dengan santai. 

Tiba-tiba, suasana hatiku bergolak. "Maksudnya apa, lu mau merebut dia dari gue?" tanyaku dengan penuh emosi.

"Nyawa pun gue pertaruhkan demi dia, Bro!" jawabnya dengan enteng. 

Kepala gue mendidih, rasanya ingin meledak mendengar ocehannya itu. Namun, dengan kondisi gue yang masih lemah, akhirnya gue hanya bisa menghela napas kesal ke arahnya.

"Udah... Udahhhh, aku cuma mau membantunya, sayang. Kalau kamu marah sama aku, gimana kita bisa bersama selamanya?" celetuk Suster Wulan berusaha menenangkanku. 

Emosi ku perlahan menurun dan akhirnya aku menyetujuinya. 

"Tapi, karena kamu masih belum bisa berdiri, kamu nonton aja ya permainan aku sama teman kamu ini," lanjutnya sambil tersenyum nakal. 

Perlahan, ia mulai melepas seragam dinasnya, diikuti oleh bra yang ia kenakan. Entah mengapa, bra itu dilemparkan ke wajahku. "Hmm, nikmatnya," gumamku dalam hati, menghirup aroma bra yang ditinggalkannya. Adegan yang terjadi di depan mata seolah mengetes kesabaran hati dan jiwa.

Dengan mata tertutup, aku mulai merasakan hasrat yang memuncak dalam diriku. Aku membayangkan Wulan yang cantik dan menggoda. Tiba-tiba, aku mendengar suara yang mengindikasikan bahwa Wulan dan Valen sedang saling mendekat. Aku memilih untuk menjauh dan mengamati dari kejauhan. Sementara Wulan dan Valen mulai saling mengeksplorasi tubuh mereka, aku merasa cemburu dan bingung. Namun, entah mengapa setiap permintaan Wulan selalu berhasil membuatku menuruti tanpa pikir panjang. Aku mencoba mengalihkan perhatianku dari adegan yang terjadi di depan mata, berusaha menenangkan diri dan mengendalikan hasrat yang mulai menguasai pikiranku.

Sejenak, Wulan menoleh ke arahku, seraya menggoda dengan melempar kecupan ke udara. Dia meremas dadanya sendiri, sembari memainkan lidahnya dengan menggoda.

"Astaga, betapa menggodanya Wulan saat ini, ingin rasanya kusumbat mulutnya dengan keras, tapi apalah daya saat ini hanya bisa menyaksikan adegan mereka."

"Ahhh.....ahhhh...aku keluar!" Teriak mereka hampir bersamaan. Mendengar ucapan mereka, aku bergegas melakukan kocokan super cepat, agar tak ketinggalan momen kenikmatan yang mereka raih. Dunia terasa berputar saat mereka saling meraih kepuasan.

"Aahhhhhhh Sayang, aku mau keluar, cepatlah kulum milikku!" pintaku, dan Wulan segera menghampiriku. 

Tanpa berpikir panjang, dia langsung mengecap rudalku hanya dengan ujung bibirnya. 

Crooootttt.....croooott !

 Kuembuskan cairan kenikmatan dalam mulutnya, mengalir deras, sebagian malah mengenai dadanya. Meski kendor, namun aku tetap terpesona oleh pemandangan menggoda di hadapanku.

"Brooo enak banget pacar lu, " celetuk Valen.

"Yank, kok kamu tega lakuin itu di depanku ? Apa kamu kurang puas denganku?" tanyaku ke Wulan yang masih bersimpuh di hadapanku.

"Aku hanya memberikan terapi sayang sedikit, agar temanmu cepat pulih. Setelah ini, dia pasti akan segera pulih," jawabnya sambil tersenyum lembut, lalu kembali melumat rudalku. 

"Udah bersih, Sayang," lanjutnya, "Kita ke ruanganku aja yuk, antarkan sekarang." Pintaku. 

"Aku balik dulu, ya Bro," ucapku.

"Kamu nggak marah lagi?" tanyanya dengan dahi yang mengkerut.

"Nggak, yang penting Wulan bahagia aja," jawabku, mencoba tersenyum meski hati tak seimbang. 

"Mas, aku antar Alex dulu," ujar Wulan, lalu mulai mendorong kursi rodaku. 

Sesampainya di ruanganku, aku tidak melihat siapa pun. Aku ingat tujuan keduaku adalah menjenguk Rina, tapi sekarang, aku tidak terlalu peduli lagi dengannya. Barangkali, demi diriku dan Wulan, lebih baik menjaga jarak dulu darinya. 

"Aku harus kembali bekerja dulu ya, Sayang. Masih banyak tugas yang harus kuselesaikan. Nanti aku balik lagi kok," ujar Wulan lembut, seraya mengelus tanganku dengan lembut. Kemudian, dia segera pergi meninggalkanku seorang diri, menyatu kembali dengan dunia penuh tanggung jawab

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel