Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Ada Apa denganku ?

"Kak, biar Suster Wulan saja yang membersihkan tubuhku, Kakak kan sudah lelah dari kemarin," ucapku, seakan mendukung Wulan. 

"Dek..." Panggilnya, menatapku dengan kecewa sebelum melangkah menuju kamar mandi ruangan ini, meninggalkan kami berdua saja di sini. 

"Terima kasih ya, udah mau merawatku," ucapku dengan hati-hati saat dia mulai mengelap sekitar dadaku. 

Wulan tersenyum hangat, "Sama-sama, terima kasih juga telah memberi kenikmatan barusan." 

"Lan, boleh aku tanya sesuatu?" tanyaku dengan rasa penasaran. 

"Boleh kok, apa sih yang nggak boleh untuk kamu?" jawabnya sambil tersenyum simpul dan mencolek ujung hidungku.

Sebenarnya, ada hal penting yang ingin kubicarakan dengannya, tapi perasaanku belum sanggup untuk mengungkapkannya.

"Boleh minta kartu nama kamu, sekalian nomor HP? Itu pun kalau nggak ada yang marah sih," lanjutku dengan malu-malu. 

Wulan mengangguk dan memberikan apa yang kuminta, sambil tersenyum manis, membuatku merasa sedikit lebih berani untuk menghadapi apa yang akan terjadi selanjutnya.

Entah sejak kapan dia mulai bermain kembali di rudal milikku, ternyata dia mulai mengurut naik turun rudalku yang masih setengah tegang.

"Lex boleh gue kulum punya lu, tapi lu juga jilat punya gue " pintanya dengan wajah memerah.

"Hehhee gue sih iya aja, yang penting lu mau " jawabku.

Tanpa menunggu Jawaban lain, dia kembali membuka bagian bawahnya, kemudian bokongnya yang semok perlahan semakin mendekat ke wajahku, tak lupa pula aku memberikan sambutan dengan lidahku yang sudah menjulur.

Setiap kali lidahnya menyeruak bibir kewanitaannya sesekali juga aku mengendus bau harum miliknya. Sedangkan dia mulai memasukkan rudalku di dalam mulutnya yang hangat, meskipun dia gelagapan seperti ingin mual, tapi dia tetap memaksakannya.

Gerakan pinggulnya hanya perlahan sepertinya dia ingin menikmatinya lebih lama juga, aku merasakan itu seperti tersiksa di sisi lain, dia juga bermain dengan rudalku hanya sekedar bermain main denganku. 

Sedetik kemudian aku sedikit memalingkan wajahku untuk mengeluarkan suara.

"Lan, pliss aku  mohon masukkan di lubang lu" pintaku.

Tanpa dia jawab lagi, dia langsung memutar tubuhnya di atas tubuhku.

Dia mulai jongkok di atas rudalku, sebelum dia melesakkan pinggulnya dia menyipitkan matanya dengan genit kearahku.

Mungkin Karena sebelumnya kami sudah saling memberikan penetrasi, jadi tidak begitu sulit untuk memasukkannya sampai mentok.

"Ahhhhhhh....." desah kami bersamaan.

"Lan, gue pengen ciuman, " ucapku.

"Gue milikmu Lex, gue dengan sukarela melakukan apapun yang penting lu bahagia!" jawabnya kemudian dia langsung membungkuk ke arahku, dan aku langsung menyambar bibirnya yang sedari tadi membuatku konak, bibir merah jambunya yang menjadi bulan bulananku menjadi bahan hisapan lidah dan bibirku.

"Hmmmm ....mhhhh ahhh !" guman kami di selingi desahan.

Gerakan pinggulnya semakin lama semakin di buat buatnya naik turun, memutar dan maju mundur dan gerakan ini begitu sangat kunikmati. Rudalku dengan bebas mengobok obok setiap lapisan dan setiap ruang di dalamnya, dan suara intens pergulatan kami, semakin menjadi ketika gerakan pinggulnya seperti berputar.

Dengan gaya unik Wulan, terpaksa aku melepas lumatanku untuk sekedar mengeluarkan desahan tertahan yang sedari tadi. 

"Ahhhh... ouucchhhhhh Lannn... sumpah, enak banget!" 

"Lannn... enak... aahhhhh... goyang lebih cepat... sayangggg... ouuuhhhhhgg" kataku semakin larut dalam kenikmatan.

"Ahhhh... punya kamu juga enak banget, sayang..." ungkap Wulan.

 "Panjang, gede, berurat, dan keras banget rasanya," lanjutnya, merasakan semakin kuat erat pelukan kami. 

"Ahhhh sayang, andai saja kamu suami aku, mungkin aku akan jadi orang paling bahagia di dunia ini," ucapnya dengan suara lirih. 

Gleekk... aku menelan ludah mendengar kejujurannya, ingin memilikiku sepenuhnya, seolah dia tidak bisa lagi menyembunyikan perasaan yang sesungguhnya. 

"Wulan, sayang... aku juga sayang kamu, tapi aku nggak punya apa-apa!" lanjutku, merasa tidak layak. 

"Ahhhhh... sayang, ini sudah lebih dari cukup bagiku. Cukup kamu mencintai dan menjaga aku, itu sudah membuatku bahagia," ujarnya sembari terus bergerak liar di atas tubuhku.

"Aku sayang sama kamu, Lan. Tapi aku merasa nggak pantas buat kamu yang hampir sempurna. Biarlah aku sendiri yang merasakannya, karena aku memang rendahan," ucapku sambil merasa kecil hati.

"Lupakan itu, Sayang. Kita jalani saja. Kita saling melengkapi kekurangan masing-masing, ya?" balasnya dengan tatapan yang penuh harap. 

"Maksudnya apa, Lan? Aku nggak ngerti," tanyaku dengan kebingungan. Dia menarik nafas, kemudian menjawab, 

"Kita pacaran aja, jika kamu belum yakin dengan dirimu sendiri. Aku percaya, kamu pasti bisa bahagiain aku, Sayang." 

"Jadi... kita pacaran mulai saat ini?" tanyaku lagi, kali ini dengan rasa gembira yang mulai merebak. 

"Iya, Sayang. Aku yakin kamu pasti bisa bahagiain aku juga," lanjutnya dengan senyuman yang hangat. 

Entah ada apa dengan diriku saat ini, apa yang membuatku begitu cepat mencintainya, aku bingung, namun untuk saat ini aku seperti tergila-gila dengannya.

"Ahhh... Kenapa kamu keluarkan di dalam, Sayang? Padahal aku sedang masa subur, bagaimana kalau aku hamil?" keluh Wulan ketika kami sama-sama telah mencapai puncak kenikmatan bersama. 

Aku tak bisa berpikir panjang saat itu. "Aku akan bertanggung jawab, Sayang. Aku mencintaimu," jawabku tulus. 

Entah mengapa, meskipun baru saja mengenal Wulan lebih dekat, aku merasa telah jatuh cinta padanya. Mungkin ini adalah cinta pandangan pertama. Aku yakin cinta itu bisa datang kapan saja, tanpa melihat seberapa lama kita saling mengenal. Sejenak aku menepis rasa heran yang muncul di benakku.

"Udah," celetuk Kak Anti yang ternyata sudah keluar dari kamar mandi. Untung saja dia baru saja selesai dan semoga saja dia belum menyadari hubungan kami berdua. Perlahan, Wulan bangkit dan beranjak turun dari ranjang, lantas melempar senyum manis ke arah Kakakku.

"Udah mandinya ? Mbak, Adekmu gentle banget deh," ujar Wulan sambil mulai memakai rok spannya. 

Tanpa menunggu lagi, dia langsung keluar dari ruangan. 

"Aku keluar dulu ya," ucapnya dengan ringan saat melangkah mendekati pintu. 

"Iya," jawabku singkat. 

"Hei, kok kalian udah panggil aku dan kamu aja?" tanya Kak Anti sambil menepuk-nepuk jidatku dengan jari telunjuknya. 

"Enggak, kok, Kak. Kan lebih sopan kalau memanggilnya begitu," jawabku mengelak, berusaha mengalihkan pembicaraan.

Tak lama setelah Wulan pergi, Mbak Lala dan Pingki pun masuk bersamaan. 

"Gimana, udah baikan belum?" tanya Mbak Lala saat berdiri di sampingku. 

"Udah kok, Mbak. Paling besok udah bisa keluar dari sini," jawabku. 

"Rina udah siuman, Lex. Awal dia sadar, langsung nyari kamu," lanjut Pingki. 

Gue mengerutkan dahi, mencoba memahami maksud Pingki. 

"Syukurlah," jawabku singkat.

Mbak Lala dan Pingki tampak terheran dengan jawabanku. Dari ekspresi wajah mereka, jelas mereka merasa bingung. 

"Kok kamu seperti biasa aja? Gak ada perasaan gitu?" tanya Pingki, tak mampu menyembunyikan keheranannya akan sikapku yang terkesan cuek.

"Jadi, gue harus berlari-lari di tengah jalan sambil teriak 'Horeee! Rina sudah siuman' gitu?" jawabku dengan nada kesal.

Plaaaakkkkkkk! Tamparan keras mendarat di pipiku.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel