06. Penyelamat Langit
"Pamaaaaan! Paman An Seeeeee!" Langit memanggil nama sang paman yang tentu saja tidak akan mendengar panggilannya, akan tetapi hubungan batin yang kuat telah membuat keduanya merasakan kesedihan serupa walau di tempat yang berbeda.
Langit hanya bisa terus menangis hingga membuat perutnya terasa lapar dan juga haus, akan tetapi tidak ada makanan atau minuman sama sekali. Langit pun hanya bisa duduk memeluk lutut sambil mencoba mengingat-ingat kejadian apa saja yang telah dia alami selama seharian ini. "Semula aku sedang bermain dengan bibi pengasuh, lalu ada kelinci putih yang sangat lucu dan aku mengejarnya."
"Tanpa sadar aku keluar dari lembah dan tersesat, lalu ... tiba-tiba saja ada banyak orang yang mengejarku." Langit merinci kejadian hari ini di dalam pikirannya. "Kemudian juga, aku ditolong oleh Kakak Jatayu ... eh di mana dia?"
Langit mengedarkan pandangannya ke sekeliling hutan dan tidak ada apa pun yang ia temukan, selain hanya ada pohon, semak dan sesekali hewan-hewan malam berseliweran. Tidak ada satu orang pun manusia yang ada di hutan itu. Langit merasa kehilangan penolongnya yang hilang entah ke mana dan membuat dia kembali sendiri dalam ketakutan.
"Ya, Dewaaaaa! An Zi takuuuuut!" Langit menjerit dengan tubuh menggigil disertia kepanikan menyerang hatinya.
Bagaimana pun juga dia hanyalah anak kecil yang seharusnya masih dalam dekapan hangat seorang ibu dan diperdengarkan dongeng indah sebelum tidur seperti anak-anak pada umumnya. Namun seorang Langit, harus mengalami kesepian sepanjang waktu dan hanya bisa berteman dengan para pengasuhnya saja.
Langit hanya merasa memiliki seorang paman yang sudah di anggap sebagai ayah sekaligus gurunya. Bahkan jika Langit menanyakan perihal siapa orang tua kandungnya pun, An Se tidak pernah mau berterus terang dan selalu menyembunyikan tentang kedua orang tuanya.
Langit teringat akan suatu hal tentang pertanyaannya yang tidak akan pernah mendapat jawaban yang dia inginkan. "Paman, siapakah dan seperti apakah kedua orang tuaku? Lalu, mereka ada di mana?"
"An Zi, keponakan paman yang pintar. Saat ini belum waktunya bagi kamu untuk mengetahui tentang kedua orang tuamu. Tetapi percayalah, kalau mereka sangat menyayangi dan selalu merindukan An Zi. Mereka juga tahu, kalau putranya ini telah tumbuh menjadi seorang anak yang pintar, tampan dan sangat menggemaskan." An Se berkata sembari membelai kepala keponakannya.
"Tapi, Pamaaan! Mengapa mereka meninggalkan aku di tempat seperti ini dan membiarkan aku tidak mengetahui seperti apa wajah mereka? Bukankah itu sama saja dengan menelantarkan aku?" Langit selalu merasa jikalau kedua orang tuanya tidak menginginkan kehadiran dirinya di dunia ini. "Mereka bahkan tidak tahu seperti apa wajahku!"
"Paman, semua kawan-kawanku yang ada di lembah ini punya orang yang mereka panggil dengan sebutan ayah dan ibu. Tetapi aku tidak ada dan hanya punya Paman saja di sampingku." An Zi kecil menjatuhkan kepalanya di pelukan sang paman. "Dan mengapa aku harus memakai nama Langit saat berada di luar lembah? Aku sungguh tidak mengerti, Paman."
Bagaimana mungkin anak seusia dia mengerti akan adanya masalah serius di dalam lingkup keluarganya. Anak itu bahkan dengan sengaja dijauhkan dari lingkungan keluarga yang konon masih dalam keadaan sulit untuk memecahkan masalah mereka (saya akan mengarangnya secara perlahan. Eeeh, maksudnya ... saya akan menceritakan secara pelan-pelan dan mungkin membuat Anda semua sedikit bingung)
An Se hanya bisa mengulum seulas senyum kecil nan lembutnya. Pria muda tampan berwajah oriental dengan sepasang mata sipit itu pun berkata, "An Zi, percayalah pada paman! Kamu masih ada orang yang seharusnya kamu panggil ayah dan ibu."
"Dan untuk nama Langit, itu juga memang nama lahirmu." An Se merasa sedikit bingung untuk menjelaskan perihal sesuatu yang belum saatnya diketahui oleh anak sekecil An Zi. "Kelak kamu akan mengetahuinya setelah engkau dewasa. Sekarang, kamu hanya bisa patuh kepada pamanmu ini saja."
Langit hanya bisa bersedih jika teringat pembicaraan apa pun dengan sang paman mengenai orang tuanya. "Mengapa paman dan orang-orang dewasa suka sekali bermain rahasia denganku? Mereka semua bahkan tidak mau berbagi dengan seorang An Zi!"
Ketika Langit sedang merasakan kekacauan di dalam hatinya, di saat itulah para naga yang sedang terlibat dalam pertempuran sengit di langit tinggi. Mereka masih saling menyerang dan beradu cakar untuk mengalahkan lawan. Kilatan cahaya disertai awan pekat telah berhasil menutupi permukaan wajah rembulan yang menggantung di angkasa malam.
Suara gemuruh di langit telah membuat sebagian manusia yang tengah berada di luar rumah mereka menyaksikan dengan mata telanjang fenomena alam yang sangat menakjubkan. Mereka mengira, jika itu adalah sebuah pergerakan secara alamiah dari langit. Namun, para ahli ilmu perbintangan merasakan hal yang lain. Mereka bahkan meramalkan, bakal ada sebuah peristiwa besar dan kekacauan akan terjadi di Kerajaan Pangkuran.
"Aa--apa itu?" Langit baru sadar akan adanya pergerakan hebat di langit tinggi yang tampak sedang berusaha mengamati kilatan-kilatan cahaya saling berlilitan satu sama lain.
"Apakah itu kilat guntur?" Langit kembali berpikir, "Tapi, bukankah kilat guntur tidak berwarna ungu? Sejak kapan kilat halilintar di langit berwarna ungu?"
Langit mencoba mengingat kembali jikalau sedang turun hujan dan memang tidak ada kilat halilintar berwarna ungu. "Aneh sekali?"
"Dan lagi, bukankah hujan baru saja berhenti?" Langit masih merasa sangat tidak mengerti dengan kejadian alam yang sangat langka pada malam hari ini. "Aku jadi penasaran dan ingin melihatnya dengan lebih jelas lagi."
Langit mencoba bangkit meski tubuhnya terasa lemah. Dia berdiri dan mendongakkan kepala menatap langit di antara celah-celah dedaunan pohon hutan yang cukup lebat, sehingga dia harus sedikit mencari tempat yang lebih lapang agar bisa dengan jelas melihat pergerakan-pergerakan asing tersebut. Langit menatap langit dengan perasaan takjub yang untuk sementara ini telah sedikit membuat dia lupa akan ketakutannya.
Sementara itu di angkasa raya, di dalam lingkup kilatan cahaya ungu dan gumpalan awan hitam tengah terjadi pergumulan ganas antara naga ungu dan naga hitam. Tentu saja bentuk tubuh mereka tersamarkan oleh kelamnya jubah malam yang menyelimuti mayapada di sebagian belahan bumi.
"Jatayu, selama ada aku yang melindungi anak itu, maka kamu tidak akan pernah bisa membawanya ke Klan Naga Hitam!" seru naga ungu sambil masih membalas serangan cakar ganas dari naga hitam yang terlihat sangat ingin menjatuhkannya.
"Kalau begitu tidak ada jalan lain lagi, selain daripada membunuhmu!" Jatayu yang semula bersikap teramat lembut, sekarang bagai dengan sengaja menunjukkan sisi gelapnya. Anak muda itu terus berusaha keras mengenai tubuh lawan dengan cakar dan mulutnya.
"Dengan kemampuanmu itu, apakah kamu pikir bisa mengalahkan aku?" Lagak naga ungu seperti dengan sengaja meremehkan kemampuan naga hitam lawannya. "Lagipula, kau bukanlah murni dari ras naga hitam, tetapi mengapa kau berada di pihak para pengacau itu?"
"Apa?" Jatayu terkejut. "Bukan dari ras naga hitam?"