Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

HMT 7 - Uang Haram

"Mas pamit, ya? Assalamualaikum."

"Walaikum salam. Hati-hati Mas Bagas."

Bagas melempar senyum manis pada perempuan muda dengan daster bunga-bunga yang sedang berdiri di teras rumah. Kemudian ia segera menunggangi motornya.

Sambil berdiri di teras rumah, Laras memandangi Bagas pergi.

Selesai sudah dia menjadi istri dari laki-laki baik itu, karena selepas Bagas pergi dia harus kembali ke dunia barunya.

Dunia yang bahkan tidak pernah Laras bayangkan. Kini dia harus bersiap-siap untuk segera berangkat memenuhi pesanan para klien.

"Bagas!"

"Hei, Bagas! Keluar kamu!"

Laras yang sedang bersiap-siap di dalam kamar dibuat terkejut saat mendengar teriakan seseorang dari luar rumah.

Bu Rina. Jelas dia hafal suara perempuan itu.

Namun sebelum ia menemui tamu tidak diundang yang sedang marah-marah di depan pintu rumah, Laras mengintai lebih dulu dari tepi garis jendela.

Bu Rina datang dengan membawa dua orang tukang pukul. Sudah bisa Laras bayangkan apa yang akan mereka lakukan jika dia tidak membayar uang kontrakan.

Sementara itu di teras rumah, Bu Rina mulai bosan menunggu.

Seharusnya dari kemarin dia mengusir Bagas dan istrinya. Laki-laki tidak tahu diuntung! Padahal dia sudah kasih kesempatan untuk Bagas. Eh, laki-laki itu malah menolak.

Sekarang mau tidak mau, Bu Rina akan mengusir Bagas dari rumah kontrakan. Bila perlu, dia akan menyuruh dua orang antek-anteknya untuk menyeret Bagas dan istrinya.

Pokoknya tidak ada toleransi lagi. Bu Rina sangat murka.

"Bagaimana, Bu? Apa perlu kita dobrak pintunya?" tanya seorang lelaki bertubuh gempal. Dia salah satu tukang pukul yang Bu Rina bawa.

Bu Rina berdecak jengah. "Udah, dobrak saja!"

Dua orang tukang pukul bersiap mau mendobrak pintu. Namun, tiba-tiba saja pintu tersebut terdorong ke dalam. Kemunculan Laras membuat Bu Rina muak.

"Apa kamu lihat-lihat? Cepat keluar dari rumah saya!" teriak Bu Rina sekencangnya.

Sementara dua orang laki-laki bertubuh gempal yang berdiri di masing-masing sisi Bu Rina, segera memasang wajah sangar saat Laras menatapnya.

Laras tenang-tenang saja. Melihat reaksi perempuan itu, Bu Rina jadi naik pitam.

"Keluar kamu dari rumah saya atau ..."

Brak!

Belum juga Bu Rina selesai bicara. Perempuan itu dibuat terkejut saat Laras tiba-tiba saja melempar banyak gepokan uang ke mukanya.

"Saya rasa uang itu lebih daripada cukup untuk membayar rumah kontrakan ini sampai satu tahun ke depan," ucap Laras dengan tatapan dingin.

Bu Rina belum menjawab. Dia masih kaget. Matanya turun pada tumpukan uang gepokan yang kini berserakan di bawah kakinya.

Laras masih memasang wajah sinis saat Bu Rina menatapnya.

"Wah, apa ini? Tiba-tiba saja kamu jadi banyak duit! Hasil ngelonte, ya?"

Ocehan Bu Rina jelas saja langsung menyulut emosi Laras. Maka dengan cepat, tangan Laras mencengkeram rahang perempuan bertubuh gendut di depannya itu.

"Jangan banyak omong kamu, cepat bawa uang itu dan jangan pernah datang lagi kesini. Kalo perlu, saya bisa beli rumah busuk ini sekarang juga," desis Laras. Matanya menatap dengan tajam dan mengerikan.

Bu Rina jadi gugup ketakutan. Setelah Laras melepaskan, perempuan itu segera menyuruh pada pengawal untuk membereskan semua uang. Lantas mereka buru-buru pergi.

Dari depan teras rumah, Laras memandangi mereka pergi sambil mengepalkan buku-buku jemarinya.

"Sialan si Laras! Hampir saja saya jantungan! Tuh, sundel kesurupan atau apa sih? Kok serem amat!" Bu Rina bergidik sambil menceritakan apa yang ia alami.

Samsul, salah satu antek-anteknya turut menimpali, "Biarkan saja lah, Bu! Mau kesurupan jin iprit kek! Kesurupan Wewe Gombel kek! Yang penting tuh perempuan sudah kasih Bu Rina banyak duit!"

Bu Rina terkekeh geli. "Iya, ya! Yang penting 'kan duit!"

"Hahaha!"

Desi yang sedang menyapu halaman tak sengaja mendengar perbincangan Bu Rina bersama dua orang pengawalnya.

Laras memberi mereka banyak uang? Tiba-tiba saja Desi jadi penasaran. Uang yang banyak? Dari mana Laras punya banyak uang?

Bila di pikir-pikir, dia pernah beberapa kali melihat Laras yang pergi setelah dijemput oleh sebuah mini bus.

Apa Laras sekarang sudah dapat pekerjaan?

Jikalau begitu, bagaimana kalau dia minta Laras untuk mengajaknya bekerja juga?

Sejak anaknya masuk sekolah dan suaminya kena PHK, Desi mulai kebingungan mencari uang. Sementara usaha ayam bakarnya pun mulai sepi pembeli.

Brum!

Tiin!

Tiin!

Suara mobil yang menepi dan membunyikan klakson itu membuat Desi kaget. Dia segera menoleh ke arah sumber suara tersebut. Dilihatnya mini bus putih yang sedang menepi di depan pagar rumahnya Laras.

"Laras?"

Sambil memegang sapu lidinya, Desi keheranan melihat Laras masuk ke mini bus putih itu. Kemudian mobil segera melaju dengan kencang setelah pintunya tertutup rapat.

"Des, Abang mau jalan dulu!"

Desi yang sedang bengong jadi tersentak mendengar suara suaminya.

"Iya, Bang!"

Bergegas Desi menghampiri suaminya--Aryo--yang sedang memanaskan mesin motor di pelataran rumah.

"Kamu dari mana sih? Kok kayak kebingungan gitu?" tanya Aryo saat Desi mendekat.

Sang istri menggeleng. "Enggak, Bang. Aku cuma heran aja sama istrinya Mas Bagas!"

"Si Laras maksud kamu? Kenapa emangnya dia?" Acuh tak acuh Aryo bertanya.

"Ya, aneh aja gitu. Masa setiap pagi dia dijemput sama mobil!" jawab Desi menggebu-gebu.

"Mobil jemputan kerja barangkali," kata Aryo sekenanya saja.

"Ah, masa sih?" Desi masih kurang yakin.

Aryo menoleh ke arah istrinya setelah menaiki motor. "Udah, jangan dipikirkan. Abang pergi dulu, ya!"

"Iya, Bang. Hati-hati di jalan."

Aryo mengangguk. Laki-laki berkulit putih itu segera melajukan motornya. Setelah menjauh dari rumah, tiba-tiba saja Aryo teringat pada Laras.

'Ini rumah kontrakannya! Lumayan besar lah!'

'Makasih, Mas Aryo.'

'Iya, sama-sama. Oh, iya! Rumah saya di sana! Kalo perlu apa-apa, panggil saja!'

'Iya, Mas Aryo. Makasih banyak.'

Aryo mengangguk menanggapi ucapan dan senyuman Bagas kala dia mengantar laki-laki itu beserta istrinya, Laras ke rumah kontrakan Bu Rina.

Jujur saja, kecantikan Laras dan senyumnya yang manis sempat membuatnya melupakan Desi.

Aryo akui, perempuan asal kota Solo itu memang sangat cantik. Kulitnya kuning langsat, matanya sayu, hidungnya  mancung dan rambutnya hitam dan tebal.

Sebagai perempuan Indonesia, Laras bisa juara kalau mendaftarkan diri di ajang Miss Universe.

Aryo tersenyum geli mengingat semua itu.

~•~

Pagi itu langit teramat cerah. Mobil yang mengangkut para buruh proyek menepi di sebuah lokasi kontruksi yang letaknya di pusat kota.

"Ayo turun! Siap-siap sana!" teriak seorang laki-laki pada para buruh yang masih duduk di mobil.

Bagas dan lima orang buruh lainnya segera turun dari mobil. Mereka mulai bersiap-siap untuk memulai pekerjaannya.

"Bagas!"

Seorang laki-laki dengan helm warna kuning memanggilnya, Bagas menoleh.

"Pak Fandi," sapanya seraya tersenyum hangat.

Fandi membalas senyum, lantas dia menepuk bahu laki-laki bertubuh tinggi kekar yang berdiri di depannya.

"Saya seneng kamu mau terima ajakan saya. Bekerja yang rajin di sini, ya?" kata Fandi.

Bagas mengangguk. "Saya akan berusaha, Pak Fandi."

Fandi tersenyum puas menanggapi. Kemudian Bagas segera pamit untuk memulai pekerjaan.

Tak lama kemudian sebuah mobil memasuki wilayah kontruksi. Fandi yang sedang bicara dengan seorang mandor mulai teralihkan saat melihat gadis cantik yang keluar dari mobil tersebut.

"Huh, panas banget! Ngapain sih kita kesini, Pa?!" ujar seorang gadis muda berkulit putih sambil membuka kacamata hitamnya.

Laki-laki paruh baya yang datang bersamanya tersenyum tipis. "Papa ada urusan sebentar."

"Urusan?"

Langkah kecil itu segera menyusul sang ayah yang sedang menuju seorang laki-laki.

"Fandi!"

Pak Danu melambaikan tangan disertai senyuman hangat.

Dia merupakan seorang pengusaha terkenal di Jakarta. Kedatangannya ke lokasi kontruksi untuk menemui calon menantunya yakni Fandi Wicaksana.

Sementara gadis cantik yang datang bersama Danu tidak lain adalah putri tunggalnya yang bernama Elsa. Gadis itu baru saja lulus kuliah dan sedang merintis usaha butik.

Fandi tampak sangat menghormati Pak Danu.

"Apa kabar, Om?" sapanya pada calon ayah mertuanya itu, lalu melirik ke arah Elsa.

Gadis itu segera memalingkan wajahnya tidak peduli.

Kemudian mata Elsa menangkap sosok laki-laki yang sedang mengaduk bahan bangunan. Dia lantas membuka kacamatanya.

"Pa, cowok itu siapa?" tanya Elsa tanpa memalingkan pandangan dari laki-laki yang sedang ia pandangi.

Pak Danu yang juga tidak mengenal laki-laki yang Elsa maksud hanya menoleh ke arah Fandi.

"Itu Bagas," jawab Fandi.

"Bagas?"

Elsa tertegun.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel