Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

HMT 5 - Open Bo

Siang itu Matahari amat terik. Bagas bekerja dengan giat. Tidak peduli keringat membasahi kemejanya. Wajah sedih Laras terus terkenang di pelupuk mata. Bagas bertekad ingin menyenangkan istrinya dengan terus giat bekerja.

"Nak Bagas, ayo istirahat dulu!" teriak Pak Kardi pada seorang laki-laki yang sedang mengaduk campuran bahan bangunan.

Bagas menoleh sambil memegang cangkul. "Iya, Pak!"

Sementara dari kejauhan seorang laki-laki sedang memperhatikan Bagas.

Dia, Fandi Gumilang, pemborong yang menangani proyek bangunan di mana Bagas dan Pak Kardi bekerja. Usianya hampir sama dengan Bagas.

"Saya baru lihat orang itu. Apa dia masih baru?" Fandi bertanya pada mandor yang bertugas di lapangan. Matanya tertuju ke arah Bagas.

Pak Darma selaku mandor yang bertugas hari ini pun menjawab, "Benar, Pak. Dia baru bekerja hari ini. Namanya Bagas!"

Fandi manggut-manggut. "Saya harap dia bisa terus giat seperti itu, bukan hari ini saja."

Pak Darma cuma mengangguk. Dia menoleh satu kali ke arah Bagas yang sedang berteduh bersama buruh lainnya, lantas melanjutkan langkahnya menyusul Fandi.

"Kamu pasti capek ya kerja kasar begini? Mestinya sarjana kayak kamu ini kerjanya di kantor yang ada AC nya, persis Pak Fandi!" Pak Kardi bicara pada Bagas sambil menuangkan air untuk minum.

Bagas tersenyum tipis. "Namanya juga kerja, Pak! Apa pun itu, tetap saja capek! Saya justru bersyukur bisa dapat kerjaan yang halal," katanya lantas meraih gelas berisi air putih yang Pak Kardi sodorkan.

Pak Kardi manggut-manggut. "Saya turut prihatin atas keputusan Pak Handoko. Saya yakin, Pak Handoko akan kesulitan mengelola banyak pabrik dan perkebunannya. Suatu hari pasti dia akan memanggil kamu lagi," katanya sambil menatap Bagas.

Bagas terdiam lalu tersenyum. "Saya lebih berharap bisa bekerja tanpa campur tangan ayah saya," katanya sama Pak Kardi.

Pak Kardi cuma manggut-manggut menanggapi. Kemudian mereka mulai membuka nasi bungkus yang tersaji di depannya. Sambil mendengarkan cerita masa muda Pak Kardi, Bagas mulai makan.

~•~

Hari mulai petang saat mini bus putih menepi di tepi jalan. Dari tepi jendela, mata Laras mengintai. Benar dugaannya. Frans sudah mengirim sopir untuk menjemputnya sore ini.

Namun, apa dia harus pergi sekarang?

"Mas Frans minta Mbak Laras jangan lama-lama, karena jadwal hari ini cukup padat." Jarwo bicara setelah pintu di depannya dibuka.

Laras tertegun di tempat. Dan saat tangan sopir itu menyambar tas yang ia bawa, jiwa Laras terasa melayang tak tentu arah.

Jarwo bergegas melajukan mobil usai menutup pintunya rapat-rapat. Matanya melirik ke belakang di mana Laras duduk. Dilihatnya wajah perempuan itu yang sedang menunduk.

"Kenapa kita kesini, Mas?" tanya Laras pada Jarwo. Dia keheranan karena sopir menepikan mobil yang membawanya di depan sebuah hotel.

Jarwo menoleh ke belakang. "Mas Frans yang meminta saya mengantar Mbak kesini."

Laras tidak bertanya lagi. Perempuan itu segera turun dari mobil setelah Jarwo membukakan pintu. Langkah kecil Laras terayun menuju lobi hotel. Ia melirik ke sekitar. Bagaimana jika ada yang melihatnya?

Jarwo mengikuti langah Laras sambil menenteng tas yang berisi perlengkapan Laras. Semacam pakaian dinas, alat make up dan lain-lain yang Laras butuhkan saat melayani klien.

"Silakan masuk, Mbak!"

Glek!

Laras menelan ludah kasar. Jantungnya berdegup kencang saat Jarwo membukakan pintu sebuah kamar yang berada di lantai dua belas hotel tersebut.

Entah seperti apa kliennya malam ini. Laras ketakutan dan ingin segera kabur.

"Pak Beni sudah menunggu Mbak di dalam. Saya tunggu di mobil ya, Mbak?" Jarwo bergegas pergi setelah menaruh tas Laras di sofa.

Laras cuma mengangguk. Suara pintu ditutup dari luar membuatnya kaget.

"Nama kamu Laras?"

Suara seorang laki-laki dari arah belakang membuat jantung Laras nyaris copot. Masih dengan gemetaran, perempuan itu memutar tubuhnya untuk melihat rupa laki-laki tersebut.

"Saya Beni, Beni Wicaksana. Saya pengusaha tembakau di Solo. Saya dengar dari Frans kalo kamu juga berasal dari Sono, ya?" Laki-laki itu melempar senyum pada Laras.

Laras cuma mengangguk dengan canggung. Matanya memandangi sosok yang kini berdiri di depannya.

Beni memiliki postur tubuh yang tinggi kekar. Usianya sekitaran 45 tahun. Kulitnya sawo matang. Tangan, kaki dan dadanya berbulu hitam. Ada janggut tipis-tipis juga di dagunya. Laki-laki itu tidak pakai baju. Cuma handuk putih yang melilit di pinggangnya.

Beni menyeringai melihat cara Laras menatapnya. Kemudian dia berjalan menuju ranjang luas di kamar itu. Mata Laras mengikutinya dengan perasaan gusar.

"Sini, temani saya."

Glek!

Tenggorakan Laras terasa tercekat. Beni menepuk kasur kosong di sampingnya sambil duduk di tepi ranjang. Wajah laki-laki itu sudah kelihatan bernafsu sekali.

"Hm, saya mau ganti baju dulu. Mas Beni bisa tunggu sebentar," kata Laras. Dengan acuh dan berdebar-debar ia melenggang pergi menuju kamar mandi.

Beni mencengkeram kasur di kedua sisinya. Dia kesal dengan sikap sok jual mahal Laras. Maka dengan langkah cepat dia segera menyusul perempuan itu.

Brak!

"Ah, Mas Beni?!"

Laras yang hendak bertukar pakaian dibuat kaget saat Beni mendorong pintu kamar mandi dengan paksa. Dia segera mundur saat laki-laki itu maju ke depannya.

Beni tidak bisa menunggu lagi saat mendapati Laras yang cuma mengenakan pakaian dalam saja. Laki-laki itu segera mencekal lengan Laras, lantas mendesaknya ke dinding.

Laras memejamkan matanya rapat-rapat. Dia tak mau melihat wajah lawan mainnya. Sementara Beni yang sudah bernafsu terus saja menyentuh Laras dengan banyak ciuman.

"Ah, kamu bikin saya nggak tahan lagi, Laras!"

Beni yang segera menyeret Laras menuju ranjang.

Perempuan itu terjerembab ke kasur setelah dilemparnya dengan kasar. Dengan gairah yang memburu panas, Beni segera menyambar handuk putih yang menutupi keperkasaannya.

"Gimana, Laras? Kamu suka, kan?"

"Uh, kamu kok sempit banget, sih?"

Laki-laki itu terus mengerang nikmat saat berhasil membenamkan miliknya pada Laras. Beni terus mencium dan menggigit di sekitar leher dan dada. Laras dibutanya kewalahan.

Sementara itu di tempat kontruksi. Bagas sedang mencuci tangannya. Jam kerja sudah selesai, dia dan para buruh lainnya akan segera pulang.

"Bagas!"

Mandor tiba-tiba memanggilnya.

Bagas keheranan dan merasa cemas. Dia menoleh ke arah Pak Kardi. Laki-laki paruh baya itu cuma mengangguk menyakinkan Bagas, jika tidak ada yang perlu ditakutkannya.

"Bapak memanggil saya?" Bagas bertanya dengan sungkan saat menghadap mandor.

Pak Darma mengangguk, lantas menoleh ke arah laki-laki berpakaian rapi yang berdiri di sampingnya. Fandi mengangguk menanggapi.

"Saya suka kinerja kamu. Saya ingin kamu ikut dengan tim yang sedang membangun gedung di pusat kota. Saya rasa kamu cocok bergabung dengan mereka."

Pak Darma cuma manggut-manggut menanggapi ucapan Fandi pada Bagas. Mereka bertiga bicara sambil duduk di warung kopi yang tidak jauh dari lokasi proyek.

Bagas jelas terkejut mendengar tawaran itu. "Bapak serius?"

Pak Darma dan Fandi tertawa renyah menanggapi wajah terkejut sekaligus senangnya Bagas.

"Iyalah, Bagas! Masa Pak Bos bohong?" timpal Pak Darma kemudian.

Fandi mengangguk sambil tersenyum saat Bagas mentapanya.

"Terima kasih, Pak! Saya memang sangat membutuhkan pekerjaan ini." Bagas terharu. Dia menyalami tangan Fandi dan Pak Darma secara bergantian.

Fandi mengangguk. "Mulai besok kamu ikut saya ke pusat kota, ya?"

"Baik, Pak!"

Bagas senang tidak terkira. Akhirnya dia bisa dapat kerjaan yang lebih baik. Laras pasti senang mendengar kabar ini. Dia pun segera pamit.

Sambil mengendarai motor bututnya, Bagas terus bersiul riang. Dia tidak sabar ingin segera tiba di rumah lalu menyampaikan kabar gembira ini pada istrinya, Laras.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel