Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

HMT 4 - Aku Sudah Kotor Mas

Hari mulai pagi. Suara kumandang adzan Subuh menyambangi telinga Bagas. Laki-laki itu terjaga dari tidurnya. Dilihatnya kasur di samping yang masih kosong. Apa Laras tidak pulang?

Bergegas ia bangkit. Sambil duduk di tepi ranjang, Bagas mengusap wajahnya lalu menggeleng. Kemana Laras pergi sampai belum pulang pagi ini?

Lagi dan lagi, cuma pertanyaan itu yang terus bersarang di kepalanya. Semalam ia sempat mencari Laras. Namun, karena sudah larut malam Bagas tidak bisa meneruskan pencarian. Apa Laras pergi mengunjungi panti?

Ah, tidak mungkin!

Jikalau istrinya pergi ke suatu tempat, pasti Laras akan berpamitan dan meminta izin padanya lebih dulu. Sedangkan ini tidak. Bagas khawatir jika istrinya kenapa-napa.

Sedang kebingungan Bagas, tiba-tiba saja tercium aroma lezat masakan daria arah dapur. Bagas terkesiap.

"Laras?"

Bergegas laki-laki itu beringsut dari ranjang, lantas berjalan cepat menuju dapur. Dilihatnya punggung seorang perempuan yang sedang berdiri menghadap meja makan.

Bagas tersenyum lega. Ia segera menghampiri Laras.

"Mas Bagas sudah bangun? Aku sedang menyiapkan sarapan buat Mas. Sebaiknya Mas ambil air wudhu dulu. Selepas shalat Subuh kita sarapan bareng."

Bagas tersenyum. Dia tidak berkata apa pun. Laras dibuat terkejut saat laki-laki itu langsung memeluknya.

"Mas takut sekali kamu kenapa-napa! Kenapa pergi tidak kasih tahu Mas dulu?" lirih Bagas.

Laras tersenyum pahit. "Aku minta maaf, Mas. Kemarin aku ketemu sama teman lamaku. Dia mengajak aku kerja sebagai buruh cuci gosok di perumahan yang tidak jauh dari sini."

Bagas mengangguk. Dia percaya saja dengan ucapan istrinya. Lantas dilepaskan pelukan itu dari Laras. Dipandanginya dalam-dalam wajah istrinya.

"Mas cuma takut sesuatu yang buruk menimpa kamu, Laras. Mas lega kamu udah pulang."

Laras tersenyum. "Yaudah, ayo kita shalat Subuh dulu, Mas."

Bagas cuma mengangguk sambil tersenyum. Selanjutnya ia menggiring Laras menuju teras belakang rumah di mana mereka akan mengambil air wudhu.

Laras hanya terdiam sambil berdiri memandangi Bagas yang sedang berwudhu. Ia merasa sudah berdosa sekali karena telah membohongi suaminya tersebut.

Dipejamkan mata basah itu oleh Laras. Ia kembali teringat malam laknat yang sudah merenggut mahkotanya sebagai seorang istri.

"Kamu sudah menipuku! Bajingan kamu. Frans!"

Laki-laki yang sedang berdiri sambil menghitung uang cuma tersenyum mendengar teriakan, tangisan dan cacian Laras.

Setelah memasukan beberapa gepok uang ke dalam tas, Frans memutar tubuhnya sambil melempar banyak uang kertas ke depan Laras.

Wanita itu menanggapi dengan marah. "Aku bukan pelacur!"

Frans menyeringai tipis. "Terserah kamu mau ngomong apa! Nyatanya kamu sudah tidur dengan banyak laki-laki malam ini. Dan uang itu buat kamu."

Laras masih menatap dengan manik yang berapi-api.

Frans kembali menunjukkan senyuman yang remeh pada wanita di hadapannya.

"Kamu pikir kamu itu siapa? Kamu cuma pendatang di sini. Jutaan pribumi saja masih menganggur dan kamu mau kerjaan dari saya? Ini Jakarta, Laras! Kalo kamu nggak mau mati kelaparan di sini, maka terima saja kerjaan ini."

"Aku tidak sudi!"

Frans tersenyum miring. Laki-laki itu lantas mendekat pada Laras. Wanita itu dibuat terkejut saat tangan Frans mencengkeram dagunya. Laras menatapnya dengan sengit.

"Kamu pikir setelah malam ini kamu bisa terlepas dari saya begitu saja? Kamar ini sudah dipasangi CCTV. Saya bisa saja kasih tahu suami kamu tentang apa yang terjadi di sini. Saya juga penasaran, bagaimana reaksi Bagas kalo tahu istrinya yang cantik ini sudah digilir empat orang laki-laki dalam satu malam," desis Frans ke wajah Laras.

"Biadab kamu, Frans!" cerca Laras seraya menepis tangan Bagas darinya.

"Haha! Makanya jangan banyak bacot kamu! Nurut aja sama saya. Bukannya kamu juga sedang butuh duit?" Frans melirik ke arah Laras yang masih duduk di tepi ranjang.

Wanita itu menatapnya penuh kebencian.

Frans tersenyum remeh menanggapi. Setelah menyalakan api rokoknya, laki-laki itu melanjutkan, "Bagas Paku Handoko, dia anak orang berpengaruh di Solo. Lulusan bisnis pulak! Saya rasa laki-laki berpendidikan seperti dia tidak akan sudi menerima kamu setelah tahu semuanya."

Laras mengepalkan buku-buku jemarinya penuh emosi. Dia lantas bangkit dan langsung menyerang Frans. Namun, satu tamparan keras berhasil membuatnya jatuh terjerembab ke sofa.

"Bajingan kamu, Frans!"

Sambil memegang pipinya yang perih, Laras menatap murka saat laki-laki itu mendekat.

Frans menyeringai. "Kalo mau hidup kamu aman, ikuti permainan ini, Laras."

"Laras!"

Deg!

Laras dibuat terkejut saat Bagas memanggilnya. Buru-buru ia menyeka matanya yang basah, lantas memasang senyum untuk suaminya.

"Kamu kok melamun? Ayo ambil wudhu. Mas tunggu di dalam, ya?"

Laras cuma mengangguk.

Bagas tersenyum manis, lantas laki-laki itu segera melangkah pergi. Tinggallah Laras seorang diri di teras belakang. Dipandanginya punggung kekar suaminya yang kian menjauh.

"Mas Bagas ... Laras udah kotor, Mas ... Maafkan Laras ..."

Laras jatuh hingga bersimpuh di tanah. Ia menunduk dalam tangis yang pecah. Hatinya sakit, bathinnya hancur. Dia merasa kotor dan tidak pantas lagi untuk Bagas.

~•~

Bagas yang sudah bersiap mau mendirikan shalat dibuat keheranan karena Laras belum kunjung datang. Ada apa dengan istrinya itu? Sikap Laras sedikit aneh pagi ini.

"Mbak Laras?!"

"Tolong!"

"Mas Bagas!"

Suara teriakan itu mengejutkan Bagas yang sedang memikirkan Laras. Segera ia melompat keluar untuk melihatnya. Bagas terkejut melihat Laras yang tak sedang sadarkan diri. Sementara sorang perempuan sedang berteriak meminta tolong.

"Mbak Desi, Laras kenapa?!" tanya Bagas dengan ekspresi heran dan panik.

Dia segera mengangkat Laras dan menggendongnya memasuki rumah. Desi mengikuti.

"Laras?"

"Mbak Laras!"

Perlahan-lahan mata Laras terbuka. Samar-samar ia melihat wajah Bagas dan Desi.

"Mas bagas," gumamnya pelan.

"Jangan bangun dulu. Rebahan aja," kata Bagas yang segera menahan istrinya.

Desi menoleh ke arah Bagas dan Laras. "Syukurlah Mabak Laras udah sadar. Saya pamit dulu, ya?"

Bagas mengangguk sambil tersenyum tipis. "Terima kasih, Mbak Desi."

Desi cuma mengangguk. Dia menoleh satu kali ke arah Laras, lantas segera melenggang pergi.

Laras masih terdiam. Kondisinya sangat lemas usai dibantai empat laki-laki tadi malam. Dia tak punya banyak tenaga. Dan wajah cemas Bagas membuatnya ingin menjerit kencang.

"Laras, kamu istirahat saja di rumah. Sepertinya kamu kelelahan karena bekerja sampai larut malam. Hari ini biar Mas saja yang kerja. Kemarin Mas ketemu sama Pak Kardi. Beliau mengajak Mas kerja bersamanya jadi buruh proyek," kata Bagas seraya duduk di tepi dipan di mana Laras bersandar di tengahnya.

Laras memalingkan wajahnya. Dia tidak mau Bagas melihat kehancuran di matanya.

'Besok malam ada dua klien yang pingin kamu senengin. Nanti Jarwo bakal jemput kamu. Siap-siap, ya?'

Bathin Laras meraung hebat mengingat pesan Frans padanya.

Dia sungguh tidak mau melakukannya lagi, tapi apa daya laki-laki biadab itu terus mengancamnya. Dia takut sekali Bagas akan tahu. Laras tidak mau kehilangan suaminya.

"Kok melamun? Mas pamit, ya?" Bagas tersenyum memandangi wajah pucat Laras.

Istrinya pasti sangat menderita sejak menikah dengan dia. Bagas merasa sudah menjadi suami yang gagal bagi Laras. Meski memiliki ijazah dan gelar sarjana, dia kesulitan untuk mendapat pekerjaan.

Andai saja orang tuanya mau menerima pernikahannya dengan Laras, pasti hidup mereka tidak akan melarat seperti ini.

Namun apa daya, Bagas tidak mau meninggalkan Laras dan tetap menikahinya. Pun orang tuanya yang tetap pada prinsipnya juga.

"Hati-hati, Mas."

Bagas mengangguk. Diusap pipi istrinya sebelum ia bangkit dan meninggalkan kamar.

Dari tempatnya bersandar, Laras memandangi punggung suaminya pergi dengan berlinangan air mata.

"Mas Bagas ..."

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel