Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

HMT 3 - Di Tipu

Langkah kecil Laras terayun meninggalkan teras rumah. Ia menoleh ke sekitar. Tak lama kemudian, sebuah mini bus menepi tepat di depan pagar rumah.

"Mas Frans meminta saya untuk menjemput Mbak!"

Laras cuma mengangguk menanggapi ucapan sopir. Ia lantas masuk ke mobil tanpa menaruh rasa curiga sedikitpun.

Sopir bergegas melajukan mini bus menuju sebuah kantor kecil yang berada di pinggiran kota.

Sepanjang perjalanan Laras merasa sangat cemas. Entah di mana Mas Bagas saat ini. Dia tidak meminta izin dulu sebelum pergi. Bagaimana jika suaminya itu tidak setuju kalau dia bekerja?

"Sudah sampai, Mbak!"

Laras terkejut. "Ah, iya Pak! Terima kasih."

Sopir cuma mengangguk. Laras mengikuti langkah laki-laki itu menuju sebuah gedung. Sepertinya kantor Frans ada di sana.

Selama ini dia tidak pernah bekerja di pabrik apalagi di kantor. Laras punya cita-cita ingin menjadi seorang guru. Sayangnya, itu cuma mimpi belaka. Setelah lulus SMA, dia hanya membantu pengurus panti mengelola toko rotinya.

Bagas sering datang ke toko roti itu untuk mengambil pesanan ibunya. Dari sanalah mereka saling mengenal hingga saling jatuh cinta.

Sopir mengetuk pintu sebuah ruangan. Laras cuma berdiri sambil menunggu pintu dibuka. Jantungnya berdebar-debar.

Ini pertama kalinya ia akan bekerja pada orang asing. Meski cuma sebagai seorang asisten rumah tangga, asalkan bisa membantu Mas Bagas, ia akan bekerja dengan sungguh-sungguh.

"Masuk!"

Sopir bergegas mendorong pintu di depannya setelah terdengar seruan dari dalam ruangan tersebut. Laras mengikuti.

Frans terlihat sedang bicara dengan dua orang perempuan muda. Laras diminta menunggu oleh sopirnya.

Sambil duduk di sofa, mata Laras memindai ke sekelilingnya. Ruangan itu teramat sempit jika disebut sebuah kantor. Mungkin Frans seorang pebisnis muda yang baru merintis, pikirannya.

"Mbak Laras! Saya senang melihat Mbak datang!"

Laras bangkit dari sofa. Perempuan itu cuma tersenyum tipis menanggapi wajah sumringah Frans.

Sopir segera meninggalkan ruangan setelah Frans memberi isyarat. Tinggallah Laras yang mulai merasa risih karena hanya berduaan dengan Frans saja.

"Ayo diminum dulu teh nya, Mbak!" Frans tersenyum manis pada perempuan muda bertubuh ramping yang duduk di depannya.

Laras cuma mengangguk. Dia memang sedang kehausan sebab di rumah tak ada air mineral. Gas juga habis. Dia jadi tidak bisa memasak air.

Frans tersenyum melihat Laras menyesap pada cangkir teh di atas meja.

"Hm, boleh saya panggil Laras saja? Lagian usia kamu lebih muda dari saya. Biar lebih akrab juga, karena sebentar lagi kita akan menjadi rekan kerja." Frans bicara begitu manis. Matanya memandangi perempuan muda di depannya.

Laras tersenyum tipis. "Ya, nggak apa-apa!"

Frans tersenyum senang. "Ayo habiskan teh nya!" katanya penuh semangat.

Laras sendiri seperti orang yang kena hipnotis. Ia menghabiskan secangkir teh hangat yang sudah Frans bumbui obat tidur. Hingga saat ia merasa pusing dan lemas, laki-laki itu cuma menyeringai melihatnya.

Frans segera mengunci pintu ruangan. Ia lantas memapah Laras menuju sebuah private room yang berada di sudut ruangan tersebut.

Laras yang setengah sadar tak mampu berontak saat laki-laki biadab itu melucuti pakaiannya. Hingga saat Frans mulai menelusuri setiap inci tubuhnya, Laras sudah hilang kesadaran.

Frans, laki-laki itu begitu bergairah menggumuli tubuh polos Laras di tengah ranjang. Setelah birahinya terpuaskan, dia segera menghubungi seseorang.

"Dia ada di ruangan saya sekarang. Pak Handika bisa langsung kesini," katanya lewat sambungan ponsel.

Laki-laki itu tersenyum puas. Dia lantas melirik ke arah ranjang di mana Laras masih belum sadarkan diri.

Selang waktu tiga puluh menit, seorang laki-laki tiba di ruangan Frans. Dia orang yang sudah Frans hubungi.

"Dia ada di kamar, Pak. Santai saja! Dia masih belum sadar kok!" Frans menggiring laki-laki paruh baya bernama Handika menuju kamar di mana Laras berada.

Pintu lantas ditutup rapat. Frans tersenyum gembira. Dia segera meninggalkan ruangan.

Laras belum sadarkan diri saat Handika menghampirinya. Melihat seonggok tubuh perempuan muda tanpa busana yang sedang tergolek pasrah di tengah ranjang, laki-laki itu meneguk liurnya.

Laras mulai terjaga. Dia meringis saat merasakan sesuatu sedang mendesaknya dengan cukup kasar. Berangsur matanya terbuka. Ia jelas terkejut melihat seorang laki-laki paruh baya sedang berada di atas tubuhnya.

"Aaaaaa!"

"Apa yang Anda lakukan?! Lepaskan saya!"

Laras menjerit-jerit. Laki-laki itu sedang melakukan hubungan seksual akan dirinya.

"Diamlah! Saya sudah bayar mahal!" gertak laki-laki itu.

Laras tercengang.

Apa?

Jadi, Frans sudah menipunya?

Dia menggeleng tidak terima. Namun saat ia berusaha berontak lagi, laki-laki itu menahannya.

"Oh, enak banget kamu, Sayang."

Laras cuma bisa menangis tanpa punya tenaga untuk melawan. Hingga saat laki-laki itu pergi, dia nyaris pingsan kelelahan. Namun, Frans kemudian datang sambil membawa satu orang laki-laki.

"Ayo, Sayang!"

"Oh! Oh!"

"Yeaah!"

Laras tak sanggup bangkit dari ranjang. Laki-laki seumuran Bagas itu menggumuli tubuhnya dengan begitu bengis.

Suara desahan nikmat laki-laki itu yang ia dengar sebelum kesadarannya benar-benar menghilang.

*

Pukul sembilan malam Bagas tiba di rumah. Setelah menepikan motornya di teras, laki-laki itu berjalan cepat menuju pintu.

Hening.

Apa Laras sudah tidur?

Klik!

Bagas membuka pintu menggunakan kunci cadangan yang sering dibawanya. Situasi rumah tampak sepi saat ia melangkah masuk.

"Laras, kamu di kamar?"

Sambil menenteng sebuah nasi bungkus, Bagas berjalan begitu bersemangat menuju pintu kamarnya.

Hanya kasur kosong yang dilihatnya di sana. Kemana Laras pergi?

Diletakkan nasi bungkus yang dibawanya ke tengah meja makan, lantas ditutup dengan tudung saji. Bagas termenung kemudian.

Setelah menolak keinginan Bu Rina, dia tahu jalannya sudah buntu. Namun, saat motor bututnya melintasi wilayah proyek, seorang laki-laki paruh baya memanggilnya.

"Kalo kamu mau, kamu bisa kerja di sini. Ya, saya tahu kamu lulusan tinggi dan seorang sarjana, tapi tidak salah juga kalo kamu mencoba bekerja sebagai buruh proyek, bukan?"

Bagas memejamkan mata teringat ucapan Pak Kardi.

Dahulu, laki-laki paruh baya itu pernah bekerja di kediaman orang tuanya di Solo. Pak Kardi bekerja sebagai sopir. Namun setelah dia lulus kuliah, Bagas tidak pernah lagi melihat Pak Kardi.

"Saya pernah menabrak seorang anak waktu mengantar Pak Handoko menuju kantor. Pak Handoko sangat marah, kemudian beliau memecat saya."

"Lantas, bagaimana dengan anak yang Pak Kardi tabrak?"

"Anak itu meninggal setelah sempat dilarikan ke rumah sakit."

Begitulah cerita Pak Kardi tentang dirinya yang tidak bekerja lagi pada orang tuanya. Bagas turut prihatin. Kemudian dia menerima ajakan Pak Kardi untuk bekerja bersamanya menjadi buruh proyek.

Selepas lamunan Bagas tentang pertemuannya dengan Pak Kardi, ia kembali memikirkan Laras. Ekor matanya melirik ke arah jam dinding yang bertengger di seberang tempat ia duduk saat ini.

Sudah pukul 12 malam. Kenapa istrinya belum juga pulang?

Bagas ingin menghubungi Laras, tapi dia tak punya pulsa. Kemudian ia mengirim pesan.

"Laras, kamu di mana? Mas sudah tiba di rumah. Mas bawakan nasi rames kesukaan kamu. Mas juga udah dapat pekerjaan. Cepat pulang, ya?"

Dipandangi layar ponselnya yang buram. Bagas menunggu pesan balasan dari Laras. Hatinya gelisah bercampur khawatir. Kapan istrinya akan pulang?

Prang!

Suara itu mengejutkan Bagas. Ia bergegas bangkit, lantas berjalan cepat menuju ruang tengah rumah. Dilihatnya potret pernikahannya dengan Laras yang jatuh berserakan di lantai.

"Laras, firasat apa ini?"

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel