Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

HMT 2 - Butuh Uang

"Saya, Frans!"

Laki-laki itu mengulurkan tangannya ke depan Laras. Ia tersenyum manis sekali saat manik-manik hitam perempuan muda itu menatapnya.

Tergugup Laras menjawab, "Aku Laras," katanya seraya menerima tangan Frans.

Laki-laki itu tersenyum senang. "Kalo boleh tahu, Mbak Laras kenapa sedih gitu? Lagi ada masalah ya?"

Laras buru-buru menggeleng. "Enggak kok! Maaf, aku mesti pulang."

Frans manggut-manggut. Matanya memandangi punggung Laras menjauh pergi.

Tak lama kemudian dua orang laki-laki menghampirinya.

"Ikuti perempuan itu," bisik Frans.

Dua orang laki-laki itu mengangguk. Mereka lantas pergi menyusul Laras.

*

Langkah kecil Laras tiba di depan pintu pagar rumah. Perempuan itu memalingkan wajahnya tampak sedih. Mas Bagas pasti sedang menunggunya pulang.

Dengan wajah murung, tangan putih itu membuka pintu pagar. Laras berjalan menuju teras rumah. Dilihatnya Bagas yang sedang sibuk membetulkan motornya.

"Maaf, Mas Bagas. Warungnya tutup, jadi Laras nggak bawa kopi buat Mas."

Bagas menoleh ke arah sumber suara lirih tersebut. Dilihatnya wajah Laras yang tampak sedikit pucat.

"Nggak pa-pa. Mas bisa ngopi di warung dekat proyek," katanya berusaha menyingkirkan kekhawatiran sang istri.

Laras cuma mengangguk. Ia lantas berjalan memasuki rumah kecil itu. Mas Bagas pasti berbohong. Bahkan dia tidak menemukan satu uang koin pun di saku kemejanya. Mustahil dia bisa ngopi di warung.

Bathin Laras kembali menjerit saat tidak menemukan sebutir beras pun di dapurnya. Ekor matanya melirik ke arah laci meja. Seingatnya masih ada mie instan yang ia simpan di sana.

Brak!

Laci meja dibuka. Wajah Laras berbinar melihat satu bungkus mie instan di sana. Benda itu seolah tersenyum menyambutnya.

"Mas, jangan pergi dulu! Aku buatin mie rebus buat sarapan!"

Bagas yang sedang mengengkol motornya cuma melirik ke arah pintu rumah saat mendengar teriakan istrinya.

"Buat kamu saja, Laras! Mas sudah kesiangan!"

Ngeeengggg!

Suara bising motor Bagas membuat Laras terkejut. Diletakkan mangkuk putih yang sedang dipegangnya pada meja. Lantas ia bergegas mencapai pintu keluar.

Dilihatnya punggung Bagar yang sudah pergi sambil mengendarai motor bututnya. Laras terpaku di tempat.

Suaminya harus pergi dengan perut yang kosong. Entah kemana Mas Bagas akan pergi. Dia tahu, laki-laki blasteran Bali-Sunda itu merupakan lelaki yang bertanggung jawab.

Meski terlahir dan berasal dari keluarga kaya raya, Bagas tidak pernah mengeluhkan hidup mereka yang sulit saat ini.

"Sekarang kamu pilih, putuskan hubunganmu dengan gadis itu atau kamu keluar dari rumah ini?!"

"Maafkan saya, Pak. Saya akan tetap menikahi Laras."

"Keras kepala! Enyah kamu dari hadapan saya!"

Laras memejamkan matanya seraya menahan sesak di dada. Tiba-tiba saja ia teringat kembali saat orang tua Bagas mengusirnya dari rumah.

Dia cuma anak yatim-piatu yang dibesarkan di suatu panti asuhan. Sementara Bagas, dia seorang putra dari keluarga terpandang di kota Solo. Orang tuanya punya banyak perkebunan dan pabrik.

Sekarang, demi dirinya Bagas rela kehilangan semua itu. Laras sangat menyesal. Namun cintanya pada Bagas terlalu banyak jika untuk ia lepaskan begitu saja.

"Permisi!"

Suara seorang laki-laki membuyarkan lamunannya, Laras yang terkejut buru-buru mengusap kedua pipinya yang basah. Lantas dilihatnya siapa yang datang.

"Mbak Laras."

"Kamu?"

Laras jelas terkejut melihat siapa yang datang. Dia laki-laki yang dijumpainya di jalan.

Frans tersenyum manis menanggapi wajah heran perempuan muda di depannya. "Maaf kalo saya udah ganggu, Mbak."

Laras masih menatap heran pada laki-laki berpakaian rapi di depannya.

"Kenapa kamu mencari rumah saya? Ada perlu apa?" Laras bicara dengan ekspresi dingin. Kedatangan Frans membuatnya heran dan curiga.

Frans tersenyum tipis. "Maaf kalo saya mencampuri urusan Mbak. Tapi, saya lihat sepertinya Mbak sedang kesusahan."

Laras berdecih sinis. "Apa pun masalahku itu bukan urusan kamu. Jadi, tolong tinggalkan rumah ini. Saya sudah bersuami."

Frans masih tenang-tenang saja. "Saya bisa bantu Mbak, jikalau Mbak Laras lagi mencari pekerjaan."

Laras terkejut kali ini. "Memangnya kamu penyalur TKW, ya?"

Frans terkekeh. "Bisa dibilang begitu, tapi saya cuma menyalurkan pekerjaan di dalam negeri saja kok!"

Laras menyipit. "Kerjaan apa?"

"Jadi ART, Mbak!" Frans menjawab dengan bersemangat.

Laras terdiam sambil menatap laki-laki itu. Jadi asisten rumah tangga, sepertinya dia bisa mencobanya juga. Apalagi sekarang dia dan Bagas sedang sangat membutuhkan uang.

"Hm, kamu serius mau kasih kerjaan buat aku?"

Melihat perempuan muda di depannya mulai tertarik, Frans segera menyakinkan Laras.

"Serius lah, Mbak! Buat apa saya bohong? Udah banyak kok, yang kerja sama saya!"

Laras manggut-manggut. Sebenarnya dia masih ragu. Bisa saja laki-laki itu cuma penipu. Namun, saat Frans menyodorkan sebuah kartu nama, Laras segera menerimanya.

"Hubungi saya kalo Mbak Laras tertarik mau kerja!" Frans pamit.

Laras cuma mengangguk. Matanya turun pada sebuah kartu nama dalam genggamnya.

'Frans Prasetyo, Agen resmi penyalur tenaga kerja wanita'

*

Hari mulai sore, Laras bingung mau masak apa. Tidak ada apa pun yang bisa ia masak untuk makan malam mereka nanti.

Matanya melirik ke arah jam dinding. Sudah pukul empat sore, tapi Mas Bagas belum juga pulang. Laras jadi khawatir. Mungkin suaminya sedang mendorong motor bututnya karena kehabisan bahan bakar.

Memikirkan semua masalah ekonomi mereka itu, kepalanya jadi pusing. Lantas ia menoleh pada kartu nama yang tergeletak di meja.

"Apa saya bisa bekerja besok pagi? Saya sedang butuh uang mendesak!"

Frans tersenyum miring mendengarnya suara Laras di ponselnya. Akhirnya perempuan itu menghubunginya juga.

"Bisa, Mbak! Sore ini juga Mbak Laras datang saja ke kantor saya. Biar saya urus pendaftarannya!"

Laras mengangguk mendengar ucapan Frans dari ponsel jadulnya.

"Baik, aku akan datang."

Frans tersenyum puas. Kemudian ia menghubungi salah satu nomor di ponselnya.

"Selamat sore, Pak Handika! Saya punya barang bagus buat Anda! Dijamin yang ini bisa bikin Anda ketagihan!"

Gadis berseragam SMA yang baru masuk rumah dibuat menoleh saat mendengar suara berisik itu. Dilihatnya Frans yang sedang menelpon seseorang. Sang kakak kelihatan begitu senang.

"Haha! Siap, Pak!"

Frans geleng-geleng sambil tersenyum usai menyudahi panggilan ponselnya. Dia lantas menoleh ke arah gadis berseragam SMA yang sedang berdiri menatapnya.

"Baru pulang?"

Gadis itu cuma mengangguk. Ia lantas berjalan cepat melewati Frans. Laki-laki itu tidak peduli.

*

Lampu-lampu jalan sudah menyala saat Bagas menepikan motornya di persimpangan. Matanya menatap pada mobil putih yang sudah menunggunya.

"Kamu udah bikin saya nunggu lama. Buruan masuk!"

Laki-laki tinggi itu menanggapi dengan sebuah anggukan. Bagas bergegas masuk ke mobil dan meninggalkan motor bututnya di tepi jalan.

Bu Rina menoleh ke arah laki-laki muda yang duduk bersamanya di dalam mobil. Perempuan itu tersenyum tipis.

"Saya pikir kamu nggak bakal datang."

Bagas cuma melirik. Ya, tadinya dia tidak ingin datang dan memenuhi tawaran Bu Rina. Namun, dia tak punya pilihan lagi.

Seharian ini ia keluyuran mencari kerjaan, tetapi tidak satu pun pabrik atau kantor mau menerimanya.

Meski dia merupakan seorang sarjana, orang-orang mungkin tidak akan percaya karena melihat penampilannya yang lusuh begini.

Datang pada Bu Rina memang bukan kemauannya, ini terpaksa. Demi Laras. Dia tidak mau istrinya harus terlunta-lunta di jalan karena mereka tak punya tempat tinggal lagi.

Sopir Bu Rina menepikan mobil di pelataran sebuah hotel. Bagas terkejut. Tenggorokannya tercekat tiba-tiba.

"Kok kita kesini, Bu?" tanyanya.

Bu Rina berdecak jengah. "Di rumah ada suami saya."

Bagas cuma menelan ludah kasar.  Bu Rina segera menyeretnya menuju lobi hotel.

Sampai langkah mereka tiba di depan pintu sebuah kamar, Bagas ingin sekali kabur. Sayangnya, dia tak mampu melakukan itu.

"Langsung aja yuk! Saya udah nggak sabar!"

Glek!

Bagas tercengang saat Bu Rina mendorongnya ke tengah ranjang. Dilihatnya perempuan tua itu yang sedang menanggalkan pakaian begitu bersemangat.

Tidak, dia tidak bisa lakukan dosa ini hanya demi uang!

"Bagas!"

Bu Rina sangat terkejut dan marah melihat laki-laki itu meninggalkan dia di tengah ranjang. Bahkan, mereka belum melakukan apa-apa.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel