Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

HMT 6 - GADIS ITU NAMANYA DARA

Gelaay, ternyata yang namanya Andara Rinjani ini cantik banget. Nggak pa-pa deh dijodohin sama gadis desa kalau bentukannya mirip Lisa blackpink gini, pikirku yang enggan berkedip melihat gadis muda yang kini duduk di samping Mommy.

"Gila Bang, ini sih lo menang banyak. Kalo kek gitu cakep mending buat gue aja, Bang. Lo 'kan udah banyak tuh, sugar baby lo!" bisik Juno menyesatkan.

Dasar adik sialan! Berkoar seenak bacot aja.

"Aduh! Sakit tahu, Bang!" ringis Juno karena aku menyikut dadanya. "Makanya diem!" ancamku kesal.

"Silakan di cicipi buah semangkanya, Den Jhoni dan Den Juno. Semangkanya asli dari kebun sendiri lho!" ucap Bu Ratih, ibunya Dara yang jg masih muda dan cantik.

Aku dan Juno hanya manggut-manggut. "Iya, Bu. Buah semangkanya gede banget ini," cetus Juno nggak ada akhlak.

Aku tahu yang dia maksud itu bukan buah semangka yang terhidang di meja, melainkan buah semangka yang ada di balik blush-nya Dara. Dasar adik durhaka. Awas saja dia, beraninya mandangin calon istri abangnya sendiri.

"Dara, ini Jhoni Alexander Geraldine, putera Mommy yang akan menikah sama kamu. Ganteng, kan?" ucap Mommy membuatku sedikit tersipu. Sedangkan Dara hanya tersenyum dengan pipinya yang bersemu merah. Aku tahu, dia pasti langsung klepek-klepek melihatku yang handsome ini.

Kami pun saling berbagi pandangan mesra.

"Kenalin dong! Gue Juno adiknya Bang Jhoni. Nanti di Jakarta kita main ke Dufan, ya!"

Bangke! Si Juno main serobot aja tuh! Pingin rasanya aku jitak aja tuh adik durhaka.

"Iya, Mas. Terima kasih," jawab Dara. Suaranya merdu banget mirip suara desahan Miyabi.

Sial! Otakku mulai mesum.

"Terima kasih buat apa? Kita 'kan belom ngapa-ngapain."

Si Juno kayaknya pingin di gantung dah. Berani bener dia godain si Dara di depanku. Dianggap apa aku ini? Papan penggilesan? Dasar adik durhaka ahli neraka emang tuh si Juno!

"Dara, kamu kuliah dimana?" tanyaku sepik-sepik basi. Agak canggung juga ternyata ngomong sama cewek polos macem si Dara ini.

"Di kampus dekat sini, Mas." Dara menjawab sambil tersenyum manis.

Aku pun membalas senyum. Sepertinya aku suka sama Dara. Padahal kemarin aku menolak keras saat Mommy maksa aku untuk menikah. Mommy memang tahu selera puteranya ini, pikirku sembari memandangi gadis manis di hadapanku itu.

Dara hanya tersenyum tipis dan memalingkan wajahnya dari tatapan buasku.

"Ra, nanti di Jakarta lo satu kampus aja sama gue. Asik lho, kampusnya! Ada perosotannya juga, hehe!" celetuk Juno meraup semua aura romantis yang ada. Kampret emang nih anak! Kenapa nggak ditinggal di toilet umum aja sih tadi?

"Heh, lo pikir sekolah TK apa!" sergahku kesal sambil menoyor kepala peyang si Juno.

"Woles kalek, Bang! Gue cuma mau deket aja sama calon Kakak ipar gue. Apa salahnya?" Juno marah.

"Salah! Karena mata lo itu menodai pemandangan, tahu!" serangku kesal.

"Mata lo tuh, yang lebih mesum! Mencemari lingkungan!"

Bangke! Si Juno nggak mau kalah. Akhirnya kami saling jambak-jambakkan di sofa. Aku meraih sepotong semangka dari meja lalu aku sumpalkan ke mulut Juno yang isinya teks mesum semua.

"Sudah-sudah! Astaga, kalian ini!" Mommy mencak-mencak karena melihatku dan Juno saling adu tinju. Sedangkan yang lain tampak cemas melihat pergulatan kami.

Apa kubilang? Harusnya si Juno, adik sialan itu ditinggal aja di pom bensin. Gara-gara tuh adik durhaka, rusuh deh acara lamaranku.

Dara tersenyum tipis melihatku dan Juno sudah mirip kucing garong berkelahi. Astaga, kenapa aku merasa malu begini di depan Dara. Padahal sebelumnya aku nggak pernah merasa nervous di depan seorang gadis.

Tapi aku senang sih, ternyata gadis yang tadi aku lihat di ladang stroberi itu tak lain adalah Dara. Aku memalingkan wajahku sembari tersenyum, karena Dara masih melihat ke arahku.

"Baiklah, ayo diminum tehnya, Bu Renata." ibunya Dara kembali mengingatkan kami setelah suasana hening sejenak pasca pergulatanku dan Juno tadi.

Kami pun kembali duduk tenang dan menikmati camilan yang tersaji di atas meja sembari mengobrol santai.

"Bu Ranti, saya mau meminta izin untuk membawa Dara ke Jakarta besok pagi. Bagaimana, Bu? Bolehkan Dara tinggal dengan saya dan Jhoni di Jakarta? Lagi pula minggu depan mereka akan segera menikah. Saya mau pestanya juga di adakan di Jakarta saja." Mommy memulai percakpan.

Jantungku tiba-tiba cenat-cenut mendengar minggu depan diriku dan Dara akan menikah. Gilak! Kok secepat itu? Bahkan aku belum mengabari Bella. Aduh, bagaimana kalau Bella tidak mau aku putusin? Bisa bunuh diri dia, pikiranku mulai kacau.

"Maaf, Bu Renata. Dara dan Den Jhoni 'kan belum menikah, apa pantas Dara ikut ke Jakarta bersama keluarga Ibu? Nanti apa kata orang?" Bu Ranti berkata dengan berhati-hati, mungkin takut menyinggung perasaan Mommy.

Mommy tertawa kecil mendengarnya. Bu Ranti pun menoleh pada suaminya, Pak Gunawan, yang duduk di sampingnya.

"Bu Ranti nggak usah khawatir, Jhoni anak saya ini cowok baik-baik, kok! Lagi pula ada saya dan Juno juga di rumah kami. Dara pun sudah punya kamar sendiri di sana nanti. Boleh ya, Bu Ranti? Saya pingin banget kenalin Dara sama Daddy-nya Jhoni dan keluarga besar kami di Jakarta." Mommy bersikukuh ingin mengajak Dara ke Jakarta.

Aku hanya menyimak saja sembari duduk santai.

"Aduh, gimana ya, Bu? Pak?" Bu Ratih tampak kebingungan menatap pada Mommy dan Pak Gunawan secara bergantian. Sepertinya Dara jarang keluar rumah. Ibunya tampak begitu cemas saat Mommy meminta Dara untuk ikut kami ke Jakarta.

"Nggak pa-pa, Bu. Lagi pula Bu Renata yang bawa Dara. Kenapa kita harus khawatir? Toh, Dara juga nanti akan tinggal bersama suaminya, kan?" kali ini Pak Gunawan yang berkata.

Bu Ranti tampak sedikit lega, meski aku masih melihat ada kecemasan dari pendar matanya.

"Boleh ya, Bu? Saya pingin banget ajak Dara ke Jakarta," rajuk Mommy dengan wajah memelas.

Baru kali ini aku melihat Mommy sampai memohon begitu. Aku heran, kenapa Mommy sepertinya sangat menyukai Dara. Sedangkan aku merasa baru kali ini melihat gadis itu. Siapa sih, sebenarnya Dara? Dan kenapa Mommy dan Daddy ngotot banget pingin aku menikahi Dara.

"Ya udah, Bu. Saya izinkan." Bu Ranti menjawab setelah berpikir cukup lama.

Mommy memekik senang dan segera merangkul bahu Dara yang duduk di sampingnya, kemudian menoleh padaku sembari tersenyum.

Aku hanya tersenyum tipis. Entah kenapa aku juga merasa senang kalau Dara ikut kami ke Jakarta.

"Menang banyak lo, Bang." Juno berbisik sembari merangkul bahuku.

Aku hanya tersenyum tipis tanpa perduli padanya. Sedangkan Dara hanya memalingkan wajahnya malu-malu di hadapanku. Ya, Tuhan, perasaan macam apa ini? Ada rasa malu, salah tingkah, senang, deg-degan. Campur-campur deh pokonya! Mirip gado-gado buatan Bi Irah.

Setelah acara lamaran selesai, aku segera berjalan menuju pada mobil. Ya, aku harus menelepon Bella dan mengatakan kalau kita harus berakhir malam ini juga! Tekadku sudah bulat. Aku akan memutuskan semua pacarku. Karena minggu depan aku harus menikah dengan Dara. Mungkin Mommy dan Daddy benar, sudah saatnya aku berubah menjadi lebih baik.

"Apa? Putus? Kamu becanda doang kan, Sayang? Aku nggak mau putus sama kamu!" suara Bella histeris dari ponselku saat aku meneleponnya.

Aku tak menjawab. Ibu jariku segera menyentuh tanda merah pada ponselku. Panggilan pun terputus, lantas aku matikan ponselku segera. Aku yakin, pasti Bella akan meneleponku lagi.

"Maafin aku, Bell? Sudah saatnya aku berbakti pada Mommy. Kamu juga pernah bilang 'kan, kalo aku harus nurut pada Mommy." aku berkata sendiri. Rasa sepi dan sedih mendera jiwaku tiba-tiba.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel