5. HEBOHNYA ISTRIKU
Beberapa jam berikutnya. Lebih tepatnya pukul 08:00 WIB.
Pintu kamar pun ada yang mengetuk. Mahardika kebetulan sudah bangun pun, lantas mengayunkan kakinya menuju pintu. Penasaran, siapa yang pagi-pagi sudah datang bertamu.
"Iya, sebentar." Suaranya tidak terlalu besar karena takut akan membangunkan Eka, yang masih terlelap dalam mimpi.
Mahardika menggenggam kenop pintu, kemudian menariknya dan pintu pun terbuka.
"Bunda?" katanya setengah terkejut.
"Kamu sudah bangun, Sayang? Bunda ganggu kamu ya?" tanya Annata ragu.
"Enggak kok, Bun. Ada apa Bunda datang? Masih pagi ini loh, Bun."
"Mana Eka? Dia belum bangun ya?" Annata melayangkan pertanyaan lain.
"Iya, Bunda. Sepertinya dia sangat kelelahan. Jadi, belum bangun deh. Memangnya kenapa, Bunda?" Kening Mahardika sedikit mengerut.
Annata terkekeh geli, "heum, tidak perlu dibangunkan. Biarkan dia tidur. Pasti dia capek setelah ... Ehem."
Wanita lima puluh tahun itu, tak melanjutkan kalimatnya. Dia menutupi mulutnya dengan sebelah tangan.
"Ehem ... Apa Bunda? Kalau ngomong tuh yang jelas, Bun. Jangan bikin Dika penasaran."
"Astaghfirullah, kamu ini. Masa si gitu aja enggak ngerti? Kamu ya, masih aja pura-pura polos."
Annata geleng-geleng kepala dan menertawakan putra semata wayangnya itu, meskipun sudah menikah, tetap terlihat lucu.
"Ah, Bunda, apaan si?" tanya Mahardika malu-malu.
Semula ia memang tidak mengerti, tapi akhirnya ia paham apa yang dimaksudkan Annata. Wajahnya sedikit merona dan terlihat sangat lucu di mata wanita yang telah melahirkannya itu.
"Kamu ya. Awalnya, selalu menolak untuk menikah, tapi setelah sah, malah kamu semangat banget. Sampai Eka kewalahan tuh," goda Annata lagi sambil mencubit pinggang Mahardika.
Mahardika pun ingin menanggapi hal tersebut dengan jujur. Namun, ia mengurungkan niatnya lantaran harus menjaga kerahasian rumah tangannya.
Mahardika membiarkan bundanya berfantasi dengan pikirannya sendiri.
"Ya sudah, masuk sana. Nanti Eka bangun terus cari kamu gimana? Jangan biarkan dia merasa kesepian."
"Iya, Bunda." Mahardika mengangguk dan sedikit tersenyum.
Setelah berkata demikian, Annata pun lantas melenggang pergi dari kamar sang pengantin baru. Membiarkan keduanya merajut cinta sebagaimana mestinya.
Mahardika pun menutup kembali pintu kamar. Selanjutnya berjalan menuju tempat tidur. Dia tersenyum kecil sebab Eka masih terlelap di sana.
Mahardika memperhatikan Eka dari kejauhan sambil melipat kedua tangan di dada. Dia senyum-senyum sendiri, ketika mengingat kejadian semalam. Betapa menggemaskannya ekspresi Eka ketika sedang merajuk.
Pipinya yang sedikit chuby, lalu mengembung lantaran merasa kesal itu, terlihat sangat lucu. Bulat seperti kue bakpao. Mungkin jika disentuh akan membal dan kenyal.
Memikirkannya membuat Mahardika tertawa kecil.
Ketika asyik dengan pikirannya sendiri, Mahardika melihat posisi tidur Eka yang berubah. Semula menghadap kemarin, kini berputar ke arah sebaliknya.
Kebetulan Mahardika membuka jendela kamar supaya cahaya matahari dapat masuk. Saat itulah, Mahardika melihat Eka yang sedikit terusik dengan cahaya tersebut.
Buru-buru Mahardika berlari ke arah jendela dan segera menarik gorden. Sehingga cahaya matahari tidak lagi masuk ruangan.
Mahardika bernapas lega, ketika melihat Eka yang masih tertidur pulas. Kemudian, dia menatap kembali sang istri dengan lekat.
Diperhatikan kembali Eka yang masih terpejam. "Dia cantik saat tidur." Kalimat pujian itu, lolos begitu saja dari mulutnya.
Belum selesai dia memandang sang istri, tiba-tiba Eka membuka matanya perlahan-lahan. Mahardika pun gelagapan dibuatnya.
Astaga ... Sampai Eka melihatnya sedang berdiri di sana, mungkin mulutnya yang lemes itu, akan berceloteh sembarangan.
Mahardika buru-buru pergi ke sofa, lalu duduk di sana. Berpura-pura memainkan ponsel. Sementara itu, Eka pun sudah membuka matanya lebar-lebar dan tersadar kemudian.
Dia langsung duduk setelah melihat jam dinding, yang menunjukkan pukul delapan lewat lebih.
Eka melihat sekelilingnya dan mencari keberadaan Mahardika. Ternyata sedang duduk di sofa.
Eka turun dari tempat tidur dan bergegas menghampiri sang suami.
"Kenapa Om, enggak bangunin aku?" tanyanya dengan nada kesal.
Mahardika mengangkat kepalanya, lalu mematikan ponsel yang hanya digenggamnya itu. Memasang wajah polos, seolah tidak tahu apa-apa.
"Iya, karena saya tidak tega membangunkan kamu. Saya lihat, kamu tidurnya nyenyak sekali," jawab Mahardika santai.
Eka menghentakkan kakinya beberapa kali, "ah, Om mah gitu. Seharusnya Om bangunkan aku tadi. Aku enggak enak sama bunda karena bangun kesiangan. Nanti, yang ada aku dianggap menantu malas."
Mahardika menaikkan sebelah alisnya, "maksud kamu?" tanyanya keheranan.
"Aduh Om, masa gitu aja enggak paham si? Itu loh, aku sering baca novel di aplikasi hijau. Kalau menantu seharusnya bangun pagi-pagi, terus beres-beres rumah. Bikin sarapan buat suaminya, terus apa lagi ya? Aku lupa, tapi ah. Aku kesiangan karena Om Dika."
Dia mengomel dan menyalahkan suaminya untuk hal sepele.
Mahardika yang gemas pun geleng-geleng kepala, lalu beranjak bangun dan menyentuh kening istrinya dengan jari telunjuk. Sedikit ditekan.
"Kamu itu, terlalu banyak baca novel rumah tangga. Terlebih lagi, kamu sepertinya masih terjebak dalam dunia mimpi, sehingga bicaranya ngalor ngidul."
Dika melipat kedua tangannya di dada. Ada sedikit senyuman di wajahnya. Sejujurnya ia ingin tertawa, tapi takut Eka semakin mengomel.
"Heum, Om mah, enggak ngerti perasaan aku si. Aku takut Bunda marah karena aku bangun kesiangan."
Eka kembali mengungkapkan kegelisahan hatinya dan lagi-lagi membuat Mahardika geleng-geleng kepala.
"Tadi Bunda udah ke sini ..."
"Terus apa kata Bunda? Bunda pasti marah karena aku belum bangun."
Eka begitu panik, sangat panik malah. Sampai tidak bisa berpikir jernih. Sebelum pernikahan, dia sudah belajar bagaimana menjadi menantu yang baik dari membaca novel dan searching di beberapa web.
"Bunda enggak bilang apa-apa. Dia cuma tanya apa kamu sudah bangun atau belum. Ya, saya kasih tahu saja kalau kamu belum bangun."
Mahardika sedikit memainkan intonasi suara serta kalimatnya, sehingga Eka yang mendengarnya semakin gelagapan.
"Terus apa kata Bunda? Apa Bunda marah?"
Duh lucunya Eka saat panik. Bukan sedang ngambek saja ia terlihat imut, saat sedang gelisah pun terlihat menggemaskan. Mahardika pun membatin.
"Sudah saya katakan, Bunda tidak mengatakan apa-apa. Dia tidak marah apa lagi mengomel. Bunda terlihat sangat senang karena kamu tidurnya nyenyak."
Eka pun seketika merasa ngebleng. Dia menelaah kembali ucapan suaminya. Benarkah ibu mertuanya itu bersikap demikian?
Melihat Eka yang diam, Mahardika pun merasa iba. "Sudah, jangan kamu pikirkan. Jangan samakan Bunda dengan mertua di novel-novel online. Bunda bukanlah ibu mertua jahat atau nenek sihir seperti yang digambarkan dalam dunia fiksi. Bunda adalah wanita yang menyayangi anak-anaknya," ucap Mahardika sambil mengerjapkan matanya.
Setelah mendengar perkataan itu, Eka pun bernapas lega dan tersenyum lebar.
"Ah, syukurlah, aku mendapatkan ibu mertua yang baik." Eka pun duduk di sofa sambil membuang napas panjang.
Hatinya merasa plong sekarang.
Mahardika menatap kembali sang istri. Dia tersenyum sumringah, sekaligus bersyukur karena dipertemukan dengan wanita yang tulus dan juga polos.