6. KE RUMAH BARU
Eka melipat kedua tangannya di dada, wajahnya sedikit ditekuk. Mahardika melirik sang istri yang seperti sedang melafalkan mantra.
"Ah, sekarang aku tahu!" Eka langsung berdiri, tindakannya yang mendadak membuat Mahardika terkejut.
"Tahu apa?" tanya Dika sedikit meninggikan suara. Saking terkejutnya, dia mengelus dada. Spontan, jantungnya seperti ingin berpindah tempat.
Istrinya memang kadang-kadang ya.
"Iya, aku tahu, alasan Bunda tidak marah." Eka memandang laki-laki yang kini telah sah menjadi suaminya itu.
"Mungkin dia berpikir untuk tidak memarahiku karena kita baru saja menikah. Aku yakin, beberapa hari kemudian, Bunda akan marah dan jengkel kalau aku tidak bangun pagi."
Eka pun memulainya lagi. Mahardika geleng-geleng kepala untuk kesekian kalinya. Kesabarannya sedang diuji sekarang. Dia tidak habis pikir kenapa istrinya masih saja membahas hal sepele dan tidak penting? Sudah begitu, menuduh yang bukan-bukan.
"Bagaimana ini, Om. Aku sangat malu bertemu Bunda nanti," celotehnya lagi.
Mahardika yang sudah sangat geram pun, tiba-tiba menarik tangan Eka. Membawanya masuk dalam pelukan. Eka melebarkan matanya seperti ingin melompat keluar.
Di waktu bersamaan, Mahardika menempelkan bibirnya dengan bibir ranum Eka.
Dia mencium Eka, supaya sang istri tidak lagi mengatakan hal omong kosong yang membuat gendang telinganya seolah ingin pecah.
Ini adalah ciuman pertama Mahardika, kepada wanita selain ibunya. Begitu juga dengan Eka. Itu pun biasanya Eka mencium pipi ayahnya dan bukan bibir.
Eka yang berhasil mendapatkan kesadarannya, lantas mendorong bidang dada Mahardika, sehingga momen penyatuan itu berakhir.
Keduanya sama-sama canggung. Namun, Mahardika tidak menyesali perbuatannya. Meskipun hanya berlangsung sebentar, tetap menyisakan kesan luar biasa.
Aliran listrik bertegangan tinggi, seolah menyambar tubuhnya ketika melakukan ciuman tadi.
Mahardika ingin melakukannya lagi, tapi sayang Eka sudah lebih dulu pergi. Masuk ke kamar mandi dan menguncinya.
Mahardika bisa mendengar suara teriakan sang istri di kamar mandi. Pasti istri kecilnya itu, sedang merasa malu.
"Sentuhan yang sangat hangat. Lain kali kita lakukan lagi," gumamnya nakal.
***
Beberapa jam telah berlalu. Selama itu juga, Eka selalu menjauh dari Mahardika. Dia sangat takut, suaminya menciumnya lagi seperti tadi pagi.
Walaupun sebentar, tapi bekasnya masih terasa sampai sekarang.
Pukul 13:00 WIB, setelah makan siang. Mereka pun meninggal hotel.
Mahardika dan Eka berada dalam satu mobil yang sama. Duduk berdampingan di kursi belakang.
Mahardika memiliki supir pribadi yang akan mengantarnya kemana pun ia mau.
Eka duduk sedikit menjauh dari Mahardika. Sengaja karena masih terbayang-bayang dengan insiden pagi ini.
Eka terus saja melihat keluar jendela. Sedangkan Mahardika diam tak memberikan komentar. Padahal dalam hatinya, ia sedang merasa gemas.
Sesekali Mahardika melirik Eka, mengarahkan pandangannya pada bibir ranum sang istri.
"Apaa si, Om, lihat-lihat kayak gitu?" tanya Eka ketus.
Dia memergoki Mahardika sedang memperhatikannya penuh makna.
"Memangnya kenapa kalau saya lihatin kamu? Apakah salah kalau suami memandangi istrinya terus menerus? Apakah tindakan saya adalah sesuatu yang dosa?" Mahardika balik menjatuhkan pertanyaan.
Eka tidak menjawab dan malah membuang pandangannya lagi. Sangat malas jika harus berdebat.
Mahardika tertawa kecil. Kesabarannya sungguh sedang diuji coba. Berbicara dengan Eka, sama saja seperti mengajak ngobrol bocah tiga tahun. Bikin tegang yang bawah. Eh, maksudnya bikin naik darah.
***
Setelah menempuh perjalanan lebih dari satu setengah jam, mobil pun memasuki perkarangan rumah berlantai dua.
"Rumah siapa ini?" tanya Eka penuh takjub.
"Ini rumah kita, Dek. Rumah ini yang menjadi maskawin di pernikahan kita," jawab Mahardika disertai senyuman tipis.
"Yuk, kita keluar!" ajaknya lembut.
Eka mengangguk. Selanjutnya dia keluar dari mobil. Mahardika berjalan menghampiri sang istri.
"Masuk yuk!" ajaknya kembali. Kali ini ingin menggandeng tangan Eka.
"Sebentar, Om. Kok aku belum pernah lihat rumah ini ya? Kapan Om Dika membelinya?"
Dika pun geleng-geleng kepala untuk yang kesekian kalinya di hari ini. Masih sempat-sempatnya Eka bertanya, untuk hal yang menurutnya sangat sepele.
"Saya membeli rumah ini sudah lama sekali. Kamunya saja yang tidak pernah mau ikut jika diajak untuk melihatnya."
Mendapat jawaban yang seperti menyalahkan, Eka pun berkacak pinggang sambil menatap lurus sang suami yang tinggi badannya 179 cm itu.
"Ih, kapan Om mengajakku untuk melihat-lihat rumah? Seingatku tidak pernah. Kita saja jarang bertemu. Dalam satu tahun, kita tuh cuma bertemu dua atau tiga kali."
"Sungguh? Sepertinya kamu salah menghitungnya. Setiap satu Minggu sekali, saya bertemu dengan ayahmu di kebun stroberi yang ada di Bandung. Terlihat setiap bulan, saya bisa bertemu ayahmu lima sampai enam kali," beber Mahardika cukup panjang dan gamblang.
"Ih, mana boleh begitu. Tidak bisa dihitung lah. Om bertemu dengan ayah, bukan denganku. Ya berbeda lah, Om." Eka berkilah.
Dia paling sulit mengalah. Setiap kali berdebat, pokoknya dia harus menang. Begitulah Eka dan sekarang, Mahardika harus mempertebal kesabarannya.
"Ya sudah. Saya minta maaf kalau begitu. Saya salah karena tidak pernah mengajak kamu jalan-jalan. Saya terlalu sibuk dengan pekerjaan sehingga lupa dengan keluarga. Apa kamu puas sekarang?"
Eka pun terkekeh, cengengesan seperti tidak merasa bersalah sama sekali.
"Iya, aku maafin Om," ucapannya enteng.
Benar-benar tidak memiliki niatan untuk menghormati suami. Untungnya Mahardika memiliki kesabaran seluas samudra, sehingga dia masih bisa tersenyum menghadapi Eka, yang tidak mau mengalah.
"Ya sudah. Ayo, kita masuk!" ajaknya lagi dan kali ini Eka mengangguk.
"Pak. Tolong bawakan koper-kopernya ya," pinta Mahardika, pada Pak Rudi, selaku supir pribadinya.
Pak Rudi mengangguk, lalu dia mengangkat koper itu satu persatu, dikarenakan ukuran kopernya besar-besar.
"Assalamualaikum ..." Mahardika pun mengucap salam. Hal sama dilakukan Eka.
"Waalaikumsalam." Seorang wanita membalas salam. Ia datang dengan langkah terburu-buru sambil mengelap tangannya yang basah.
"Selamat datang, Pak Dika. Apakah dia, Nyonya Eka?" tanya wanita itu memastikan.
Mahardika mengangguk sambil merangkul bahu Eka. Dalam kesempatan kali ini, Eka tidak memberontak. Mahardika merasa senang.
"Iya, dia adalah istri saya. Mulai hari ini, dia akan menjadi Nyonya rumah ini," ucap Mahardika lantang.
Eka yang merasa tidak nyaman pun, lantas menarik tangan Mahardika untuk lepas dari bahunya.
Alih-alih kesal, Mahardika malah menunjukkan senyuman lebar. Dia selalu tertawa dengan tingkah gengsi istrinya.
"Selamat datang, Nyonya Muda. Perkenalkan nama saya Endang. Nyonya Muda bisa memanggil saya Bi Endang."
Dia memperkenalkan namanya di hadapan Eka. Sikapnya sangat hormat dan patuh.
"Baik, Bi. Terima kasih sambutannya." Eka tersenyum canggung.
"Bi, apa kamarnya sudus siap?" tanya Mahardika.
"Sudah Tuan. Seperti yang Tuan perintahkan. Siapkan dua kamar," balas Bi Endang ramah.
"Dua kamar? Untuk apa dua kamar?" Eka ngerutkan keningnya.
"Ya, untuk kita lah, Dek. Memangnya untuk siapa lagi? Bukankah kamu tidak mau tidur satu kamar dengan saya? Itulah mengapa saya minta Bi Endang untuk menyiapkan dua kamar, supaya kamu merasa nyaman."
Mahardika tersenyum, tapi tidak dengan Eka.