Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

4. PERLAKUAN LEMBUT MAHARDIKA

"Boleh melihat, maksud, Om?"

Saking terkejutnya, Eka sampai terperanjat bangun. Kini pandangnya dan Mahardika saling bertemu dalam garis lurus.

Semula tersulut emosi, kini terkesan canggung karena baru sadar jarak yang tercipta hanya beberapa sentimeter saja.

Mahardika tertawa kecil, "kamu itu, memang polos, Dek." Dia menekan kening Eka, hingga sedikit terdorong.

"Apa yang kamu pikirkan? Kamu mau lihat punya saya sekarang?" godanya kemudian.

Eka yang gelagapan buru-buru berbalik badan, menyembunyikan wajahnya yang bersemu merah.

"Dih, Om kegeeran. Siapa juga yang mau lihat? Udah lah, aku ngantuk. Mau tidur aja," kata Eka mengelak, lalu mengayunkan kakinya menjauh dari Mahardika.

Dia bisa gila dan lepas kendali, jika terus disudutkan seperti ini.

Mahardika melipat kedua tangannya di dada, lalu menggelengkan kepalanya pelan. "Astaga ... Dia sangat menggoda dan menggemaskan. Pantas saja, kakek sangat menyukainya," gumamnya dan menyentuh kening dengan sebelah tangan. Menertawakan tingkah polos dan gengsi sang istri.

Setelah puas tertawa, Mahardika pun menyusul Eka.

"Kamu ngapain, Dek?"

Eka sedang sibuk menepuk-nepuk sofa dan merapikan bantal. Sepertinya sudah siap untuk tidur.

"Aku enggak mau tidur satu ranjang sama Om. Jadi, aku tidur di sofa aja lebih aman," jawab Eka, kemudian duduk dan menutupi tubuhnya dengan selimut.

Kening Mahardika semakin mengerut tajam, "kamu jangan ngawur, Dek. Nanti, kalau orang tua kita tahu kamu tidur di sofa, apa kata mereka?"

Dia sedikit meninggikan suaranya, yang semula gemas, kini seperti orang kesal.

"Om tenang saja. Mereka enggak akan tahu. Selama Om diam." Eka menjawabnya entang.

Mahardika tidak bisa diam begitu saja, terlebih lagi ini menyangkut kebahagiaan seseorang.

"Ayo ikut, saya!" Mahardika menarik tangan Eka. Menggenggamnya sangat kuat, sehingga membuat Eka tidak nyaman.

Apa-apa tarik tangan. Sedikit-sedikit ditarik. Memangnya ia kambing? Eka menggerutu dalam hatinya.

"Om, lepasin aku!" rengek Eka, cuma bisa pasrah. Mengingat, sangat sulit menaklukkan Mahardika.

"Duduk kamu!" perintah Mahardika.

Eka duduk di tepi ranjang, melipat kedua tangan di dada, menggembungkan pipinya dan membuang pandangan ke sisi berbeda. Wajahnya cemberut kesal.

Mahardika menghela napas panjang, lalu duduk berjongkok dan menatap manik zahel sang istri.

"Saya mohon, tatap mata saya," pinta Mahardika lembut. Namun, Eka tak menggubrisnya.

"Enggak mau! Memangnya ada apa di mata, Om? Paling juga belek," celetuknya asal kena.

Ada gelak tawa yang hadir dari ucapannya sendiri. Eka menahan senyumannya, tapi tak berselang lama ia kembali memasang wajah cemberut.

Mahardika membuang napas panjang. Beginilah jika menghadapi wanita yang sedang ngambek.

"Saya tahu, kamu tidak mau tidur satu ranjang bukan? Alasannya karena takut disentuh oleh saya. Tanpa kamu mengatakannya, saya sudah mengerti. Sikap kamu telah menjelaskan segalanya."

Mahardika menyusun kata demi kata dengan bahasa yang sopan dan nada suara lembut. Sedangkan Eka, masih mempertahankan gengsinya yang tinggi.

Mendapati sang istri yang masih kekeh dengan sifat keras kepalanya, Mahardika pun tersenyum kecil sembari menghela napas panjang dari waktu ke waktu.

"Baiklah. Saya akan berkata sesuatu dan kamu harus mendengarkannya karena saya tidak akan mengulanginya. Kamu mengerti?"

Eka mengerakkan kepalanya satu arah, "kalau Om mau ngomong, ya ngomong aja. Enggak usah pake basa basi segala."

Itulah kalimat yang keluar dari mulut gadis yang kini berstatus istri orang itu. Sangat ketus. Tidak ada lembutnya sama sekali, tapi apa yang Mahardika berbuat? Dia tidak membalasnya menggunakan kekerasan pisik, melainkan ditanggapi dengan senyuman, yang mampu meredam emosi Eka untuk sesaat.

"Dengarkan baik-baik kalimat ini. Saya berjanji tidak akan meminta hak saya, bilamana kamu tidak mengizinkannya. Saya akan menunggu sampai kamu benar-benar siap, menerima saya dengan sepenuh hati dan keikhlasan. Saya tahu, sebenarnya kamu tidak menginginkan pernikahan ini terjadi. Namun, kamu tetap menerima pernikahan ini demi kebahagiaan ayahmu."

Eka termangu. Kalimat kali ini sungguh menggetarkan hatinya. Ia merasakan sengatan listrik bertegangan tinggi menyambar tubuhnya dalam beberapa detik.

Ekor matanya melirik Mahardika yang masih duduk berjongkok sembari memasang wajah datar, tapi ada sedikit senyuman terukir di sana.

"Ah, sudahlah. Aku mau tidur. Udah ngantuk banget."

Eka pun beranjak bangun. Ada rona merah di pipinya yang coba ia sembunyikan. Mahardika menangkap bahwa istrinya sedang salah tingkah sekarang. Dikarenakan gengsinya yang tinggi, ya seperti inilah jadinya.

Eka pun berbaring di pinggir ranjang, lalu menari selimut menutupi tubuhnya. Hanya kepala saja yang terlihat.

Mahardika masih betah di posisinya, memandangi sang istri yang sudah terpejam. Dia tahu, kalau Eka sebenarnya belum tidur, hanya pura-pura demi menutupi rasa malunya.

"Ya sudah kalau begitu, selamat tidur, Dek," ucap Mahardika, kemudian berjalan menjauh dari ranjang.

Mahardika melihat jam di sudut sana. Ternyata sudah pukul 03:30. Tidak terasa, berdebat dengan Eka, memakan waktu tiga puluh menit.

Mahardika duduk di sofa yang sebelumnya akan ditempati Eka. Sebenernya ia merasa sangat lelah.

Benar kata orang, setelah menikah pasti badan terasa pegal-pegal seperti menahan beban ratusan kilogram.

Mahardika memainkan ponselnya beberapa menit, sebelum akhirnya merebahkan tubuhnya di sofa. Perlahan-lahan rasa kantuk pun menyerang. Tanpa berlama-lama lagi, Dika pun pergi menyapa mimpi.

Sementara itu, Eka masih kesulitan untuk tidur. Matanya masih terjaga padahal ia sudah sangat mengantuk.

Eka berbalik badan. Sungguh! Ucapan suaminya masih terngiang-ngiang. Ia tidak habis pikir, Mahardika memperlakukannya sangat lembut sampai ia kehabisan kata-kata.

Setelah berhasil mengendalikan pikirannya, Eka baru sadar kalau Mahardika ternyata tidak tidur di ranjang.

"Kemana dia?" Eka beranjak bangun dan menyibak selimutnya. Tak pakai lama, ia pun turun dari ranjang.

Baru beberapa langkah, Eka pun tertegun. Hatinya tersentuh begitu dalam, ketika mendapati sang suami yang tertidur pulas di atas sofa.

Inikah laki-laki yang menurutnya kasar dan tidak memiliki kepedulian terhadap wanita? Benarkah yang dikatakan banyak orang soal suaminya di luaran sana?

Eka mengayunkan kakinya kembali setelah terdiam kurang dari satu menit. Dia menghampiri Mahardika. Apa yang terjadi selanjutnya?

Ya. Eka menarik selimut yang tertindih oleh kaki suaminya, lalu Eka menyelimuti tubuh Mahardika. Perlakuannya memang berbanding terbalik dengan yang tadi. Sekarang ia begitu lembut dan dewasa.

Eka tersenyum tipis, sebelum akhirnya melenggang pergi tanpa kata.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel