Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

3. MALAM PERTAMA SEBAGAI SUAMI ISTRI

Hari yang dinanti-nanti pun tiba.

Ruangan yang telah didekorasi sedemikian rupa, sehingga terlihat seperti negeri dongeng di dunia nyata. Di bawah derasnya guyuran hujan, tidak menyulutkan semangat dua keluarga dan para tamu undangan yang sudah memenuhi ruangan.

Mahardika sudah duduk berhadap-hadapan dengan Teguh Saputra. Ayah, sekaligus orang yang bertindak sebagai wali nikah di hari paling bahagia ini.

"Saya nikahkan dan kawinkan, ananda Mahardika Wijaya bin Frans Adi Wijaya dengan putri saya, Eka Maheswari Saputra binti Tegus Saputra, dengan maskawin uang tunai sebesar 10 juta, emas lima gram, serta satu unit rumah dan seperangkat alat sholat, dibayar tunai!"

"Saya terima nikah dan kawinya Eka Maheswari Saputra dengan maskawin tersebut dibayar tunai!" ucap Mahardika dengan satu tarikan napas.

"Bagaimana para saksi? Sah?"

"Sah!" kata para Saksi serentak. Begitu juga dengan para tamu yang berteriak berbarengan.

Selanjutnya Pak Penghulu memimpin doa. Mahardika mengangkat kedua tangannya, mengaminkan setiap doa yang terucap.

Bukan ia saja, tetapi seluruh orang yang mengisi ruangan tersebut ikut mengaminkan juga.

Sesekali Teguh Saputra, tampak menyeka air matanya. Emosinya begitu memuncak setelah menyelesaikan tugasnya sebagai ayah.

"Silahkan, hadirkan pengantin wanitanya untuk menandatangani buku nikah," ucap Ketua KUA, yang bertugas hari ini.

Mahardika merasa lega sekarang. Ibarat bisul mah sudah pecah. Tidak ada lagi yang mengganjal. Akhirnya ia telah sah menjadi suami bagi seorang gadis yang usianya baru menginjak 21 tahun.

Eka dengan didampingi Annata dan dua sahabat karibnya itu, berjalan menghampiri Mahardika di sana.

Hari ini, Eka benar-benar menjadi pusat perhatian semua orang. Berbalut gaun pengantin khas sunda, Eka terlihat sangat cantik dan anggun. Mahardika sampai melongo, melihat wanita yang kini telah sah menjadi istrinya itu.

Eka tersenyum lembut, begitu juga dengan Mahardika. Dia mengulurkan tangan kanannya dan Eka meraihnya dengan perasaan yang campur aduk. Senang, bahagia, haru dalam satu waktu.

Para tamu undangan yang hadir, sibuk mengambil gambar dengan kamera ponsel masing-masing. Tidak ingin melewatkan momen pemasangan cincin dan lainnya.

Mahardika menyematkan cincin di jari manis sang istri. Selanjutnya Eka, yang memasangkan cincin di jari pria yang kini telah sah menjadi suaminya.

Eka mengecup punggung tangan Mahardika sebagai rasa hormatnya. Kini giliran Mahardika mengecup kening Eka, sebagai bentuk kasih sayangnya. Momen tersebut terekam indah di memori semua orang.

Sentuhan hangat Mahardika menciptakan desiran hebat di hati Eka, seolah ada aliran listrik bertegangan tinggi menyambar tubuhnya sekarang.

***

Pukul 03:00 WIB. Hari yang begitu indah memang telah berlalu, tetapi kesan bahagianya masih terasa hingga sekarang.

Mahardika dan Eka sudah berada di kamar, yang telah dihias begitu indah, menciptakan kesan romantis bagi sepasang pengantin yang sedang berbahagia.

Di atas ranjang berukuran besar itu, telah ditaburi kelopak bunga mawar. Ada banyak lilin yang tersebar di penjuru ruangan, membuat suasana semakin romantis.

Eka baru saja keluar dari kamar mandi. Dia sudah berganti pakaian. Sementara Mahardika duduk di sofa sambil memainkan ponselnya.

Eka berjalan pelan sambil merasakan desiran hebat menerjang tubuhnya.

Ya. Malam ini, seharusnya menjadi momen indah baginya dan sang suami. Kata orang, malam ini disebut malam pertama.

"Kamu sudah selesai, Dek?" tanya Mahardika, yang beranjak bangun dari sofa.

Eka terperanjat dan sedikit mengangguk, "iya. Kalau Om Dika mau ke kamar mandi, silahkan."

Meskipun sudah menikah, tapi kebiasaan Eka tidak berubah, yaitu memanggil Mahardika dengan sebutan 'Om'.

Mahardika mengikis jarak, sehingga ia dan Eka kini hanya berjarak beberapa jengkal saja.

"Kenapa, kamu masih manggil saya dengan sebutan 'Om'?" tanya Mahardika lembut.

Eka mengangkat kepalanya, kini menatap lurus pria, yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya akan menjadi suaminya.

"Karena aku suka," celetuk Eka, terlihat menggemaskan di mata Mahardika.

"Meskipun sekarang kita sudah sah menjadi suami istri, aku akan tetap memanggil Om Dika, dengan sebutan 'Om'. Aku tidak nyaman jika harus memanggil 'Sayang, Ayang, atau Mas.' itu terlalu serius menurutku."

Mahardika tertawa kecil. Saking gemasnya dia pun menarik hidung sang istri.

"Aduh, Om ... Sakit," keluh Eka, menarik cepat tangan Mahardika. Dia mengusap hidungnya kemudian. "Kenapa si, Om suka banget tarik-tarik hidung aku? Nanti kalau hidung aku panjang kayak Pinokio gimana? Pasti orang-orang menjelekkan aku nanti."

Eka menggerutu sambil menggembungkan pipinya. Alih-alih jengkel, Mahardika mahal semakin gemas dengan tingkah polos istri kecilnya itu.

Mahardika memajukan wajahnya, sehingga jaraknya dan Eka benar-benar intim. Lalu berkata, "tidak akan ada yang berani berkata buruk kepada kamu. Saya akan melindungi kamu dan tidak akan membiarkan kamu dihina. Ini janji saya sebagai suami. Ingat itu."

Selanjutnya dia berjalan melewati Eka, menuju kamar mandi.

Eka termangu seperti patung batu di sana. Perkataan Mahardika seperti anak panah yang langsung menembus hatinya dan tepat mengenai hatinya.

Eka tidak mengerti, mengapa Mahardika memperlakukannya sangat lembut dan hangat. Padahal, yang ia tahu, Mahardika sosok tegas dan cuek terhadap wanita. Setidaknya itulah yang pernah diceritakan Bambang Wijaya.

Lima belas menit berikutnya. Mahardika pun keluar dari kamar mandi. Memakai mantel mandi yang panjangnya sampai sebatas lutut saja.

Eka menutup matanya dan berbalik badan. Ah, kalau boleh jujur, ini kali pertama Eka melihat laki-laki lain, selain ayah dan kakaknya dalam satu atap.

"Kenapa kamu, Dek?" tanya Mahardika heran, sembari berjalan menuju meja rias.

"Aku malu lah, Om," kata Eka, sedikit merengek.

Mahardika tertawa kecil, "malu kenapa, Dek?saya ini, suami kamu loh, Dek. Ngapain harus malu."

Setelah menyemprotkan parfum, Mahardika pun mengayunkan kakinya menghampiri Eka, yang duduk di tepi ranjang.

"Ah pokoknya aku malu." Eka masih enggan berbalik badan, biarpun Mahardika sudah membujuknya.

"Hadeuh ... Kamu ini ya, Dek. Polos banget deh."

"Biarin. Aku kan enggak pernah satu kamar dengan cowok. Lagi pula, kenapa Om masih pake itu, bukannya langsung pake baju aja? Aku malu lihatnya, Om."

Mahardika mengulas senyuman tipis, mendengar kalimat tersebut. Hatinya merasa lega karena wanita yang ia nikahi, benar-benar mampu menjaga kehormatannya.

Tidak seperti kebanyakan gadis di luaran sana, yang dengan bebas mengajak laki-laki masuk kamarnya.

"Ya, kamu tidak perlu malu lah, Dek. Saya ini suami kamu. Kita sudah sah menjadi suami istri. Jadi, apa pun yang ada di diri saya, kamu boleh melihatnya."

Boleh lihat?

Eka membulatkan matanya. Pikirannya mulai menerawang kemana-mana.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel