2. BERENCANA KABUR
"Ah, Om? Siapa yang kamu panggil Om?" Mahardika mengerutkan keningnya.
"Ya, Om lah. Memangnya siapa lagi yang aku ajak bicara sekarang? Tidak ada orang di sini selain kita." Gadis itu berbicara ketus, melipat kedua tangannya di dada dan membuang pandangan ke arah berbeda.
Mahardika merasa kesal dan mendidih aliran darahnya. Dia belum setua itu, untuk dipanggil om-om berkumis dan perut buncit.
"Hendak pergi kemana kamu? Jangan-jangan, kamu ingin kabur ya?" terka Mahardika, yang membuat gadis tersebut semakin membuang pandangannya.
"Ayo, ngaku kamu! Di saat yang lain ada di dalam, kenapa kamu ada di sini?" tambahnya semakin curiga.
Gadis cantik yang akrab dipanggil Eka itu, menurunkan tangannya. "Om sendiri gimana? Kenapa ada di luar, bukannya di dalam?" sunggut Eka, membalikkan ucapan Mahardika.
Sang pria sedikit menggaruk pipinya yang tidak gatal. "Soal itu ..." Bola matanya berputar cepat. Mencari cela untuk menyusun kata-kata.
"Kenapa, Om? Jangan-jangan, Om Dika, mau kabur juga ya?" Kini Eka yang bertanya penuh selidik sambil mengarahkan jari telunjuknya tepat di depan Mahardika. Menuduh orang lain, demi menutupi kesalahannya sendiri.
"Apaan si? Saya bukan mau kabur, tapi saya harus menerima panggilan telpon tadi," sanggah Mahardika cepat.
"Ah, alasan. Aku bisa membaca pikiran Om, yang sebenarnya ingin kabur kan karena tidak mau menikah dengan aku? Mengaku saja, Om," cecar Eka terus menyudutkan Mahardika.
"Tunggu dulu! Kamu salah. Saya tidak seperti yang kamu tuduhkan itu. Ah, saya tahu. Jangan-jangan, yang sebenarnya ingin kabur tuh, kamu. Ngaku kamu!"
Kini Eka yang merasa tersudut. Ya, apa yang Mahardika katakan benar. Namun, dia juga tidak bisa mengakuinya sekarang.
"Kalau begitu, ayo, ikut saya!" Mahardika menggenggam pergelangan tangan Eka sangat erat.
"Lepasin, Om!" Eka menepuk-nepuk tangan Mahardika cukup kencang, supaya pria yang hendak menikahinya itu melepaskan genggamannya.
"Kamu tidak bisa kabur lagi. Saya akan katakan semuanya kepada Om Teguh, kalau kamu berusaha untuk kabur."
Mahardika tidak peduli, Eka terus memukuli tangannya dan berteriak minta dilepaskan. Bahkan digigit pun, Mahardika tidak merasa sakit, meskipun ada bekas gigitan di sana.
"Sebenarnya, tangan Om terbuat dari apa, kok enggak mempan digigit si? Om, bukan keturunan Iron Man kan, tangannya keras banget?" gerutu Eka, keheranan sekaligus pasrah lantaran tidak bisa lepas dari cengkraman Mahardika.
Sedangkan, Mahardika terkekeh kecil. Tidak menyahut ucapan Eka, tapi dia merasa terhibur dengan tingkah polos gadis itu. Dia tetap menarik tangan Eka untuk masuk rumah.
Ketika sampai di ruang tamu. Semua orang spontan berdiri dengan kedatangan dua anak manusia yang memiliki sifat saling bertolak belakang.
Mahardika pun melepaskan tangan Eka.
"Ayah ... Dia memperlakukanku sangat kasar," adu Eka merengek, yang langsung menghampur dalam pelukan cinta pertama bagi seorang anak perempuan.
"Ada apa ini?" tanya Teguh Saputra, selaku Ayah Eka. Dia menjatuhkan tatapan penuh tanda tanya pada Mahardika.
"Sebelumnya maaf, Om Teguh, tapi Eka berusaha untuk kabur dari rumah ini tadi." Kini giliran Mahardika yang mengadu.
Eka yang sempat ingin mengubah fakta pun, tertahan kalimatnya karena Mahardika sudah lebih dulu berkata.
"Benar, yang dikatakan Nak Dika?" tanya Teguh, pada sang putri tercinta. "Sungguh, kamu ingin kabur dari rumah ini?"
Eka terdiam sejuta bahasa, kepalanya tertunduk malu. Tidak bisa menatap langsung mata ayahnya. Rasanya, Eka ingin mengumpat kasar dan memarahi Mahardika yang telah menggagalkan rencananya.
Annata selaku wanita yang telah melahirkan Mahardika pun, menghampiri sang putra. "Sebenarnya, apa yang terjadi, Sayang? Mengapa kamu bisa datang bersama Eka?"
"Tadi, selesai menelepon, Dika melihat Eka yang berjalan mengendap-endap seperti maling, menuju gerbang. Dika memergoki dia dan mengetahui bahwa Eka hendak kabur," paparnya bersikap tenang.
Mendengar penuturan Mahardika, membuat Teguh merasa malu. Dia sudah mengangkat tangan kanannya, hendak memukul. Namun, Mahardika segera mencegahnya.
"Tunggu, Om! Eka tidak sepenuhnya salah. Mungkin dia merasa tertekan dengan pernikahan ini," kata Mahardika memberi pemahaman.
Eka mengangkat kepalanya. Ucapan Mahardika, menariknya untuk menatap pria dengan jas hitam itu lekat. Cukup lama karena wibawa Mahardika yang tenang dan meneduhkan, seperti kalimat yang baru saja terucap.
Eka merasa kagum karena menurutnya, Mahardika seolah bisa membaca isi hatinya.
"Sebaiknya, kita dengarkan terlebih dahulu, apa yang Eka inginkan. Kita tidak bisa mengambil keputusan yang membuat Eka merasa tidak nyaman," sambung Mahardika menjadi penengah.
Teguh, selaku Ayah dan ibu bagi Eka, kini melonggarkan pelukannya. Menyentuh kedua pipi sang putri tercinta.
"Sekarang, ayah ingin bertanya. Apakah kamu, keberatan dengan pernikahan ini? Jika memang kamu keberatan, maka kamu bisa mengatakannya sekarang."
Teguh pun mengikuti ucapan Mahardika. Sedangkan Annata menggenggam tangan putra semata wayangnya tersebut, lalu tersenyum bangga. Mahardika pun mengerjapkan matanya satu kali.
Eka tidak buru-buru menjawab. Dia masih tertunduk. Tidak ada yang tahu isi pikirannya sekarang. Gadis itu benar-benar merasa dilema sekarang.
Mendapati Eka yang tak kunjung bersuara, membuat Mahardika mengambil tindakan lagi. "Seandainya kamu belum siap, maka saya bersedia membatalkan pernikahan ini." Mahardika sedikit meninggikan suaranya, supaya terdengar oleh Eka.
"Mahardika!" Bambang Wijaya bereaksi lebih dulu.
"Kakek, tenang ya. Saya belum selesai berbicara," kata Mahardika tanpa emosi. Dia menjatuhkan tatapan tenang pada Bambang Wijaya, sebelum akhirnya kembali menatap Eka di sana.
"Saya akan menunggu kamu siap dengan pernikahan ini. Saya tidak akan memaksa kamu untuk menikah sesuai tanggal yang telah ditetapkan. Kamu yang menjalani kehidupan ini. Jadi, kamu jugalah yang harus mengambil keputusan ..."
"Saya lebih baik menunggu, dari pada membuat seseorang merasa tidak nyaman dengan kehadiran saya. Pernikahan tidak hanya menyatukan dua insan saja, tetapi pernikahan menyatukan dua karakter yang berbeda."
Mahardika tersenyum kecil. Kalimatnya mengalir dari awal hingga akhir dan membuat pendengarnya merasa tenang. Terutama Bambang Wijaya. Dia lah yang sedari awal menginginkan Mahardika menikah dengan Eka.
"Bagaimana, Sayang?" Teguh kembali bertanya.
Eka pun mengangguk malu-malu. "Iya, Ayah. Aku bersedia melanjutkan pernikahan ini sesuai tanggal yang ditetapkan." Lalu dia berkata sangat lembut, setelah diam cukup lama.
Selanjutnya, Eka menatap lurus Mahardika yang tersenyum di sana.
Eka tidak tahu, sihir apa yang digunakan Mahardika, sampai membuat hatinya luluh. Padahal beberapa saat lalu, ia berencana untuk kabur dari rumah, guna membatalkan pernikahan tersebut.
Sebegitu besarnya kah, pesona Mahardika?