1. DIPAKSA MENIKAH
"Mau pergi kemana kamu?" tanya pria paruh baya, yang seluruh rambutnya sudah memutih itu, pada seorang pemuda tampan tiga puluh tahun yang rapi dengan setelan jas hitam, dasi kupu-kupu dan celana panjang warna senada.
Pemuda bernama Mahardika itu, menghentikan langkahnya sembari menghela napas panjang, "ya, apa lagi kakek, selain ke kantor. Aku harus menghadiri rapat penting dengan beberapa petinggi perusahaan. Rapatnya akan dimulai satu jam lagi."
Mahardika melihat arloji yang melingkar di lengan kirinya. Keningnya sedikit mengerut karena jalanan pasti akan sangat ramai di jam-jam segini.
"Duduklah! Ada hal penting yang ingin kakek bicarakan denganmu," pinta pria tujuh puluh lima tahun itu, mengiba.
Mahardika mengangguk pelan. Padahal ia ingin menolak. Namun, diurungkannya karena yang meminta adalah sang kakek.
"Sebenarnya, apa yang ingin kakek bicarakan denganku?" Kini giliran Mahardika yang bertanya.
"Batalkan, rapat itu!" tegas pria paruh baya itu, tanpa berkedip.
"Dibatalkan, maksud kakek?" Mahardika menaikkan sebelah alisnya setengah terkejut.
"Iya, setiap hari kau selalu saja sibuk dengan pekerjaan. Tidak pernah ada waktu untuk keluarga dan memikirkan masa depanmu. Apa kau tidak ingin berkeluarga?"
Pria paruh bayar bernama lengkap Bambang Wijaya itu, bertanya dengan nada serius. Menyandarkan kepalanya ke belakang sambil melipat kedua tangan di dada.
Mahardika kembali menghela napas panjang, "aku belum siap berkeluarga. Aku masih ingin mengembangkan usaha keluarga kita." Kemudian dia beranjak bangun.
Mahardika sudah bisa menebak arah pembicaraan ini dan tidak ingin melanjutkannya. Dia mengancingi jasnya, hendak pergi.
"Duduk kamu!" titah Bambang, tegas.
"Sudahlah, Kakek. Jangan lanjutkan obrolan ini. Mahardika sedang tidak ingin membahas apa pun mengenai jodoh." Helaan napasnya sangat panjang dan berat.
Seketika senyuman memudar dari wajah tampan nan rupawan itu. Suasan hatinya berubah tidak enak sekarang.
"Tapi, kamu harus menikah, Nak. Usiamu sudah tiga puluh tahun. Sampai kapan kamu akan sendiri, sedangkan ayah dan bundamu sudah ingin menggendong cucu. Kekek pun, ingin melihatmu ada yang mengurus," kata Bambang Wijaya sedikit bergetar suaranya.
Lagi-lagi, Mahardika membuang napas berat. "Bukankah kakek pernah mengatakan, kalau jodoh akan datang dengan sendirinya. Lantas, mengapa Dika harus mencari, jikalau dia bisa datang sendiri?"
Bambang Wijaya menepuk keningnya. Tidak habis pikir dengan pola pikir cucu kesayangannya itu. Mahardika memang pandai di dunia bisnis, terbilang sangat sukses, tapi caranya mengartikan ucapan orang tua, sangatlah payah.
"Terserah padamu saja, tapi kakek ingin hari ini kau membatalkan seluruh agendamu!" tegas Bambang Wijaya tanpa bisa diganggu gugat.
"Alasannya?" Mahardika mempertanyakan keinginan kakeknya.
"Karena kita semua akan pergi melamar."
"Ngelamar? Kakek ingin kita ngelamar di perusahaan mana lagi? Kita sudah memiliki banyak perusahaan di beberapa kota. Perkebunan kelapa sawit dan tambang batubara," jawab Mahardika polos.
Kembali Bambang Wijaya menepuk keningnya sambil geleng-geleng kepala. Dia mengikis jarak. Kini posisinya dengan Mahardika kurang dari atau meter. Saking gemasnya dengan kepolosan sang cucu, Bambang Wijaya pun menyentil kening Mahardika.
"Aduh kakek, sakit," keluh Mahardika spontan sambil mengusap keningnya.
"Melamar, bukan ngelamar. Maksudnya melamar seorang gadis." Pria paruh baya itu merapatkan gigi-giginya karena gemas plus kesal dalam satu waktu.
Mahardika diam sejenak. Kalimat terakhir Kakeknya perlu ditelaah lebih lama.
"Kamu tuh, sudah dewasa, Dika. Sudah seharusnya kamu berumah tangga. Dulu, ayah kamu menikah di usia 25 tahun, sedangkan kamu tiga puluh tahun, belum memiliki pendamping. Ayah dan Bunda sudah sama-sama sepakat untuk menikahkan kamu dengan Eka ..."
"Eka, anaknya Om Teguh Saputra?" sahut Mahardika cepat, mengarahkan pandangannya pada sosok wanita cantik, yang datang dari arah dapur.
"Bunda mau, kamu bertemu Eka hari ini karena pernikahan kalian sudah ditetapkan," ucap wanita yang akrab disapa bunda tersebut.
Mahardika tidak mengiyakan, tapi tidak juga menolak. Diam seperti patung batu untuk beberapa saat.
***
Balaraja, Tangerang Banten.
Kediaman keluarga Saputra. Keluarga sederhana yang memiliki rumah makan cukup terkenal di kawasan Balaraja.
Rumah dengan lantai dua dan memiliki halaman luas yang ditumbuhi banyak pepohonan dan tanaman hias itu, membuat siapa pun yang melihatnya merasa tenang.
"Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh," ucap Bambang Wijaya dan keluarga saat berdiri di depan pintu.
"Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh," balas Teguh Saputra, berdiri tepat di bibir pintu.
"Kalian masuk saja duluan. Aku harus terima telpon dulu. Tidak lama. Lima menit saja," kata Mahardika, di sela-sela sambutan hangat.
Dia tidak bisa mengabaikan sambungan telepon satu ini karena menyangkut proyek besar yang sedang dikerjakannya.
Bambang Wijaya geleng-geleng kepala. Selalu saja seperti itu. Sambungan telpon datang diwaktu yang tidak tepat.
Setelah itu, Sang tuan rumah segera membersihkan tamu spesial itu untuk masuk.
"Ayo, silahkan duduk. Mohon maaf keadaannya seperti ini," ucap Teguh, merendah.
Bambang Wijaya, Frans dan Annata duduk di sofa yang ada di sana. Tak henti-henti senyuman terukir di wajah masing-masing. Kedatangan mereka, semata-mata untuk melamar anak bungsu dari keluarga Saputra.
Sementara itu, Mahardika yang belum masuk ruangan lantaran harus menerima sambungan telpon terlebih dahulu, tampak menyudahi pembicaraannya dengan seseorang yang jauh di sana.
Saat berbalik badan, Mahardika melihat ada sosok gadis mungil, memakai kaos lengan panjang dan celana jins itu, sedang berjalan mengendap-endap di antara pohon mangga dan pohon jambu. Gerak geriknya yang mencurigakan sungguh memantik rasa penasaran Mahardika.
Kening Mahardika mengerut, lantaran dia mengenal gadis tersebut. Wajahnya tidak asing, meskipun sudah lama tidak bertemu.
"Mau pergi kemana dia? Mengapa gayanya seperti musang yang hendak menerkam ayam warga?" gumam Mahardika terheran-heran.
Demi menjawab rasa penasarannya, Mahardika berlari guna mengikuti gadis tersebut.
Tepat saat di depan gerbang, gadis itu menghentikan langkahnya. "Di mana kuncinya." Dia merogoh-rogoh tas selempang warna biru itu.
"Apa yang sedang kamu lakukan di sini?" ucap Mahardika mengejutkan.
Gadis mungil itu, terperanjat. Bahunya sampai bergerak sedikit. Dia berbalik badan. Aksinya ternyata sudah diketahui seseorang. Padahal dia sudah memastikan, keadaan sepi. Hari ini memang cukup sial baginya.
"Apa yang Om Dika lakuin di sini?" tanya gadis itu, polos.
"Ah, Om? Siapa yang kamu panggil Om?" Mahardika mengerutkan keningnya.