BAB 6_IPAR MENYEBALKAN
Dua gadis tak jauh usianya memasuki halaman rumah yang bercat kuning muda, mendekati pintu sambil berbincang. Di tangan mereka menenteng kotak makanan warna warni.
"Apa kau yakin, kakak ipar akan suka?" tanya Si Adik, Ratna Astuningtyas.
"Dia harus suka dong, jangan banyak gaya!" ketus Si Kakak, Nindi Mahiswara.
Ratna hanya memainkan bibirnya manyun. Sebagai yang berstatus adik, dia tak bisa banyak bicara. Segala keputusan atas dirinya adalah tergantung dengan kakak. Itu sudah hukum tak tertulis dalam keluarga.
Tok ... tok ... tok!!!
Seorang wanita bercadar membuka pintu. Matanya sedikit membulat, agak kaget.
"Selamat siang, kak ipar," sapa Ratna.
Luna mencoba menguasai situasi. Dia tersenyum dan mempersilahkan kedua gadis itu masuk.
Nindi menggeret tangan Ratna. Tampak, gadis berambut kuncir kuda itu tak nyaman dengan kehadiran kakak iparnya.
"Kak, kami diminta mama bawakan ini. Ini masakan khas keluarga kami. Semoga suka ya," ujar Ratna mencoba mencairkan suasana.
"Terimakasih banyak. Lain kali aku akan mengirim makanan untuk kalian," jawab Luna kaku. Ini kali pertama dia berbasa-basi dengan wanita yang baru ia kenal.
"Apa di dalam rumahpun, kau harus menggunakan cadar?!" tanya Nindi dengan alis yang mengangkat.
"Kadang-kadang," jawab Luna.
"Buka cadarmu sekarang! Risih tau!" perintah Nindi.
"Baik. Tapi aku harus memastikan di sini tak ada ponsel dan pintu dikunci," jawab Luna tegas.
"Apaan sih?! Kamu itu aneh! Pastilah kakek sudah pikun, menjodohkan abangku dengan wanita aneh sepertimu. Kau lebih mirip seperti teroris di mataku!"
Luna terdiam. Ini ternyata yang dimaksud tulisan di buku yang sedang ia baca. Ipar adalah maut! Bahkan ia harus membaca banyak buku untuk mempersiapkan diri hidup di luar dengan status sebagai istri.
"Aku tak boleh sembarangan menampakkan wajahku. Jika kalian ingin melihat wajahku, aku bisa memperlihatkannya sekarang tapi kalian harus menjaga rahasia!"
Luna berusaha setenang mungkin.
"Apa kamu ngerasa, kamu itu spesial?! Sejak kapan perkara wajah menjadi sangat penting?!" Nindi melototkan matanya seolah menantang.
"Baiklah. Aku akan buka cadarku sekarang," ujar Luna dengan suara berat. Ia tak ingin wajahnya menjadi masalah dengan adik iparnya.
"Malaslah! Gak penting! Mana abangku?!"
Ratna mencubit lengan Nindi, memberi isyarat agar dia menjaga sikap. Nindi menepis tangan adiknya.
"Mas Yudha sedang di kamar. Kalian bisa menunggu. Aku akan panggilkan," tawar Luna.
"Kami bisa ke sana sendiri kok! Ini kan rumah abang kami. Bahkan kami punya kamar di sini!"
Kali ini, Nindi menyeret tangan Ratna.
"Tunggu!" suara Luna agak meninggi.
"Apaan?!" hentak Nindi.
"Jika kamar yang kalian maksud adalah kamar sebelah kamar Mas Yudha, jangan. Itu kamarku. Tak boleh siapapun masuk ke sana bahkan Mas Yudha sekalipun!"
"Sinting kali ya!" Nindi memiringkan jari telunjuknya di pelipis matanya. Gadis itu kesal sekali. Ia merasa, kakak iparnya sangat aneh.
"Kakak jangan ketus-ketus lah sama kak ipar. Dia kan orang baru," ujar Ratna sembari mengikuti langkah kakaknya.
"Kamu jangan bela dia! Aku mau bicara sama bang Yudha. Istrinya perlu diajar!"
"Bang!! Bang!! Buka pintu!" teriak Nindi.
Masih sempoyangan, Yudha membuka pintu.
"Apa? Masih pagi sudah ribut. Abang masih ngantuk ini. Hidung mampet," ujar Yudha membiarkan kedua adiknya masuk kamar.
"Capek malam pertama kau, Bang?!" cerocos Nindi.
Yudha hanya manyun. Ia kembali merebahkan dirinya. Badannya terasa pegal.
"Kalian ke sini mau apa?" tanya Yudha dengan mata ditutup.
"Mama suruh ke sini bawain opor ayam kesukaan abang," jawab Ratna santun.
"Ooh terimakasih ya."
"Itu istrimu, tolong diajar baik-baik ya, Bang! Dah berasa ada teroris di sini. Masa di dalam rumah dia pakai cadar?! Kan gak logis! "
"Dia memang begitu. Aslinya dia cantik kok."
"Alah, alasan abang aja belain istri. Suka beneran abang sama dia? Aku sih risih," lanjut Nindi.
"Sabar. Dia memang begitu," timpal Yudha tak mau memperpanjang masalah.
"Bang! Mintalah istrimu buka cadarnya. Dah kek teroris aja. Apa mau abang bawa ke pertemuan perusahaan kalau model begitu?!" ketus Nindi.
"Nanti abang bawa Ayu," timpal Yudha.
"Bang! Gak boleh dong abang bicara begitu. Masih bau pengantin baru kok sebut wanita lain?" tegur Ratna.
Yudha menggeleng kesal.
"Kalian cerewet kalilah! Pulang sana! Abang masih ngantuk!" pekik Yudha membuat kedua adiknya kaget.
"Kami mau nginep. Di rumah ada party. Males harus ketemu tante, paman juga. Kami juga takut ketemu kakek, bisa-bisa dijodohkan sama teroris kek istrinya abang!" cerocos Nindi ikut merebahkan badannya di dekat kakaknya.
"Ya sudah, nanti abang tidur di sofa," ucap Yudha malas.
"Ya gaklah. Aku sama Ratna tidur di kamar sebelah! Itu kan memang kamar kami," ujar Nindi.
"Itu kamarnya Luna, kalau dia kasih, bisa. Tapi kayaknya aku tak yakin dia mau berbagi kamar sama kalian. Kakak ipar kalian itu sedikit ... hmmmm ... imut," jelas Yudha menunjukkan jari telunjuk dan jempolnya. Ratna dan Nindi mengkerut.
"Jadi seriusan omongannya tadi, kak?" tanya Ratna pada Nindi dengan wajah heran.
"Kalian suami istri kenapa pisah kamar?! Ayo!" Ratna menindih punggung Yudha dan mengacungkan telunjuknya.
"Ya semua orang butuh privasi. Kalian jangan terlalu kepo!"
"Atau jangan-jangan, istrimu itu teroris, Bang!! Kau harus waspada. Pergerakan mereka memang penuh dengan rahasia gini," ujar Nindi penuh keyakinan.
"Ngawur aja. Jangan lupa, dia itu rekomendasi kakek. Kalau sampai ucapanmu ini di dengar kakek, habis!" ancam Yudha membuat Nindi kembali berpikir.
"Pastilah ada yang spesial, Bang," kata Ratna. Yudha kembali memejam matanya. Mencoba mengabaikan kehadiran dua adiknya itu.
"Sudahlah. Aku mau pindah kamar!" seru Nindi.
Gadis itu bangkit. Di bukanya pintu dengan keras namun seperti sudah terkunci.
"Apaan nich? Kok kekunci?!" teriaknya.
"Kalian bisa tidur di kamar belakang. Aku sudah membersihkannya dan menyiapkan beberapa cemilan." Luna tiba-tiba muncul membawa teh dan 3 cangkir cantik.
"Tidak! Aku ingin kamar ini. Sebelum kamu hadir di sini, kamar ini sudah jadi milik kami! Lagian aneh banget, suami istri kok pisah tidur?!" timpal Nindi.
"Kamar ini privasi buatku," jawab Luna dingin.
"Persetan! Buka kamar ini! Apa jangan-jangan kau benar-benar teroris?!" Nindi melotot.
Luna berusaha tenang. Ingin rasanya ia menyumpal mulut gadis berambut merah di depannya ini.
"Buka!" teriak Nindi beriringan dengan suara ketiga cangkir yang jatuh. Gadis itu menepis nampan itu untuk meluapkan kekesalannya.
Braaaakkk!!!
Nampan di tangan Luna jatuh berserakan.
Yudha terkejut bukan main sampai-sampai dia berlari menghampiri sumber suara.
"Oh My God, apa ini?!" pekik Yuda melihat banyak beling tercecer. Kakinya refleks menghindar.
Ia melihat Nindi membuang wajah. Istri bercadarnya itu menatap Nindi dengan tajam. Nafasnya memburu. Ratna mencoba mencairkan suasana.
"Aku yang bersihin ya, kak," ucapnya membungkuk mencoba memungut beling-beling yang berserakan.
Yudha menghampiri Luna. Wanita itu mengangkat telapak tangannya memberi isyarat pada suaminya agar berhenti. Ia mendekati suaminya, perlahan, tepat di telinga laki-laki itu. Luna berbisik ....
"Ajari adikmu, jika tidak ingin kubuat sama seperti cangkir itu ...."
Hancur!!!