BAB 7_KAKEKKU KETERLALUAN
Aku menggaruk kepalaku yang tak gatal. Kakek akan marah jika tahu Nindi membuat Luna marah. Aku bisa merasakan kemarahan Luna. Sampai sekarang jika kuingat aku bisa merinding.
Hari pertamaku masuk kantor terasa sangat horor. Bayangan mata Luna yang menatap adikku masih segar sekali. Begitu dingin dan menakutkan. Aku sempat berpikir, apa jangan-jangan istriku itu seorang kriminal berdarah dingin?! Tidak mungkin.
Karena kekacauan yang mereka timbulkan, Nindi dan Ratna aku usir saat itu juga. Mereka sama sekali tak menolak. Sepertinya ada juga rasa takut menyelinap di hati kedua adikku itu, khususnya Nindi. Sejak kami masih kanak-kanak, Nindi memang yang paling sering memberontak. Pikirannya logis dan ia tak suka berbasa-basi. Mungkin penampilan Luna menggelitik jiwa bar-barnya.
Andai Nindi melihat bagaimana istriku itu melompat dari tingginya pohon mangga di halaman belakang. Dia mungkin tak akan percaya bahkan makin yakin dengan tuduhannya. Aku diam-diam memperhatikan Luna yang asik menyapu di belakang. Kukira ia akan mengambil galah tapi dengan cekatan wanita itu menaiki pohon mangga itu. Saat kutanya bagaimana ia memetik buah itu, santai saja dia menjawab.
"Hanya sedikit memanjangkan tangan! "
Aku hampir saja menimpalinya tapi aku takut dia malu karena tingkah brutalnya itu.
Luna tak berubah. Seolah ia tak mengatakan apa-apa yang membuat suaminya ini takut. Ia tetap menyiapkan makanan dan membersihkan rumah. Setelah itu, ia akan kembali ke kamarnya. Walau tak banyak bicara, aku tahu ia sering tersenyum. Dan aku selalu dan akan selalu luluh dengan belahan bibir istriku sendiri yang sampai sekarang belum aku sentuh. Kepalaku makin pusing!
Tiba-tiba ponselku berdering. Pucuk dicinta ulampun tiba. Kakek memintaku menemuinya tepat di saat aku butuh jawaban. Siapa wanita yang telah ia jodohkan denganku?
Aku menemui laki-laki tua itu di kantornya. Bangunan mewah dengan fasilitas bak hotel bintang 5. Serasa aku berada di puncak kemegahan jika aku bertandang ke sini. Aku merasa, harta kakekku tak habis-habis. Terkadang, aku sempat berpikir, kakekku melakukan pesugihan. Jarang hadir di kantor tapi bisnisnya melesat cepat. Apalagi usianya sudah lanjut, tapi performanya tak menurun.
Anehnya lagi, saat ini aku dengar-dengar, selain bisnis properti, kakek sedang memulai bisniss berlian. Dan tak habis pikir, ia mendapatkan investor yang kuat. Namun tak ada seorang pun yang mengenalnya kecuali kakek sendiri. Apa jangan-jangan benar dugaanku, bisa jadi investor misterius itu Nyai Roro Kidul. Iiih aku mengacak rambutku sembari menunggu kakekku keluar dari ruang rapat. Pikiranku memang suka mengawang mengkhayal, sepertinya memang aku berbakat jadi penulis. Aku tersenyum malu.
"Sudah lama, Nang? "
Suara yang tak asing bagiku. Lanang adalah panggilan kesayangannya untukku. Sebagai cucu laki-laki tertua, aku menempati posisi teratas di hatinya. Sejak kecil, dia selalu jadi bayanganku. Dialah kakekku, Aderald Ibrahim. Konglomerat yang berwibawa dan memiliki banyak properti.
"Kakek! "
Aku memeluknya takzim. Beginilah. Di belakangnya aku bisa berburuk sangka, bahkan meracau tentangnya. Namun jika sudah bertemu, nyaliku menciut. Kakekku memiliki kharisma yang sangat kuat. Apa karena uangnya yang banyak?
"Apa Kakek mengganggu waktumu? "
"Kebetulan, aku juga mau ketemu Kakek, " jawabku.
"Kenapa? "
"Tentang Luna, istriku. Aku merasakan ada yang aneh. Semua tentang dia terasa aneh, seperti dia menyimpan sebuah rahasia, " ujarku tak sabaran.
"Hanya perasaanmu saja, " jawab Kakek sambil mengisap cerutunya.
"Aku ingin tahu tentang dia, Kek. Ceritakan semua yang Kakek tahu tentang dia! "
"Bukannya sebelum akad, itulah waktumu menanyakan semua hal tentang calon istrimu? " tanya Kakek masih santai.
"Ya belum kepikiran saja, Kek. Setelah tinggal serumah baru punya pikiran. Katakan, Kek! Siapa dia? " rengekku memohon.
"Ya..itu resikomu! "
"Kakek!" teriakku seperti anak kecil.
"Kapan kamu bisa dewasa, Nang? Kamu ini sudah punya istri lo! " seru Kakekku.
"Dia itu pilihanmu, Kek! Jadi kakek punya kewajiban menjelaskan siapa Luna sebenarnya! "
Aku melotot. Penuh rasa dadaku. Kesal sekali.
"Itulah sifat kekanak-kanakanmu! Ceroboh. Bukannya sebelum menikahi istrimu kau harus meniliknya lebih rinci. Sekarang baru bingung. Bocah eddan! " umpat laki-laki tua itu.
"Kakek kan memaksaku! " tegasku lagi.
"Lempar batu sembunyi tangan, " lanjutku lagi ketus.
Kakekku terkekeh. Iiisssh!
"Ya aku berpikir dia hanya wanita bercadar biasa, yang rajin sholat, mengaji, suka dengerin pengajian, bakti pada suami, orang tua, ipar! " paparku yang membuat kakek tua itu melongo.
"Nyatanya?! " timpalnya.
"Ya nyatanya dia keras kepala, bisa ganti ban mobil, tutup keran bocor, naik lompat pohon, dingin, penuh dengan misteri! Bahkan ia pernah mengancam! "
Tiba-tiba aku mendengar suara gelak tawa kakekku memenuhi ruangan ini. Tubuhnya terguncang-guncang karena senangnya. Aku ingin menyumpal mulutnya, takut-takut bisa terkena virus dari ludahnya yang berserakan!
Aku mengkerut. Lebih tepatnya menahan amarah. Lama-lama dia hampir sama dengan istriku. Bisa dingin, bisa juga hangat. Aku makin pusing!
"Kau apakan dia makanya bisa mengancammu, Nang?!! " tanya kakekku masih seperti menahan tawa.
Aku menahan nafas. Yang baru saja itu keceplosan.
"Anu Kek... Itu, " jawabku terbata-bata.
"Katakan! Kau tahu kan, kakekmu ini tak suka penasaran! "
"Tempo hari, Nindi Ratna datang berkunjung. Luna tak mengizinkan mereka masuk kamar sebelah kamar utama. Wanita bercadar itu memonopoli kamar itu. Itu kan memang kamar Nindi Ratna bahkan sebelum kami menikah! "
Aku berapi-api.
"Nindi tersulut emosi. Cangkir beserta teh yang akan disuguhkan Luna, sengaja dijatuhkan Nindi dari tangan Luna. Nindi juga mengatakannya sebagai teroris. Mungkin itu yang membuat Luna jadi marah."
"Setan alas! Kau tak membela istrimu?! "
Aku kaget sekali melihat respon kakek. Aku rasa dia sudah berlebihan.
"Ya gimana, bingung mau pungut buang yang mana! Mereka sama-sama keras kepala. Seperti anak kecil! "
"Oh Tuhan... Lalu Angel bilang apa? "
"Angel?! " Aku sedikit heran dengan yang barusan kudengar.
"Luna maksudku. Bagiku, dia angel, malaikat yang bisa menolongmu dari kebodohan! " timpal kakekku tanpa ragu, membuat aku makin kesal.
"Angel dari hongkong! Dia mengancamku untuk mengajari Nindi jika tak ingin seperti pecahan cangkir itu. Sudah seperti psycho saja! " seruku meluapkan emosi.
"Bocah sontoloyo! Bodoh! "
Kepalaku tiba-tiba dipukul kakek. Aku meringis hanya bisa menahan. Mana berani melawan! Tua bangka itu walaupun sudah berumur, tenaganya masih sangat kuat. Bukannya mendapatkan solusi justru aku makin terpojokkan.
"Kakek!!! Berhenti!!! " pekikku.
Aku berlari menjauhinya. Andai bukan pemimpin perusahaan ternama, aku sudah menangis. Sakit sekali dipukul seperti anak kecil.
"Diam kau disitu! Kubunuh saja kau bocah edan! Bodoh! " umpatnya.
"Kakek keterlaluan!! Bukannya menceritakan apa yang ingin kudengar malah menghukumku begini! Apaa siih! " teriakku menghindar, naik sofa, turun sofa, bahkan aku berlari tak karuan mengitari ruangan itu. Tua bangka itu mengejarku seperti kesetanan. Andai bukan kakekku, sudah kucekik lehernya!!