BAB 4_KAU MILIKKU!
"Janji ya, Mas, " ucapnya lembut. Matanya menyipit sayu dengan pipi mulus ikut mengembang. Aku mencoba mengambil kesadaranku kembali.
"Kalau begitu, aa-aaku ke kamar dulu. Terimakasih untuk makanannya, " ucapku terbata.
Luna mengangguk. Tatapan itu! Oh Tuhan, aku tak mampu berlama-lama. Jantungku. Aku harus mengajaknya bicara. Kenapa tiba-tiba berdegum kencang?
Sesampai di kamar, Ayu menelponku.
"Ya sayang, " ucapku mengusap wajah.
"Kenapa dari tadi mengetik terus tapi tak ada pesan WA yang masuk sih, sayang?"
Terdengar suara rajukan Ayu Ruminang, kekasih pujaan hatiku 2 tahun terakhir ini.
"Ma-maaf sayang. Tadi Luna ajak aku bicara, " jawabku.
"Oh, jadi namanya Luna. Cantik? "
Aku kikuk. Kalau kukatakan sejujurnya, pastilah Ayu akan marah. Jika aku katakan tidak, aku akan berdusta. Sejenak aku memilih diam.
"Sayang?! Istrimu itu cantik apa gimana?! " Terdengar Ayu marah.
"Cantik itu relatif sayang, " jawabku berusaha netral.
"Terus menurutmu, dia cantik? " cecarnya.
"Hmm sama cantiknya sama kamu. "
"Aku gak mau disamain ya! cantik ya? Senang sih kamu, " sindirnya lagi.
"Iya sayang, cantikan kamu, " jawabku cari aman.
"Bohong! "
"Ya, cantikan dia, " ketusku. Andai Ayu tahu, itu benar.
"Oh jadi cantikan dia?!! Puas ya kamu, pantes kamu cuekin aku! Katanya tak 'kan goyah, ternyata baru hitungan hari. Dasar laki-laki buaya! "
Panggilanpun terputus. Aku sudah tak heran. Nanti juga dia yang akan menghubungiku kembali.
Wanita oh wanita...
Apa ada makhluk yang lebih rumit dari wanita?
Kuhempaskan ponselku dan mengecek laptop. Walau aku mengambil cuti menikah, aku harus tetap mengontrol kondisi perusahaan. Tak terasa sudah 5 jam aku di depan laptop. Perlahan kurenggangkan pinggang.
Aku lelah juga lapar.
Kulirik jam tanganku. Sudah pukul 10 malam. Mungkin ada sesuatu yang bisa kumakan di dapur.
Kubuka tudung saji. Aku menemukan makanan rumahan. Tempe goreng dan sayur tumis sawi. Mana ayamnya? Apa istri bercadarku belum tahu, aku ini pencinta ayam. Sambil mengunyah tempe goreng, aku mengomel dalam hati.
'Akan kuajar dia! Masak kok cuma tempe goreng?! Lidahku bukan ditakdirkan untuk menikmati tempe ini saja! '
Tiba-tiba Luna hadir di depanku, membuat tempe yang kunyah hampir keluar lagi. Apa dia setan? Sering muncul tiba-tiba begini?!
"Kenapa, Mas?" sapanya membuka kulkas, mengambil buah.
Aku gagap. Mulutku masih penuh. Luna hanya tersenyum, lebih tepatnya menyeringai seperti mengejekku.
"Mau aku kukupaskan juga? " tanyanya lagi menyodorkan sebuah jeruk.
Aku mengangguk. Kikuk.
"Anu, Dek... "
Aku ingin menyumpal mulutku sendiri. Aku barusan panggil dia 'dek'?
"Ya, Mas? "
Oh Tuhan, cantik sekali.
"Tempenya enak? " tanyanya lagi.
"Iy.. Iya, Dek. Enak. Aku suka, " jawabku cepat.
Luna tersenyum. Bibir mungil ranumnya mengunyah jeruk itu satu persatu. Mengeluarkan bijinya perlahan. Jantung, mengapa kau berdegub kencang lagi!? Tekadku untuk mengajarinya dengan tegas kini menguap tak tersisa.
"Mas suka lauk apa? " tanya Luna sambil menyodorkan jeruk yang sudah dia kupas.
"Ayam, " jawabku singkat.
'Aku juga suka sama senyummu' bisik hatiku yang membuatku tak kuasa menelan jeruk yang sedang kukunyah. Sepertinya Ayu benar. Aku ini buaya.
"Kalau begitu, berikan aku uang dapur dong, Mas. Bukannya sudah kewajiban suami memberikan istrinya nafkah? Tidak apa-apakan? " tanya Luna dengan mata menyipit dengan senyum di antara pipi bak pualam itu.
"Ooh tidak apa-apa dong. Adek mau berapa? Mingguan atau bulanan? Kutranfer sekarang! " seruku.
Entah kenapa aku tiba-tiba menjadi bersemangat.
"Terserah Mas saja. Kalau bisa sih yang cash. Aku akan belanja di warung depan, " ujarnya.
"Mas maunya kamu belanja di market aja. Lebih higienis dan bervariasi, " jawabku.
Luna mengangguk.
"Sesekali juga tak apa-apa sih. Tapi jangan keseringan ya, " ucapku menetralisir. Aku takut Luna menganggapku otoriter.
Tanpa banyak kata, aku berjalan ke kamarku, membuka brankas. Kubawakan Luna seikat uang lembaran merah.
"10.000.000? Untuk berapa bulan ini, Mas? "
Aku tersenyum bergaya.
"1 Minggu, cukup? "
Luna menaikkan alisnya kaget. Aah cantik, bisik hatiku.
"Terlalu banyak, Mas. Aku tak bisa menghabiskan uang segini banyak hanya untuk memasak ayam, " jawabnya polos.
Ooh aku senang. Merasa, aku bisa membuat wanita dingin itu kebingungan, hatiku makin bersemangat dan bangga.
"Kalau ada sisa, untuk kamu aja, Dek, " ucapku santai.
Luna masih melongo seperti tak percaya.
Ah dia hanya belum tahu saja, siapa Sayudha Wistara. Pemuda tampan dan berduit.
Aku melangkah menuju wastafel. Senyum-senyum merasa menang.
"Habiskan ya, Dek! Kau bisa beli apa saja. Kalau kurang, katakan, " ucapku lagi sambil memutar keran di depanku.
"Mas, pelan-pelan putar keran wastafel itu. Sepertinya agak rusak! " seru Luna.
Aku hanya tersenyum. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Aku memutar keran itu,
"Tak kenapa-kenapa, kok! " ucapku santai.
"Iya, hati-hati," ucap Luna namun tanganku usil menghentakan putaran dengan kuat.
Belum selesai Luna berbicara, air sudah mengucur menyembur.
"Goooooosssssttttt!!!!" teriakku memukul air itu.
Aku berusaha menutup semburan air dengan tanganku. Nafasku memburu! Aku tak mau dianggap lemah dengan menghindar dari air. Itu hanya air dan barusan aku hanya kaget.
"Jangan khawatir, Dek. Sudah selesai! " ucapku tersenyum dengan tangan masih menutupi keran yang jebol itu. Basah seluruh tubuhku. Dingin, tapi tak ingin kurasa.
Luna masih melongo, mungkin dia kagum padaku atau justru merasa aneh? Wanita itu menggigit bibir bawahnya, lalu menengok kiri kanan seperti memikirkan sesuatu.
"Sudahlah, Adek tidur saja sana! " perintahku.
Tanganku sudah tak kuat menahan air itu. Luna tak bergeming. Ia justru memegang serbet yang di atas meja.
"Lepaskan, Mas! " serunya mendekat.
Aku menggeleng. Tapi tanganku sudah pegal. Terpaksa aku lepaskan. Air mengucur semakin deras. Badanku sempoyongan disemburnya. Apa air terjun Angel Falls pindah ke rumahku?! Aku kesal sekali. Bisa-bisa rumahku kebanjiran ini.
Aku melihat Luna melompat ke atas meja dapur lalu menyumpal pipa itu dengan serbet itu dengan cepat. Matanya awas, memperhatikan air yang masih mengucur walau tidak sederas tadi. Tapi sayang, pertahanan serbet itu hanya sementara. Kembali air itu mengalir deras. Aku blank. Siapa yang harus kuhubungi jika begini?! Pemadam kebakaran? Aku sudah gila.
Luna kembali menyumpal semburan air itu dengan serbet. Tidak hanya itu, dia melakukan hal yang di luar dugaanku. Mataku membeliak kaget. Luna membuka hijabnya. Dililitkannya kain hitam itu dengan erat. Tangannya keras menekan kain itu sedangkan kakinya ia naikkan, mendorong kencang, mencari keseimbangan dan kekuatan. Simpulan itu menggumpal tebal. Sempurna. Hanya sedikit tetesan yang keluar.
"Carikan aku plastik!! " teriaknya.
"Dimana?! " gagapku kebingungan.
"Dimana saja! " jawabnya sambil menahan simpulan yang ia buat.
Aku membuka lemari, tak kutemukan.
Duuaarr!!
Aku menoleh. Wanita itu membuka lemari kayu di bawah meja dapur dengan kaki kanannya. Aku benar-benar terkesiap.
"Coba cari di sini, kemarin aku melihat mamamu menyimpan sabun cuci masih dengan plastiknya! "
Aku bergegas. Membungkuk tepat di depan kakinya. Aku melihat betis mulus istriku yang basah. Sekian detik, aku tertegun.
"Cepat!" serunya.
Aku merogoh dan benar. Segera kuberikan ia plastik hitam itu dengan cepat.
"Ambilkan aku tali. Kalau tak ada, ambil tali sepatumu! " perintahnya lagi sambil melilitkan plastik di simpulan yang ia buat.
Aku menurut. Yah. Kuambil tali sepatuku lalu memberikannya pada Luna. Wanita itu mengikatnya dengan kencang. Kali ini tak ada tetesan air lagi yang jatuh.
Luna berhenti. Nafasnya terengah-engah. Aku melihat pipinya memerah karena kelelahan. Kuperhatikan seluruh tubuhnya yang basah. Walau tertutup, tapi mampu mencubit gairahku. Rambutnya ternyata panjang dan ikal di bagian bawah. Hitam dan sedikit blonde di ujung. Luna memeras rambutnya pelan dan dipindahkan ke belakang. Pemandangan itu begitu sempurna di mataku.
Bukankah aku berhak untuk menyentuhnya? Kakiku melangkah mendekat.
Diandra Safaluna, kau milikku!