BAB 3_KAKEK, KAU BENAR!
"Ayo, Mas!! " teriaknya dari dalam mobil membuyarkan keherananku.
Aku menyeret kakiku berat. Di sini, aku merasa harga diriku sebagai laki-laki sedang disentil.
Dengan perlahan aku kembali menyetir. Tak ada sepatah katapun yang bisa aku ucapkan. Kaku, mungkin karena malu.
"Jangan heran kalau mobil mewah juga bisa kempes bannya. Kalau suhu dingin, tekanan udara di dalam juga ikut turun. Karet juga mengkerut, jadi udara di dalam bisa keluar karena ada ruang antara ban sama peleknya, " papar Luna seperti seorang guru menerangkan di kelas.
Aku hanya mengangguk. Darimana dia tahu tentang teori itu? Masuk akal namun sebelumnya aku tak tahu.
Lama aku memberanikan diri.
"Mbak belajar tentang mobil darimana? " tanyaku.
"Dari majikanku, " jawabnya singkat. Sama sekali tak ada keraguan.
Majikan? Apa dia mantan ART? Kakek! Aku akan mencari tua bangka itu. Bagaimana bisa dia memintaku menikahi mantan ART?! Aku Yudha, laki-laki tampan, berkarir cemerlang, pemilik perusahaan!
Setelah sampai rumah, aku langsung masuk kamar. Barang-barangku, biarlah Luna yang bawa. Aku yakin dia cukup mengerti, cara bakti sebagai istri.
Lama aku membersihkan badanku juga scrolling instagram. Terasa perutku keroncongan. Aku ingat telah membeli makanan untuk makan malam.
Ternyata Luna sudah mempersiapkan semuanya di meja. Hemmm... Baguslah.
"Kebetulan tadi, aku mau panggil, Mas Yudha," sapanya saat aku duduk di kursi. Dia terlihat sibuk menuangkanku minum.
Aku tersenyum.
"Oh ya, barang-barang tadi, masukin aja langsung ke kamar! " perintahku santai sambil menyuap.
"Itu semua barangnya Mas, silakan masukin sendiri, " ucapnya membalasku dengan santai.
Aku menelan makananku yang rasanya nyangkut di kerongkongan. Marah? Tidak. Malu, iya. Inginku memberikannya kultum istri soleha, tapi mengingat perjanjian itu, aku menarik niatku. Nanti dia malah jadi GR, pikirku.
Telpon rumah berdering. Pastilah itu dari keluargaku. Sebelum aku menikah, pembantu ada 2 orang yang tinggal di sini. Merekalah yang selalu mengangkat telepon. Tapi Luna meminta mereka off, dan akan dipanggil saat diperlukan saja. Aku heran dengan permintaannya itu.
"Biar aku yang angkat, " ujar Luna. Aku abai.
"Baik. Saya akan panggilkan. "
'Pastilah itu telepon dari mamaku' tebakku dalam hati.
"Telepon untukmu! "
Aku mengangguk. Di zaman canggih begini, keluargaku masih bertahan dengan telepon rumah. Walau ponsel genggam juga tak lepas dari mereka. Bagi keluarga besarku, telpon berkabel itu adalah sebuah budaya warisan keluarga turun temurun.
"Halo! " seruku.
"Hay cucuku. Bagaimana? Kau suka kan dengan pilihan kakekmu ini? "
Aku melirik wanita bercadar itu lalu menutup mulutku.
"Apa Kakek sedang menghukumku?! Dia sama sekali tidak menarik di mataku bahkan setelah aku menikahinya. Aku justru takut setelah melihatnya mengganti ban mobil dan mengaku pernah memiliki majikan. Salah apa aku pada Kakek?! Hingga Kakek kasih aku mantan ART?!!! "
Aku berteriak dalam bisikku sambil sesekali mengawasi Luna yang sibuk makan.
Terdengar suara kakekku tertawa terbahak-bahak memenuhi gendang telingaku. Aku makin heran.
"Kakek, aku sedang serius. Bahkan aku belum melihat wajahnya sebab bagiku dia wanita aneh, dingin dan menakutkan. Kau bahkan tak melihatnya sekarang, dia makan masih tetap dengan cadarnya! "
Aku menggebu-gebu sedangkan kakek tuaku itu tetap tertawa renyah sekali. Aku dibuat kesal.
"Bukalah cadarnya, Kakek jamin, kau akan menarik kata-katamu ini! Sudah, Kakek harus minum obat jantung dulu sebab kau membuat Kakek terlalu senang! Hahhaha! "
Belum sempat aku menimpali ucapannya, suara kakek tua itu sudah hilang. Aku meletakkan kasar telepon itu lalu kembali ke meja makan. Seleraku sudah hilang. Aku meneguk air putih dan memikirkan kalimat kakek tadi. Apa benar?
Tiba-tiba ponselku berdering. Sekilas kulirik, Ayu calling. Aku tersenyum, sepertinya dia mulai goyah tak berlama-lama mendiamkanku.
"Hallo sayang! Siap. Tak masalah. Baik. Aku tunggu. "
Luna melirikku tajam. Aku merasa kikuk. Apa ada yang salah?
"Ayu kekasihku akan datang, Mbak tak perlu keluar kamar menyambutnya. Rumah itu sudah seperti rumahnya, " ucapku sedikit canggung.
"Aku tak mengizinkan wanita itu menginjakkan kakinya ke rumah kita. Tolong jaga martabat rumah tangga! "
Hampir saja aku tersedak mendengar ucapannya. Apa dia lupa dengan perjanjian kami?
"Maaf, Mbak masih ingat ucapannya tempo hari sebelum pernikahan ini terjadi kan? "
Gadis itu mengangguk. Kerudung hitamnya sedikit menari sebab dia sibuk mengelap meja makan.
"Kalau begitu, tolong jangan ikut campur dalam hubunganku dengan Ayu."
"Kalau begitu, tanggung sendiri jika sampai Adelard tahu, kau masih berhubungan dengan kekasihmu itu, " ancam Luna.
Telingaku panas memerah mendengar wanita yang bahkan aku tak tahu dari mana asal usulnya, memanggil kakekku dengan nama panggilannya. Bahkan, hampir seumur hidupku, aku tak pernah mendengar orang memanggil namanya saja. Istri bercadarku ini benar-benar tak tahu adab.
"Apa Mbak sadar, siapa yang barusan Mbak panggil namanya saja itu?!" sentakku.
"Maaf. Aku hanya sedang emosi," jawabnya singkat.
Dia memilin-milin jilbabnya seperti menahan kesedihan. Aku tahu, pastilah dia shock saat aku mulai membentaknya. Lagipula, dia benar-benar sudah tidak sopan.
"Tolong jangan bawa Ayu ke sini, selama aku di sini. Kalian bisa bertemu dan melakukan apa saja di luar. Tapi tidak di rumah ini. Kamu juga harus menjaga martabatku sebagai istri. Apalagi kakek memintaku menjagamu, " ujarnya lagi.
Aku memanggut memikirkan ucapannya. Baiklah. Akan kupertimbangkan.
"Mulai sekarang, berhentilah memanggilku Mba. Aku tak ingin ada telinga lain yang mendengarnya, " lanjutnya lagi.
"Kalau begitu, tunjukan wajahmu sekarang!" seruku.
Luna tak berkata apa-apa selain perlahan melepaskan tali pengait cadarnya. Aku biasa saja bahkan sesekali menengok ponselku. Menunggu Ayu membalas pesanku yang mengajaknya bertemu di luar. Untuk apa aku sepenasaran seperti semalam, pastilah wajahnya standar, hanya matanya saja yang indah. Kakekku pasti hanya melebih-lebihkan.
"Mas, " panggilnya. Aku masih sibuk mengetik untuk Ayu.
"Mas! " serunya sedikit naik.
"Iyyaa! Bisa sabb... ar, ti...dak?! "
Aku melongo, suaraku yang semula meninggi tiba-tiba menciut terjun dan hampir hilang. Keyakinanku tentang wajahnya yang deso, seketika menyusut, terpatahkan. Gadis itu, wanita bercadar yang telah kunikahi sungguh-sungguh secantik bidadari. Tak pernah aku melihat kecantikan seperti itu. Apakah dia campuran? Bukan campuran lokal tapi internasional! Kecantikan Luna melebihi standarku. Matilah aku!
"Mulai hari ini, aku akan memperlihatkan wajahku padamu, Mas. Tapi aku mohon, tak ada seorang pun yang boleh tahu wajahku setelah ini. Permohonanku ini sangat penting, " ucap Luna dengan bibir tipis melengkung, warna merah muda seperti apel fuji. Aku masih terpesona hingga seolah suaranya tak masuk di telingaku.
Luna mengernyitkan dahinya yang mulus bagai persolen.
"Apa tidak masalahkan, Mas? " tanya lagi memastikan.
Aku hanya mengangguk. Mataku belum berkedip. Hidung itu, begitu lancip mancung, pas dengan struktur wajahnya. Sedikit dalam hatiku tersentil.
Kakek! Kau benar!