Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Tujuh

"Kau seharusnya tidak mencampur bumbunya. Sambalnya juga jangan dicampur seperti itu. Aku tidak ingin makan pedas," ucap Valent. Kezia meletakkan mangkok dengan agak keras dan melirik kesal pada pemuda itu.

"Kalau kau ingin membuatnya sesuai keinginanmu, seharusnya kau memasak sendiri."

Valent cengengesan saja. Hal yang membuat darah Kezia makin naik seolah ke ubun-ubun. Baru saja berjanji tidak akan membuat masalah, Valent sudah membuat ulah lagi.

"Kau ini kenapa sih? Apa sulit memegang kata-katamu?" dumelnya.

"Karena kau menggemaskan. Aku jadi tidak tahan untuk tidak mengganggumu," sahut Valent. Wajah Kezia makin cemberut. Ia merasa kesal dan segera masuk ke kamar.

***

"Jadi kalian hanya berdua saja di rumah itu?" tanya Astrid dengan nada tidak percaya. Kezia mengangguk.

"Aku juga tidak tahan dengan ini, tapi ...."

Kata-kata Kezia terhenti saat melihat mata Astrid yang berbinar-binar.

"Apa lagi yang kaupikirkan? Sudah kukatakan ini bukan drama. Yang terjadi malah kami akan menghancurkan rumah kalau hanya tinggal berdua."

Astrid terkekeh pelan sambil menggaruk kepala. Ia tidak sempat menanggapi perkataan Kezia karena James datang menemui mereka.

"Zia, apa benar kau dan Valent hanya tinggal berdua?" tanya pemuda itu langsung.

"Seperti itulah, tapi itu hanya beberapa hari saja."

"Sebaiknya kau tinggal saja dengan Astrid. Tidak baik kalau kau tinggal hanya berdua saja dengan Valent."

"Itu benar juga." Kezia menoleh pada Astrid.

"Aku tinggal di tempatmu, ya?"

Astrid mengangguk dan Kezia tersenyum senang.

"Kurasa dia cemburu karena tahu kau tinggal berdua dengan Valent. Zia, Kak James pasti menyukaimu," ucap Astrid setelah James pergi dari sana.

"Benarkah?" tanya Kezia dengan jantung berdegup kencang karena berbaur antara rasa senang dan cemas. Astrid mengangguk pasti.

***

"Aku akan tinggal di tempat Astrid saat ayah dan ibuku belum kembali. Jadi kau tinggal sendiri saja di rumah," ucap Kezia pada Valent saat pulang sekolah.

"Lalu makanku bagaimana?"

"Kau bisa beli. Kau juga bisa masak mie instan, bukan?"

"Tidak bisa, aku juga tidak punya uang untuk membeli makanan."

"Kau jangan mencari-cari alasan. Pokoknya aku akan tetap tinggal dengan Astrid."

Kezia bergegas dan Valent segera mengikuti. Tidak jauh depan mereka tampak beberapa pengendara motor yang juga mengenakan seragam sekolah. Mereka melempar batu-batu berukuran cukup besar ke arah para siswa yang baru pulang sekolah tersebut. Valent yang melihat itu segera memeluk Kezia.

"Zia, apa kau baik-baik saja?" tanya Valent. Kezia mengangguk dan tertegun. Tampak darah segar mengalir membasahi seragam putih Valent.

"Valent, kau ...?"

"Aku tidak apa-apa. Ayo kita pergi dari sini!"

Kezia hanya mengangguk saja. Murid-murid lain juga tampak berlarian dengan penuh ketakutan. Dari arah sekolah, beberapa siswa berlari sambil membawa tongkat pemukul kasti.

"Lent, kamu gak papa?" tanya Eric yang berada di antara para siswa tersebut. Dia membawa tongkat kayu yang cukup besar. Valent hanya mengangguk saja.

"Jangan khawatir, kami akan membalas mereka!" Eric lalu berteriak memberi perintah pada teman-temannya. Mereka lalu menyerbu para siswa pengendara motor.

***

"Valent, Valent!!!" teriak Kezia panik saat Valent terhuyung dan nyaris jatuh.

"Valent, apa kau baik-baik saja?"

Valent tersenyum.

"Ini hanya luka kecil. Aku sengaja. Ternyata kau khawatir."

"Kau ini ...!!!"

Rasa kesal Kezia menghilang saat Valent terjatuh. Pemuda tersebut tergeletak tidak sadarkan diri.

Kezia berteriak dengan panik. Memanggil-manggil nama Valent, tetapi pemuda itu tidak kunjung membuka mata.

***

"Ayah, Ibu, aku takut. Apa kalian tidak bisa kembali sekarang?" tanya Kezia yang tengah menelepon dengan ponselnya. Ia tengah berada di rumah sakit. Valent yang masih dirawat di ruang UGD belum sadarkan diri.

"Nenekmu masih belum sehat, Zia. Ibu dan ayah tidak mungkin bisa pulang sekarang," ucap sang ibu.

"Lalu bagaimana ini? Luka Valent sepertinya parah. Apa tidak bisa ibu saja yang kembali atau ayah saja?"

"Begini saja, setelah hasil pemeriksaan Valent keluar, kau telepon lagi. Ibu akan usahakan untuk pulang. Bagaimana?"

Kezia terdiam sejenak, tetapi ia lalu mengiyakan. Tidak ada pilihan lain juga daripada dia hanya sendiri mengurus Valent.

Kezia mengakhiri pembicaraan saat melihat dokter dan perawat keluar dari ruang UGD. Ia menghampiri mereka dan menanyakan keadaan Valent.

"Dia baik-baik saja, tapi di mana orang tua kalian?" tanya dokter lelaki tersebut.

"Mereka sedang di luar kota, tapi mereka akan segera kembali."

Dokter itu hanya mengangguk saja. Ia dan perawat lalu pergi untuk memeriksa pasien lain. Kezia masuk ke kamar tempat Valent dirawat. Mata pemuda itu terpejam. Tampak perban membungkus kepala dan selang infus terhubung pada tangannya. Kezia menghampiri perlahan. Sedikit rasa iba muncul dalam hatinya. Ia selalu merasa terganggu oleh Valent. Namun keadaan Valent yang seperti ini bukanlah yang dia harapkan.

***

"Jadi kau menjaga dia sendiri di rumah sakit?" tanya Astrid.

"Benar," sahut Kezia sambil melirik Valent yang masih belum sadarkan diri.

"Aku sendirian di sini. Aku takut ...."

"Bagaimana dengan ayah dan ibumu? Mereka tidak kembali?"

"Nenekku masih sakit. Mereka butuh waktu juga untuk kembali. Astrid, ayolah, kau harus temani aku. Masa aku jaga sendirian?"

"Ini 'kan kesempatan romantis. Kau bisa berduaan dengan Valent sambil merawat luka dia."

"Romantis apanya? Kesempatan apa? Kalau bisa sih, aku juga tidak mau merawat dia."

"Nah, ya sudah, kau pergi saja. Di sana juga ada dokter dan perawat, mereka pasti akan merawat Valent."

"Tidak mungkin, mereka 'kan sibuk."

"Bilang saja kau memang tidak mau meninggalkan dia."

"Aku ... bagaimanapun aku berutang padanya. Dia yang sudah melindungi aku."

"Ya sudah, kau rawat saja dia."

"Aku ... Aku tidak mau sendiri di sini. Kau temani aku, ya?"

"Kenapa? Takut jadi suka karena merawat dia?"

Kezia berdecak kesal. Namun Astrid justru cekikikan. Kezia kembali membujuk sahabatnya tersebut untuk datang. Namun Astrid berkata bahwa ia belum mengerjakan tugas sekolah yang menumpuk.

"Kau ini mencari alasan saja," tukas Kezia kesal. Astrid kembali tertawa.

"Aku tidak mau mengganggu kalian."

Kezia menggerutu dan mematikan panggilan telepon tersebut. Ia kembali masuk ke kamar Valent dirawat dan pemuda itu masih tetap belum sadar.

Kezia mendekat dan membungkuk hingga wajahnya tepat di depan wajah Valent.

'Kenapa dia belum bangun juga? Apa dokter salah? Mungkin lukanya sebenarnya parah,' gumamnya dalam hati.

Kezia memekik terkejut saat Valent tiba-tiba membuka mata. Ia segera menegakkan tubuh.

"Kau sedang apa? Jangan-jangan mau curi-curi kesempatan?" tukas Valent.

"Ih, jangan harap, aku nggak bakal mau curi-curi kesempatan denganmu."

"Lalu apa yang tadi kaulakukan?"

"A-ku ... aku cuma melihatmu saja. Kau tidak bangun-bangun, jadi aku ...."

"Apa kau mengkhawatirkan aku?" tanya Valent sambil tersenyum kecil.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel