Enam
Kezia melangkah cepat disusul oleh Astrid.
"Tunggu, tunggu aku, bisa kau berhenti dan menungguku?"
Kezia berhenti berjalan. Astrid kemudian berdiri di samping dia. Mengatur napas yang terengah.
"Apa-apaan dia itu? Bisa-bisanya dia bilang menyukaiku. Kurang ajar sekali. Awas saja aku pasti akan membalas dia," dumel Kezia.
"A-pa ...?"
"Aku tahu dia sengaja melakukannya. Dia pasti ingin mempermalukan aku," tukas Kezia lagi, memotong perkataan Astrid.
"Iya ...."
"Nah, kamu juga setuju, 'kan? Dia itu memang biang onar. Aku harus membalas dia. Aku tidak terima diperlakukan seperti ini."
"Itu ...."
"Jangan khawatir. Itu hal mudah untuk dilakukan. Aku pasti bisa melakukannya dengan baik."
"ZIA!!!" seru Astrid lantang hingga Kezia bahkan melompat karena terkejut.
"Ada apa? Kenapa kau berteriak padaku? Apa jangan-jangan kau berpihak pada biang masalah itu?"
Astrid sontak menggeleng.
"Aku akan selalu mendukungmu, tapi dari tadi kau terus bicara. Kau tidak memberiku kesempatan mengatakan apa pun."
"Oh, maaf, kau mau bicara apa, sahabatku?" tanya Kezia sambil tersenyum.
"Aku capek mengejarmu sampai nyaris kehabisan napas. Bisa kau traktir aku es mocaccino di kantin?"
Kezia tersenyum lebar dan mengangguk.
"Baiklah, apa yang tidak untuk sahabatku ini?"
***
"Zia, tunggu ...!!!" panggil Valent sambil menyusul gadis itu. Jam pelajaran telah berakhir. Para siswa berhamburan keluar dari kelas. Begitu pula Kezia dan Valent. Kezia mengabaikan itu dan justru berjalan makin cepat bersama Astrid.
"Kezia, aku minta maaf padamu," ucap Valent lagi. Kezia berhenti melangkah dan berbalik. Ia dengan cepat menghampiri pemuda itu.
"Apakah kau tidak mau berhenti? Masih ingin terus mempermalukan aku?"
Kezia lalu kembali berbalik tanpa memberi kesempatan untuk Valent menjawab. Valent hendak menyusul, tetapi James menghalangi dia.
"Jangan ganggu dia lagi," ucapnya.
***
Astrid menoleh berulangkali pada Kezia.
"Kau benar-benar tidak menyukai Valent?"
"Tidak, tentu saja tidak!"
Kezia berhenti melangkah dan menoleh.
"Kenapa kau bertanya? Kau juga tahu aku sangat membenci dia. Aku bahkan menginginkan dia untuk pergi."
"Katanya benci itu awal dari cinta."
"Kata siapa?"
"Kata drama Korea yang kutonton."
"Tuh kan, sudah kuduga," tukas Kezia sambil menatap tajam.
"Neng, ini bukan drama, ya, ini dunia nyata dan aku benar-benar sangat membenci dia. Tidak ada perasaan lain selain kebencian."
***
"Apa kau menyukai dia?" tanya Valent. James yang masih berdiri di depan dia menggeleng.
"Zia adalah anggota OSIS dan juga adik kelasku. Bisa dikatakan kami berteman. Seorang teman harus melindungi temannya, bukan?"
Valent terbahak hingga beberapa orang yang lewat di dekatnya menoleh. Namun beberapa saat raut wajahnya berubah serius.
"Tidak, kau tidak berhak untuk itu. Kau berkata kalian hanya teman. Bukankah dalam pertemanan ada batasan? Kau tidak berhak untuk melarang siapa pun dekat dengan Kezia."
***
Suara ketukan terdengar di pintu kamar Kezia. Beberapa saat gadis itu membuka pintu. Namun Valent yang berada di depan pintu tersebut segera menahan.
"Apa-apaan sih? Cepat lepaskan pintu ini!" gertak Kezia.
"Aku hanya ingin minta maaf padamu."
"Aku tidak percaya padamu."
"Aku tidak akan mengganggumu lagi. Aku tidak akan bicara padamu lagi. Aku berjanji."
"Benarkah?"
"Aku sudah berjanji, pasti akan kutepati."
Kezia hanya diam. Valent melepaskan pegangan dari pintu tersebut dan berjalan pergi dari sana.
'Semoga saja dia menepati perkataannya kali ini,' ucap Kezia dalam hati.
***
Beberapa hari setelahnya, Valent dan Kezia tidak saling bertegur sapa. Bahkan di rumah, mereka saling mendiamkan satu sama lain.
"Kalian bertengkar lagi?" tanya ibu Kezia.
"Tidak." Kezia dan Valent menjawab nyaris bersamaan.
"Baguslah. Ibu dan Bapak terus saja memikirkannya kalau kalian bertengkar, jadi jangan bertengkar lagi, ya."
Kezia dan Valent hanya mengangguk saja menanggapi. Beberapa saat setelahnya, mereka masuk ke kamar masing-masing.
Malam telah menjelang saat Kezia mendengar suara ketukan pada pintu kamar dia. Terbersit dalam benak bahwa itu adalah Valent. Pemuda itu telah mengingkari janji dan berniat mengganggu dia lagi.
"Ada apa?" tanya Kezia dengan raut muka ketus saat membuka pintu yang telah diketuk untuk kesekian kali dengan tidak sabar. Namun raut wajahnya berubah saat melihat sang ibu berdiri di ambang pintu.
"Kau ini yang ada apa. Galak benar ke ibu," ucap wanita tersebut.
Kezia cengengesan sambil menggaruk kepala yang tidak gatal. Sang ibu mengerutkan kening.
"Jangan-jangan benar kau bertengkar dengan ...."
"Tidak, Bu, tidak. Kami tidak bertengkar, kok," kilah Kezia cepat. Sang ibu tertegun dan terus menatap putrinya tersebut. Beberapa saat terdengar suara ayah Kezia memanggil.
"Ibu dan ayah akan pergi. Nenek sedang sakit. Kau dan Valent tidak boleh bertengkar. Kalian harus baik-baik di rumah."
Kezia terhenyak. Ia lalu bergegas menyusul sang ibu yang telah berjalan pergi dengan tergesa.
"Bu, nenek sakit apa? Zia ikut," rajuknya.
"Tidak bisa. Kau harus tinggal di rumah. Besok masih sekolah juga."
"Tapi ...."
"Zia!" tegur ayahnya.
"Jangan buat masalah. Kamu harus tinggal di rumah!"
Kezia hanya diam. Ayah dan ibunya lalu masuk ke dalam mobil. Sesaat kemudian, kendaraan tersebut melaju pergi. Kezia hanya bisa berdiri menahan kesal dan cemas. Ia lalu berbalik hendak kembali menuju kamar. Akan tetapi ia melihat Valent berdiri tidak jauh darinya.
"Aku lapar. Tidak ada makanan apa pun. Apa kau bisa memasak?" tanya pemuda itu.
"Ibu pasti sudah memasak makan malam untuk kita. Tidak mungkin ...."
Perkataan Kezia terhenti saat ponsel yang ia bawa berdering. Ia segera menerima panggilan telepon yang tidak lain dari ibunya tersebut.
"Ibu tadi terburu-buru dan tidak sempat memasak. Kau buat mie instan saja untukmu dan Valent," ucap wanita tersebut.
Kezia hanya mengiyakan saja. Ibunya kembali berpesan agar Kezia dan Valent tidak bertengkar. Beliau kemudian mengakhiri panggilan dan Kezia berjalan menuju dapur.
"Ibumu tidak memasak apa pun untuk kita," ucap Valent yang telah ada di dapur.
"Ibu menyuruh kita membuat mie instan. Aku akan membuatnya, setelahnya ganti kau yang membuat."
"Maksudmu kau memasak mie instan untukmu sendiri dan aku memasak mieku sendiri?"
"Benar, kau tidak menyuruh aku memasak untukmu, 'kan?"
Valent tertawa lalu menggeleng.
"Aku tidak bisa melakukannya. Aku tidak pernah memasak mie instan."
"Tidak mungkin. Kau jangan berbohong. Lagipula kalau memang belum, di bungkusnya juga ada cara memasaknya."
"Aku tidak berbohong. Aku tidak pernah berurusan dengan dapur sebelumnya. Kalaupun itu terlihat mudah, apakah tidak akan timbul masalah?"
"Maksudmu?"
"Zia, aku tidak tahu cara menyalakan kompor. Bagaimana kalau ...?"
Kezia berdecak kesal. Ia tahu maksud Valent.
"Baiklah, aku akan masak untukmu," ucapnya disambut Valent dengan tawa lebar.
"Aku tidak benar-benar ingin memasak untukmu. Tidak perlu terlalu senang seperti itu," tukas Kezia lagi, tetapi Valent tetap saja tertawa.
'Awas saja aku pasti membalasmu,' geram Kezia dalam hati.