Lima
"Bagaimana kameranya?" tanya James. Kezia mengacungkan jempol sambil mengangguk.
"Jangan lupa untuk membersihkan lensa dan membeli roll film. Kita harus mendapat semua foto yang terbaik dan jangan sampai kehabisan film," ucap James lagi.
Kezia mengangguk.
"Tenanglah, Kezia sudah biasa menangani ini," ucap Icha yang juga ada di sana. Kezia mengangguk. Icha tersenyum. Mendengar kata-kata Icha, James tampak menjadi sedikit tenang.
"Zia ...," panggil Valent yang telah berdiri di ambang pintu.
"Kenapa kau kemari?"
"Aku datang untuk menjemputmu."
"Aku bisa pulang sendiri. Kau kembali saja."
"Ibumu yang menyuruhku."
Kezia menghela napas panjang. Dia merasa Valent tidak berbohong. Kalau dia memaksa pulang sendiri, ibunya pasti akan mengomel.
"Baiklah, aku akan pulang denganmu, tapi tunggu sebentar."
Valent mengangguk. Kezia lalu kembali memeriksa gulungan rol film yang tersedia. Valent sendiri tengah asyik mengobrol dengan Icha. Sesekali terdengar pula tawa keduanya. James berdehem sambil menghampiri Kezia.
"Aku dan Icha masih harus mengerjakan laporan. Sebaiknya kau ajak Valent untuk segera pergi."
Kezia mengangguk. Ia merasa tidak enak karena James sampai menegur dia. Bisa-bisa James mengeluarkan dia dari kepengerusan OSIS. Berantakan sudah rencananya untuk mendekati cowok itu.
'Ini semua gara-gara si menyebalkan ini,' tukas Kezia dalam hati sambil melirik kesal pada Valent. Kalau saja ada cara untuk menyingkirkan Valent, pasti akan dia lakukan.
***
"Pakailah," suruh Valent sambil memberikan helm pada Kezia.
"Tidak perlu. Rumah juga tidak terlalu jauh."
"Siapa bilang kita akan langsung pulang?"
"Kalau kita tidak pulang, aku tidak akan ikut denganmu. Aku akan pulang sendiri," sahut Kezia sambil bergegas.
Valent segera menyusul gadis itu dan kembali mengulurkan helm.
"Aku juga sedang kesal padamu, tapi ibumu yang menyuruh. Dia juga menyuruh mampir ke supermarket untuk belanja. Kalau kau tidak mau menurut, kau juga yang kena akibatnya."
Kezia mengambil helm tersebut tanpa mengatakan apa-apa. Ia hanya bisa menurut saja daripada mendapat omelan dari ibunya.
***
Kezia menjerit sekencang mungkin. Valent memacu motor berwarna hitam tersebut hingga meliuk lincah di antara kepadatan jalan raya pada sore itu.
"Apa kau sudah tidak waras?" teriak Kezia. Namun tidak ada jawaban dari Valent. Tidak lama mereka tiba di supermarket. Valent kemudian memarkir motor. Kezia segera turun dari boncengan. Ia berjalan agak sempoyongan karena kepalanya yang pusing.
Valent segera memegang tangan Kezia. Namun dengan cepat gadis itu mengibaskan tangan tersebut dan berjalan menjauh dengan tergesa. Akan tetapi, karena masih pusing, ia malah menabrak orang dan terjatuh. Valent tersenyum kecil melihat itu sambil menggeleng. Mengabaikan Kezia, ia berjalan pergi begitu saja.
***
"Sebenarnya kita membeli apa?" tanya Kezia. Valent tidak mengambil sayur ataupun daging. Pemuda itu malah mengambil beberapa jajanan dan es krim.
'Jangan-jangan dia hanya berbohong saja,' gumam Kezia. Dia sudah menahan malu karena jatuh dan kalau memang Valent berbohong, Kezia tidak akan memaafkan dia.
Valent mengulurkan es krim pada Kezia.
"Aku bukan anak kecil. Jawab saja pertanyaanku. Kau membohongiku, 'kan? Ibuku tidak menyuruh kita ke supermarket," tukas Kezia sambil menampik es krim tersebut.
"Aku tidak berbohong. Ibumu memang menyuruh. Kalau kau tidak percaya, tanyakan saja padanya," ucap Valent sambil memberikan ponsel miliknya pada Kezia. Kezia mengambil ponselnya sendiri dan menelepon sang ibu.
"Ibu memang menyuruh, kok. Ini agar kalian berbaikan."
"Aku tidak mau baikan dengannya. Dia itu menyebalkan."
"Kau ini sudah menyinggung dia. Kata-katamu sebelumnya ...."
"Biar saja, kalau dia tidak suka, dia bisa pergi."
"Zia, kenapa kau tidak berperasaan seperti ini?"
Kezia menghela napas perlahan. Bagaimana ia bisa lupa? Sekarang Valent menjadi lebih penting daripada dirinya. Air mata Kezia nyaris menitik. Ia segera mengakhiri panggilan telepon tersebut.
Kezia kemudian menyambar beberapa snack di rak. Tanpa berkata apa-apa, ia melangkah cepat menuju bangku yang memang disediakan di supermarket tersebut untuk para pengunjung beristirahat dan memakan makanan yang telah dibeli.
Valent juga duduk di sana, tetapi pada meja yang berbeda. Kezia bersikap tidak peduli dan tetap menyantap makanan dia.
Tidak lama ia berdiri dan menghampiri Valent.
"Beritahu ibuku, aku tidak mau pulang."
"Supermarket ini tutup pukul sepuluh. Kau tidak bisa tinggal di sini."
"Siapa bilang aku tinggal di sini? Aku akan tinggal di tempat Astrid."
"Kau marah karena ayah dan ibumu terus membelaku? Itu sangat konyol."
"Konyol? Orang tuamu pasti selalu membelamu. Kau tidak tahu ...."
"Aku memang tidak tahu. Ayahku tidak pernah peduli padaku dan ibuku ... beliau sudah meninggal."
Raut wajah Kezia sontak berubah. Ia merasa tidak enak. Pantas saja Valent marah. Orang tuanya bahkan menegur dia.
"Aku ...." Kata-kata Kezia terhenti saat Valent terbahak.
"Aku hanya bercanda saja. Aku tidak sehancur itu."
Ucapan Valent tersebut sontak membuat mata Kezia membeliak penuh amarah. Percuma saja ia merasa bersimpati dengan pemuda itu dan ternyata semua hanya kebohongan saja.
"Ka-u ... kau benar-benar ...!!!" geramnya sambil menunjuk Valent. Pemuda tersebut masih tetap tertawa. Kezia makin kesal. Ia mengentakkan kaki dan pergi dari sana. Valent kembali tertawa sambil melihat kepergian gadis itu.
***
"Kalian masih bertengkar?" tanya ibu Kezia yang melihat putrinya pulang sendiri.
"Tidak hanya bertengkar, kami musuh bebuyutan sekarang," sahut Kezia sambil menuang air minum ke gelas dan meneguk isinya hingga tandas.
"Apa yang terjadi?"
"Ibu tanya saja sendiri pada Valent. Selama ini dia membohongi kita."
Kezia kemudian bergegas menuju kamar. Tidak lama Valent juga kembali.
"Kezia pulang dan makin marah-marah. Kupikir kalian akan berbaikan. Kenapa malah bertengkar makin parah?" tanya ibu Kezia.
"Lebih baik kami seperti ini. Aku tidak mau Kezia berubah sikap padaku," jawab Valent.
"Kau ini bukankah selalu ingin dia kembali dekat denganmu seperti dulu?"
Valent mengangguk.
"Aku ingin dia dekat denganku, bukan ingin dia menjadi kasihan dan bersimpati padaku."
***
"Jadi dia membohongimu dan keluargamu?" tanya Astrid setelah Kezia menceritakan semua. Kezia hanya mengangguk saja. Astrid menggeleng sambil berdecak.
"Wow, luar biasa. Pantas saja kisahnya seperti film. Ternyata memang hanya karangan saja."
"Benar, jangan sampai kita terus tertipu olehnya."
"Tapi kenapa dia tinggal di rumahmu? Kalau semua baik-baik saja, kenapa ...?"
"Kurasa dia memang tidak bisa diatur dan kabur dari rumah."
"Kalian membicarakan aku? Kalau ada yang tidak jelas, tanyakan saja padaku," ucap Valent yang menghanpiri dan berdiri di samping meja kedua gadis tersebut.
"Tidak penting juga membicarakanmu. Kau ini bukan siapa-siapa, hanya pembohong saja," tukas Kezia.
"Oh, itu benar, aku memang pembohong, tapi aku tidak berbohong tentang satu hal."
Kezia menatap Valent dan pemuda itu balas menatap langsung pada manik mata Kezia.
"Aku menyukaimu sejak dulu, Zia."