Empat
'Dasar menyebalkan!' geram Kezia yang tengah berbaring di atas tempat tidur.
'Siapa juga yang mau terus dekat dengan Valent menyebalkan itu?'
Ia kemudian termenung sejenak.
'Tapi siapa Valent sebenarnya? Aku tidak pernah mengenal dia. Kenapa dia berkata aku melupakan dirinya dan mau membuatku ingat kembali padanya?'
Kezia menghela napas dan menggeleng.
'Zia, Zia, ngapain juga kau percaya kata-kata Valent? Dia pasti cuma bohong dan mau ngerjain aja.'
***
"Kau ini kenapa? Wajahmu kusut gitu. Apa lagi PMS?" tanya Astrid saat Kezia baru saja tiba di sekolah.
"PMS? Benar, aku sedang PMS. Tiap hari PMS, semua gara-gara si menyebalkan itu."
Beberapa siswa yang lewat dekat mereka sontak menoleh pada Kezia dan Astrid. Beberapa dari mereka tersenyum-senyum, sedang yang lain mengerutkan kening. Menyadari itu, Astrid segera menarik tangan Kezia, mengajak sahabat karibnya itu pergi dari sana.
"Si menyebalkan? Valent?" tanya Astrid saat ia dan Kezia berada di depan toilet lama sekolah yang telah tidak lagi digunakan.
"Siapa lagi? Jangan sebut namanya, aku gak mau dengar."
"Jadi apa yang dilakukan si menyebalkan itu padamu?"
"Dia .... Sudahlah, aku tidak mau membahasnya. Makin kesal aku kalau ingat kelakuan dia itu."
"Hati-hati," ucap Astrid sambil tersenyum kecil.
"Hati-hati kenapa?"
"Biasanya di drama, kalau ada kesal, berarti bakal ada rasa suka juga."
"Suka? Aku suka sama dia? Nggak bakal lah," sahut Kezia. Terdengar suara terkekeh tidak jauh dari mereka. Valent muncul dari balik tembok dan berjalan menghampiri.
"Bagaimana kalau nanti kau suka padaku?" tanyanya sambil menatap Kezia.
"Itu tidak akan pernah terjadi."
Kezia kemudian mengajak Astrid pergi. Valent kembali tertawa.
"Zia, lihat saja nanti, kau akan suka padaku atau tidak," ucapnya. Kezia mengabaikan itu dan terus berjalan pergi dengan Astrid.
***
"Valent!" panggil seorang pemuda sambil menghampiri diikuti oleh beberapa yang lain. Mereka adalah yang sebelumnya menemui Valent di gudang belakang sekolah.
"Ikutlah denganku hari ini. Tidak perlu masuk kelas," ajak pemuda tersebut kemudian.
"Aku tidak bisa pergi denganmu."
"Jadi kau lebih memilih mengikuti kelas yang membosankan? Apa kautahu ...?"
"Jangan mencoba mengancamku, Eric, atau kau akan menanggung akibatnya," ucap Valent sambil menatap tajam.
***
"Mereka saling mengenal? Aku tidak mengira," tukas Astrid dengan raut tidak percaya bercampur tegang. Ia kemudian meraih tangan Kezia.
"Zia, kau harus melakukan sesuatu!"
"Apa yang harus kulakukan? Mereka juga tidak mungkin menculik dia. Kalau dia mau ikut dengan mereka,juga tidak masalah."
"Zia, kalau Valent ikut dengan mereka dan membuat masalah, orang tuamu akan dipanggil ke sekolah. Kau juga akan ditegur lagi."
Kezia terdiam. Perkataan Astrid memang ada benarnya, tetapi dia juga tidak ingin langsung mencegah.
'Kalau Valent kena masalah dan dikeluarkan dari sekolah, itu hal yang bagus, tapi kalau aku dan orang tuaku terlibat juga, bisa-bisa malah jadi gawat,' gumam Kezia dalam hati.
***
"Begini saja, kalian minta ijin dulu darinya. Kalau dia mengijinkan, aku akan pergi dengan kalian," ucap Valent sambil menunjuk pada Kezia.
"Kenapa hidupmu jadi dikendalikan cewek sih?" tukas Eric.
"Hanya orang istimewa yang bisa mengendalikan aku dan dia adalah orang istimewa itu."
"Dia tidak boleh pergi," sambar Kezia cepat sambil bergegas menghampiri. Dia tidak ingin lagi Valent terus bicara. Orang bisa mengira dirinya memiliki hubungan spesial dengan Valent.
"Nah, kalian dengar sendiri, 'kan? Dia melarang, jadi aku tidak akan pergi."
Eric dan yang lain menggeleng kemudian berjalan keluar dari kelas. Bel tanda masuk terdengar nyaring. Namun Kezia seolah tidak mendengar itu. Ia menatap Valent sambil bersidekap.
"Jangan pernah bicara sembarangan. Kita tidak ada hubungan apa-apa. Kau hanya menumpang saja di rumahku. Semua itu karena tidak ada orang yang menginginkanmu, bahkan orang tuamu juga tidak menginginkanmu."
Suasana kelas yang semula masih riuh berubah hening. Semua tampak tertegun melihat Kezia. Raut wajah Valent tampak tidak berubah. Guru masuk ke kelas dan menegur Kezia. Gadis itu kemudian kembali ke kursinya.
***
"Kata-katamu itu pasti telah menyakiti perasaan dia," ucap Astrid yang berjalan di samping Kezia. Pelajaran baru saja berakhir dan mereka pergi ke perpustakaan untuk meminjam buku.
"Aku tidak peduli. Aku sengaja agar dia tidak terus membuat ulah dan bicara sembarangan."
"Tapi, Zia, dia tinggal di rumahmu juga pasti ada alasannya. Kalau keluarganya memang benar bermasalah, kau telah membuatnya tersinggung.
"Itu lebih baik. Dia mungkin tidak membuat masalah lagi denganku."
***
Baru pulang sekolah, Valent langsung masuk ke kamar.
"Zia, ada apa? Kalian bertengkar lagi?" tegur ibu Kezia.
"Tidak," jawab Kezia singkat sambil menggeleng.
Ibunya terus saja melihat pada Kezia. Kezia merengut dan mendengkus keras.
"Kalau tidak percaya padaku, kenapa Ibu tidak tanya sendiri padanya?"
Kezia kemudian meletakkan sendok dengan keras. Ia berlalu masuk ke kamar tanpa menyantap sedikitpun makan siang yang disiapkan oleh ibunya.
***
'Menyebalkan, kenapa ibu tidak percaya padaku? Semua ini gara-gara Valent,' keluh Kezia dalam hati. Ia lalu membuka ponsel. Berniat untuk menelepon Astrid, tetapi ponsel dia berdering lebih dulu.
"Bertemu sekarang? Tentu, tentu aku bisa," ucap Kezia dengan penuh semangat dan raut berubah sumringah. Ia beranjak bangkit dari tempat tidur dan bergegas menuju kamar mandi.
'Baju apa ya yang harus kukenakan?' tanya Kezia dalam hati. Ia mencoba sebuah terusan berwarna putih dengan motif bunga-bunga kecil berwarna kuning. Beberapa saat ia kemudian menggeleng. Setelah itu ia mencoba lagi atasan dan bawahan berwarna hitam. Namun lagi-lagi ia kembali menggeleng.
Kezia membongkar lemari dengan sedikit kalut.
'Bagaimana ini? Tidak ada pakaian yang menarik untuk kukenakan.'
***
"Bu, aku pergi dulu sebentar," pamit Kezia yang pada akhirnya mengenakan atasan putih dan celana jins selutut.
"Jangan lama-lama, ya. Ayahmu akan pulang sebentar lagi."
"Kalian masih peduli padaku? Kupikir kalian lebih memilih Valent jadi anak kalian."
"Bicara apa kau ini? Kau tetap kesayangan kami. Sikap kami pada Valent karena pamannya menitipkan dia dan kami telah saling mengenal sejak lama jadi kami juga berkewajiban menjaga dia."
"Ibu, sebenarnya siapa Valent? Dia selalu bilang aku melupakan dia. Sekarang ibu juga bilang kita telah mengenal sejak lama. Siapa dia? Kenapa aku tidak merasa mengenalnya?"
Ibu Kezia menyentuh pipi Kezia.
"Pergilah, bukankah temanmu menunggumu?"
Kezia tertegun dan menepuk keningnya. Ia kembali pamit dan bergegas pergi.
"Dia sudah pergi. Apa kau akan tetap bersembunyi?"
Valent datang menghampiri wanita tersebut.
"Aku tidak mengerti. Kenapa dia tidak ingat padaku?"
"Dia memang ingin melupakanmu. Kau tahu dia sangat sedih dan marah waktu kau pergi? Dia bahkan menangis berhari-hari waktu itu."
"Bukankah dia dulu juga tidak suka padaku?"
Ibu Kezia tersenyum tipis.
"Kau salah besar. Dia sangat kehilangan dirimu."