Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Delapan

"A-ku?" Kezia tertawa dan menggeleng.

"Tentu saja aku tidak khawatir. Ayah dan ibuku yang ingin tahu keadaanmu. Mungkin mereka akan mengabari pamanmu."

"Kalaupun mereka mengabari, dia tidak akan datang menjenguk. Jadi kau yang harus tetap di sini untuk merawatku."

"Walau dia tidak menjengukmu, dia akan memberitahu ayahmu. Ayahmu mungkin ...."

"Itu lebih tidak mungkin lagi. Lelaki itu tidak punya waktu untuk hal kecil seperti ini."

Kezia terdiam. Saat Valent mengatakan itu, ia menangkap kesedihan dan amarah dalam suara pemuda tersebut.

Valent meraih tangan Kezia dan tersenyum.

"Sudah seperti ini, jadi hanya dirimu yang akan merawatku."

***

"Suapi aku," suruh Valent dengan nada merajuk manja. Perawat yang mengantar makanan bahkan tersenyum sambil melihat pada Valent dan Kezia.

"Kau bisa makan sendiri, 'kan?" tanya Kezia sambil melotot pada pemuda itu.

"Tidak bisa," jawab Valent sambil menggeleng.

"Tanganmu tidak terluka. Kau bisa makan sendiri."

"Tubuhku lemas. Kepalaku pusing. Tanganku juga sepertinya tidak bertenaga. Aku tidak bisa makan sendiri."

"Kalau begitu, ya sudah, tidak usah makan."

"Ok, aku sih tidak masalah. Paling aku akan makin lama sembuh dan kau akan makin lama merawatku."

Kezia berdecak kesal dan mengambil mangkok bubur di meja samping tempat tidur.

"Buka mulutmu!" perintahnya. Valent menurut. Kezia kemudian menyuapkan sesendok penuh pada pemuda tersebut.

"Hei, apa tidak bisa sedikit-sedikit dan pelan-pelan saja? Kau ini sangat tidak sabar sekali," tegur Valent setelah Kezia kembali menyendok dan menyuapkan sesendok penuh bubur ke mulutnya.

"Aku tidak punya kesabaran untukmu."

Valent tertawa menanggapi.

"Sebenarnya kau juga tidak ingin aku cepat sembuh. Kau ingin berlama-lama merawatku. Benar, bukan?"

Kezia mendelik dan membanting mangkok ke atas meja.

"Siapa juga yang mau berlama-lama merawatmu? Sekarang saja aku sangat terpaksa merawatmu. Kalau bisa, aku sudah pergi dari sini."

"Tidak, kau pasti tidak akan pergi dari sini."

***

'Dia ini menyebalkan sekali,' gumam Kezia dalam sambil menatap Valent yang telah lelap beberapa saat setelah minum obat.

'Tapi dia benar juga. Dia telah menolongku. Aku tidak akan bisa meninggalkan dia.'

Kezia mendekatkan wajah dengan kening berkerut.

'Kenapa dia jadi terlihat tampan, ya?'

Kezia menggeleng. Mata atau otaknya mungkin ada yang salah. Kezia kemudian duduk pada kursi di samping tempat tidur. Dirinya juga lelah. Kezia berpikir sebaiknya dia juga beristirahat.

***

"Zia, Zia ...." Suara seseorang yang memanggil namanya menyentak Kezia ke alam sadar. Mata gadis itu mengerjap sejenak dan ia menoleh. Tampak Astrid berdiri di samping tempat tidur.

"Kau datang ke sini. Buat apa? Si merepotkan itu, kau tidak usah menjenguk dia," ucap Kezia.

"Mana Valent?"

"Valent? Dia ...." Kezia sontak tersadar sepenuhnya. Ia kini berbaring di tempat tidur yang sebelumnya ditiduri Valent. Ia segera duduk.

"Zia, kenapa kau langsung bangun? Kau ...."

"Aku baik-baik saja. Di mana Valent? Apa kau melihat dia?"

Astrid menggeleng dengan raut bingung.

"Ini adalah kamar dia, tempat tidur dia. Harusnya dia yang dirawat di sini. Ke mana dia pergi?"

"Aku tidak melihat Valent. Hanya kau saja yang sedang tidur di sini."

"Dia itu benar-benar ...," dumel Kezia sambil bergegas. Di pintu, ia bertemu dengan James dan Icha.

"Zia, ada apa? Kau mau ke mana?" tanya James.

"Mau cari Valent. Dia kabur sepertinya."

"Kabur?" tanya James sambil mengerutkan kening.

Kezia tidak bicara lagi, dia bergegas pergi diikuti James, Icha, dan Astrid.

***

Kezia berjalan ke sana kemari di dekat tempat James dirawat, tetapi dia tidak melihat pemuda tersebut.

Seorang perawat tampak bicara dengan rekan kerjanya. Kezia mengenali perempuan muda tersebut adalah yang sebelumnya bertugas di kamar Valent. Kezia segera menghampiri dan bertanya kalau-kalau perawat tersebut mengetahui keberadaan Valent.

"Dia tadi pergi dengan seorang lelaki paruh baya. Apa tidak pamit padamu?"

Kezia menggeleng.

'Dasar Valent. Bikin kesal orang saja bisanya,' dumelnya dalam hati.

***

"Kau ini apa nggak bisa nggak buat masalah? Kau tahu gara-gara dirimu, ayahmu terus saja menelepon Paman. Paman itu ada banyak kerjaan. Kau ini cuma bisa bikin masalah saja. Paman juga tidak bisa terus mengurusmu," gerutu paman Valent.

"Aku juga tidak perlu diurus oleh kalian," sahut Valent.

"Tidak perlu diurus?" sahut paman Valent dengan nada sinis. Ia mendengkus keras dan tertawa mengejek.

"Tanpa uang dari ayahmu, kau tidak akan bisa hidup. Kau juga tidak bisa sekolah seperti sekarang. Kau pikir ...."

"Paman dan ayah selalu berpikir tentang uang. Kalian tidak pernah peduli padaku. Hanya uang yang penting untuk kalian."

"Valent, kau ini sudah besar. Kau harus mengerti ...."

"Mengerti apa? Oh karena aku sudah besar, kalian bisa membuang aku."

"Bukan seperti itu."

"Paman, sudahlah, aku sudah cukup mengerti. Kalian tidak menginginkan aku, aku juga tidak menginginkan kalian."

"Baiklah, kau hiduplah sendiri. Kita akan lihat kau bisa atau tidak." Lelaki paruh baya tersebut kemudian bergegas. Valent menghela napas dan berbalik. Dia melihat Kezia berdiri di sana. Gadis itu melangkah mendekat dengan cepat.

"Kau ini ke mana saja?" tanyanya segera.

"Kenapa? Apa kau bingung mencariku? Aku tahu kau pasti sangat mencemaskan aku."

"Tidak, aku hanya tidak mau ditanya saja kalau menjaga pasien, tapi pasiennya malah kabur."

"Bilang saja kau memang mengkhawatirkan aku."

"Tidak," tandas Kezia cepat. Valent tertawa lebar dan merangkul bahu gadis itu.

"Lepaskan aku!" gertak Kezia seketika dengan raut kesal.

"Tidak mau."

Wajah Kezia makin merengut dan ia terus berusaha melepaskan diri, tetapi Valent tetap saja menahan dia.

"Lepaskan aku!" gertak Kezia sekali lagi.

"Kubilang aku tidak mau," sahut Valent.

"Kau ini benar-benar ...." Kezia sungguh geram hingga dia berniat menyikut pemuda itu. Namun Valent segera menahan tangan dia.

"Aku tahu kau memang ingin merawatku lebih lama, tapi caramu ini sangat tidak baik."

Kezia berdecak kesal, tapi ia memilih mengalah saja. Ia dan Valent lalu kembali ke kamar. James, Icha, dan Astrid telah berada di sana. Mereka tampak terkejut dengan kedekatan Valent dan Kezia.

"Kezia hanya membantuku saja," ucap Valent sebelum mereka bertanya.

"Sebaiknya kau berhenti bertingkah dan membuatnya kesulitan," tukas James. Perkataannya membuat raut wajah Icha, Kezia, dan Astrid sontak berubah tegang. Mereka tidak tahu bagaimana Valent akan menanggapi perkataan James. Namun Valent malah tersenyum.

"Kau ini hanya kakak kelas Kezia. Kau ketua OSIS dan dia anggotanya, tapi selain itu, kau tidak ada hubungan apa pun dengan Kezia. Apa kau pikir kau berhak mengatur dia dengan statusmu itu?"

"Lalu bagaimana denganmu? Kau hanya pembuat masalah yang mengacaukan hidup dia."

"Aku menyukai dia." Valent menatap James tajam.

"Lalu bagaimana denganmu? Apa kau juga menyukai dia?"

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel