Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

08. Ivanoff yang Mendadak Muncul

Beberapa menit lalu, aku masih bisa melihat Elena yang sedang berdiri di depan sana, tepat di bawah sebuah pohon dengan lubang besar di tengah batangnya. Aku yakin sekali lubang itu terbentuk karena burung pelatuk terus mematukinya tanpa henti untuk menjadikannya tempat bersarang.

Aku mengerjap-ngerjapkan mataku sekali lagi. Tempat ini benar-benar menakjubkan!

Begitu kami sekeluarga tiba di tempat yang sepertinya menjadi tujuan kami, aku langsung melepas tangan Ibu dan berlari ke sebuah panggung kayu tak beratap. Tempat itu dikelilingi dengan cahaya dari obor yang membuat tempat itu tampak seperti sebuah tempat pertunjukan. Sederhana, tapi menawan.

"Ayah! Ibu! Tempat ini keren!"

Tak henti-hentinya aku berdecak kagum atas apa yang baru saja kulihat. Obor-obor baru kembali dinyalakan. Kini, obor yang banyak itu mengelilingi panggung dan membuatnya semakin bersinar.

"Wah ... hebat!" teriakku kagum. Maklum, aku jarang ke kota dan melihat sesuatu yang biasa dilihat oleh mereka yang ada di sana.

Akan kujelaskan apa yang ada di tempat ini. Tepat di depan panggung yang tak lebih lebar dari enam meter itu, terdapat beberapa batang pohon yang sudah ditebang, menjadikannya tempat duduk yang menghadap panggung.

Tempat duduk itu berjejer lima ke belakang; juga lima di sisi kiri dan juga di sisi kanan. Orang-orang mulai berdatangan dan duduk di batang kayu tersebut. Seolah-olah mereka semua adalah penonton dari sebuah pertunjukan yang akan digelar malam ini!

Aku yang telah kembali dari kegembiraanku mulai bersikap tenang dan berpikir tentang bagaimana cara mereka membangun lantai bertiang kayu ini di tengah-tengah hutan Lakebark yang terlarang?

Mengingat hutan Lakebark sangat luas, tak mengherankan jika mereka bisa membangun tempat ini di tengah-tengah hutan.

"Ah, Elen!" Teringat sahabatku yang manis, aku dengan cepat menyelusuri tempat itu, mencari keberadaan gadis berambut kuning laksana emas yang sempat kulihat beberapa saat yang lalu.

"Nek, apa tadi Nenek ada melihat Elena?" tanyaku setelah tiba di depan Nenek. Ah, aku sudah bertanya pada orang yang salah.

Nenek tiba-tiba menyeringai dan membalas, "Apa yang kau harapkan dari temanmu itu, Aaron?"

Aduh, sia-sia saja aku bertanya padanya. Dasar nenek yang tak pernah menyayangi cucunya!

Aku lalu menatap satu per satu mereka yang hadir di tempat itu, barangkali aku akan menemukan Elena di antara mereka. Namun sayangnya, aku tak juga menemukannya.

Elena, ada di mana kamu?

"Aaron." Panggilan seseorang membuatku menoleh, Ibu tiba-tiba saja sudah berada di dekatku, menghampiriku di saat aku sedang bersandar pada sebuah batang pohon dekat panggung.

Tudung yang ada di kepalanya pun diturunkan olehnya hingga tampaklah parasnya yang jelita. Ibuku memang sangat cantik, aku sangat bangga dilahirkan dari wanita sepertinya.

"Ya, Bu?" balasku. Sesaat setelah aku menjawab, alih-alih berbasa-basi denganku, Ibu justru menyeretku agar mengikuti langkahnya.

"Bacalah ini nanti," ucapnya seraya menyodorkan beberapa lembar kertas usang padaku. Dari warnanya yang sudah menguning, dan bau yang agak amis, bisa kupastikan kertas-kertas itu sudah berusia lama sekali. Tapi, kenapa aku harus menyentuhnya?!

Aku menepis tangan Ibu. "Aaron tak mau, Bu." Aku mengerutkan wajah. Jelas kertas itu sudah melalui berbagai macam debu dan kotoran.

Ibu langsung memelototiku dengan tajam, dia yang tak pernah bereaksi demikian membuatku takut. Tiba-tiba ia menarik dan mencengkeram lenganku dengan kuat.

"Bu, sakit! Lepaskan!" Aku hampir menangis saat ibu mulai mencubitku agak kasar. "Uh, lepaskan Aaron, Bu!"

Ibu mengempaskan tanganku. "Aaron! Dengarkan Ibu baik-baik." Dia berbisik sambil menatapku dengan matanya yang terlihat menakutkan. "Kau harus melakukan apa yang Ibu perintahkan dan jangan sekali-kali kau membantahnya! Mengerti?"

Aku tak bisa bergerak, lidahku kelu. Yang bisa kulakukan hanyalah mengangguk patuh. Ibu kembali menyodorkan lembaran usang tersebut dan aku mengambilnya.

Ibu pun beranjak pergi, meninggalkanku seorang diri. Tak lama setelah itu, datang seorang pria tua berkumis tipis yang menarikku ke sisi panggung. Ia kemudian menaruh tempat lilin di atas sebuah meja kayu yang tinggi, dan meletakkan beberapa lilin berwarna merah yang masih baru.

Pria itu menyalakan lilinnya tanpa suara, begitu selesai dengan tugasnya, ia langsung pergi dariku. Pria asing tadi ... terlihat enggan menatapku. Aku langsung mencibir perbuatannya. Apa menurutnya aku ini tak kasatmata?

Aku kembali memperhatikan sekitar, dan dengan cepat bersyukur karena telah menemukan Elena yang sejak tadi kucari-cari. Gadis kecil itu sedang duduk di salah satu batang pohon bersama ibunya. Dia terlihat kedinginan, aku cukup yakin jika dia juga dipaksa keluar dini hari ini sama sepertiku.

Aku tak memiliki niat untuk memeriksa ulang lembaran kertas usang yang kugenggam itu. Daripada harus membawanya kemana-mana, akhirnya kuputuskan untuk meletakkannya saja di atas meja.

Semua batang kayu yang bisa diduduki itu dengan cepat sudah penuh oleh mereka yang sedang menunggu sesuatu. Semua tempat duduk tersebut kini sudah tidak tersedia lagi. Aku masih memperhatikan mereka dengan kepala yang dipenuhi tanda tanya, tiba-tiba saja Nenek mendatangiku sambil tersenyum mengerikan, dan dia menyuruhku untuk mulai membaca lembaran kertas yang ada di tangannya.

Sepertinya Nenek mengambilnya dari atas meja yang kutinggalkan, aku bersikap patuh. Dengan hati-hati, aku mengambil salah satu kertas dari tangan Nenek dan mulai melihat isinya.

Завіт між людиною та царем темряви

Ah, aku tahu. Kalau tidak salah, ini adalah bahasa Ukraina. Yang artinya adalah perjanjian antara manusia dan sang raja, kalau tidak salah mengartikan. Dulu Ibu pernah mengajariku bahasa yang berkerabat dekat dengan bahasa Rusia ini. Walau tak menggunakannya sehari-hari seperti mereka yang memang bahasa ibunya adalah bahasa Ukraina, tapi aku sudah menguasai bahasa ini sekarang. Aku lalu melirik Nenek, dan yang kudapati adalah Nenek yang sedang tersenyum lebar. Uh, dia selalu bisa membuatku merinding ketakutan.

Suasana tiba-tiba berubah menjadi hening saat ada sekitar lima orang berjubah hitam mulai naik ke atas panggung. Bunyi decit dari lantai kayu yang diinjak oleh mereka terdengar tidak enak, membuatku tak suka mendengarnya.

Mataku dengan saksama mengawasi pergerakan kelimanya sambil menebak-nebak siapakah mereka. Dua di antara mereka adalah orang-orang bertubuh tinggi, mungkin di atas 160cm. Sedangkan tiga lainnya, tingginya mungkin sepantaran denganku.

"Bacalah, Aaron!" Nenek memerintahku secara tiba-tiba dan mengejutkanku. Aku kembali mengalihkan perhatianku pada lembaran usang di tangan.

"I-ini ...." Aku tak bisa melanjutkan kata-kataku setelah melihat hal ini. "Tu-tulisannya ... Ke-kenapa berubah begini?"

Tulisan yang semula bisa kubaca, tiba-tiba saja berubah menjadi bahasa yang belum pernah kutemui. Secara perlahan, huruf-huruf asing itu bermunculan dan menghapus tulisan yang ada di sana.

Keadaan pun berubah menjadi mencekam saat terdengar alunan musik dari kedalaman hutan. Seperti alat musik harpa, suaranya begitu lembut dan merdu. Namun, keindahan itu justru memberikan kesan yang mengerikan. Kami ini sedang di dalam hutan, loh? Mustahil ada pertunjukan musik di malam hari!

Sudah kuduga, hutan Lakebark sangat mengerikan! Siapa yang berani bermain musik malam-malam selain ... mereka yang tak kasatmata.

Tanpa kusadari, mulutku sudah melafalkan tulisan di kertas itu dengan lancar. Aku terus membaca sesuatu yang tidak kuketahui apa artinya dan bahasa apa yang digunakan. Seolah mulutku memiliki kuasa atas dirinya sendiri. Tahu-tahu aku sudah membacanya dengan lantang.

Mulutku masih sibuk membaca apa yang ada di kertas usang tersebut. Tanganku gemetar, mataku terus bergerak ke sembarang lain. Aku mencoba menahan mulutku bergerak, tapi sama sekali tidak bisa.

Puncaknya, aku semakin gelagapan ketika salah seorang yang ada di atas panggung mulai melangkah maju ke depan, berdiri seakan memimpin orang-orang di belakangnya. Jubah hitam yang dipakainya terlihat berbeda dari yang lain. Seperti ada jahitan benang yang rumit di bagian dada, serta pernak-pernik aneh berbentuk kepala dan bulu-bulu angsa yang menjuntai di bawah sikunya. Aku mencoba fokus, kini dia yang sudah berdiri lebih maju dari teman-temannya itu pun mulai membuka tudung kepalanya, menyibak dan memperlihatkan wajah siapa di baliknya.

Seketika itu juga aku tersentak di tempat. Sosok itu membuatku tercengang, karena dia adalah seseorang yang sangat kukenal baik. Aku tak menyangka bisa melihatnya di tempat seperti ini, dalam kondisi yang tak jauh berbeda denganku, meski pakaian yang kami kenakan sangat jauh berbeda.

Dia adalah ... Ivanoff, sosok yang berdiri di atas panggung itu adalah salah seorang sahabat baikku.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel