Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

09. Semuanya Mulai Menggila

Aku tak percaya ini! Apa yang ada di atas itu benar-benar Ivanoff? Anak yang selalu menakutiku? Sahabat baikku?!

Astaga! Ini bencana! Meski aku tahu jika dia ternyata benar Ivanoff, aku masih tak menyangka jika dia menjadi bagian ritual gila ini. Aku juga syok ketika tahu dialah orang yang mengenakan jubah paling beda dari yang lain, dan terlihat seperti seorang pemimpin.

Setelah pulang dari tempat ini, aku akan memborbardirnya dengan banyak pertanyaan!

Seperti apa yang dia lakukan di atas panggung dan mengenakan jubah paling beda dari yang lain? Sial, entah mengapa aku iri! Awalnya aku tak peduli dengan pakaian apa datang ke tempat itu, tapi setelah melihat Ivan mengenakan pakaian yang bagus, aku benar-benar ingin mengenakan jubah hitam yang sama. Maksudku, apa bagusnya memakai pakaian yang tak sama dengan yang lain? Lihat aku, aku malah memakai baju tidur!

Aish, aku iri. Dan, apa-apaan riasan di wajah Ivan itu? Kenapa wajahnya dicoret menggunakan sesuatu yang berwarna merah dengan pola yang aneh? Maksudku, dia terlihat seperti badut dan memang kelakuannya sudah aneh sejak dulu! Baru kali ini dia terlihat lebih aneh lagi ketika memakai riasan mata berwarna ungu cerah di bawah matanya. Dia seperti penyihir wanita yang bermaksud menculik anak-anak.

Penampilan Ivan membuatnya terlihat mengerikan. Huh, aku tarik kata-kataku sebelumnya, tentang Ivan yang tampak keren. Yah, setidaknya jubah yang dia pakai memang terlihat menarik, sih.

Tapi sungguh, apa yang sebenarnya terjadi di sini? Kenapa semua orang melakukan hal aneh yang berada di luar kebiasaannya?!

Aku sungguh-sungguh tak mengerti. Ada beragam pertanyaan yang mulai berkumpul dalam otakku dan saling dorong satu sama lain, hingga membuatku kesal sendiri karena tak bisa menemukan jawaban atas semua pertanyaan ini. Juga, ada banyak yang ingin kutanyakan kepada teman-teman sepermainanku. Kepada Elena yang tadi kulihat, juga kepada Ivan yang sibuk dengan tugasnya di atas panggung. Mereka berdua yang kukenal baik, malah ada di tempat yang sama denganku dan dalam keadaan yang jauh berbeda satu sama lain.

Aku ingin sekali memanggil Ivan, namun mulutku terus melafalkan kalimat-kalimat aneh yang tak bisa kuhentikan. Meskipun ingin, tapi tetap saja tak bisa. Padahal aku sudah berusaha keras menahan mulutku, dan mencegahnya untuk tidak bersuara lagi, tapi aku tak bisa! Ini menyebalkan! Apa yang harus kulakukan!?

Bagaikan ada suatu kekuatan magis yang membuatku tak bisa berbuat apa-apa untuk menghentikan semuanya.

Aku sungguh tak berdaya. Aku merasa bahwa aku semakin terlihat seperti seorang pecundang.

Tak ada yang bisa kulakukan. Aku hampir saja menangis jika tak mengingat ada di mana aku sekarang. Ada banyak orang di sini dan aku masih memiliki urat malu, tak mungkin anak laki-laki menangis di depan umum.

Otakku dipaksa berpikir. Sulit rasanya ketika memikirkan sesuatu yang berat bagiku. Aku mau pulang.

Sambil menahan air mata, aku mengalihkan pandanganku kembali kepada Ivanoff. Dia sepertinya menikmati sekali perannya di atas panggung itu. Aku iri dengan kepercayaan diri dan juga keberaniannya itu.

Ivanoff dengan lantang menyebutkan bait-bait kalimat yang—sekali lagi, tak bisa kumengerti apa artinya. Seolah apa yang baru saja ia lontarkan itu berasal dari dunia lain. Seolah mereka yang ada di panggung itu sedang membaca sesuatu di luar kesadaran mereka sendiri.

Seolah dia sedang ... menyahuti apa yang baru saja aku baca.

Empat orang di belakang Ivan tidak terlihat berbuat apa-apa. Selain berdiri tegak dengan kepala yang ditundukkan. Mereka aneh. Terkadang mereka akan bergerak, sesekali berputar sebanyak dua kali di atas panggung begitu bacaanku sampai di kalimat tertentu.

Aku penasaran dengan dua orang yang memiliki tinggi yang tidak terlalu berbeda denganku. Mungkin keduanya memiliki tinggi yang sepantaran. Siapakah mereka? Apa lagi-lagi mereka adalah orang desa yang kukenal? Jujur saja, malam ini sangat mengejutkan! Melebihi apa yang bisa kupikirkan.

Aku kembali mengalihkan perhatianku pada kertas yang kugenggam. Kapan mulutku berhenti membacanya?! Rasa-rasanya aku sudah gila karena dipaksa mengeluarkan suara sampai-sampai bibirku mengering.

Aku bahkan tak bisa mengusir nyamuk yang mengerubungi seluruh tubuhku. Semakin mendekati paragraf bawah yang itu berarti adalah selesai, intonasi suaraku akan bertambah naik. Aku membacanya dengan lantang, meskipun tak lagi memiliki banyak tenaga.

Aku bahkan akan berteriak, suaranya begitu nyaring. Aku seperti mendeklarasikan sumpah ketika membaca teks tersebut.

Oh, tuhan, kapan aku bisa pulang ke rumah? Ini terlalu membuat kepalaku sakit. Aku sudah tidak tahan lagi!

Aku hanya bisa pasrah saat tanganku bergerak sendiri, seperti ... bagian tubuhku ingin menguasaiku. Lidahku pun bertindak seakan-akan dia akan melakukan segala sesuatu melalui bibirku. Ah, keanehan ini membuatku gila.

Aku yang disibukkan dengan Ivan, tak menyadari jika orang-orang yang semula duduk dengan tenang sembari mendengarkanku, mulai menunjukkan keanehannya begitu aku akan mengakhiri paragraf terakhir dari kertas usang yang Nenekku suruh untuk membacanya.

Awalnya mereka semua duduk tegak dan pandangan mereka hanya tertuju pada Ivan yang memasang senyum yang menawan di atas sana. Orang-orang ini tak bergerak, bahkan menggerakkan tangan pun tidak. Benar-benar sebuah pemandangan yang janggal dan mengerikan.

Bagiku, duduk selama hampir 10 menit tanpa bergerak saja sudah cukup aneh. Dan lagi, setelah kuperhatikan baik-baik, sorot mata dari orang-orang yang duduk di batang pohon yang sudah ditebang itu semuanya terlihat hampa. Mereka tak sepenuhnya memandang Ivanoff, mereka hanya menatap kosong ke depan.

Alunan musik harpa yang sebelumnya kudengar dari dalam hutan kini telah menghilang. Aku tak lagi mendengar alunan musiknya yang lembut. Namun, ketenangan itu tak berlangsung lama sampai aku kembali mendengar suara asing. Suara yang kudengar kali ini adalah koakan burung gagak yang hinggap di atas batang pohon.

Aku bahkan merasa jika burung-burung itu sedang mengelilingi tempat kami berkumpul ini. Apa yang mereka tunggu? Akankah ada sesuatu yang mengerikan muncul?

Ah, kenapa suasana ini menjadi semakin mengerikan, sih!? Aku yakin, burung-burung yang identik dengan kematian itu sekarang tengah mengawasi kami dari balik pepohonan.

Kaakk! Koaak!

Ah, mereka kembali bersuara sambil mengepakkan sayap. Kenapa mereka harus mengeluarkan suara seperti teriakan malaikat kematian?! Kenapa juga aku harus terjebak di tempat yang menakutkan ini?! Jika aku tahu akan menjadi seperti ini, maka aku tidak akan pernah mau mengikuti langkah Nenek tadi.

Koak! Koak! Koak!

Kenapa mereka malah berkicau sebanyak 3 kali, sih?! Mereka sedang memanggil apa kemari?! Setahuku, jika memanggil sesuatu sebanyak 3 kali, maka yang dipanggil itu akan tiba dalam wujud mengerikan!

Aku benar-benar panik. Yang kulakukan selain berdoa dalam hati, maka aku akan menggerutu berulangkali.

Suara burung gagak sering disebut sebagai penanda kematian, itu faktanya. Jika suara gagak terdengar di tempat yang biasa tidak pernah disinggahi oleh spesies burung itu, artinya akan ada orang yang meninggal dunia di sekitarnya.

Inilah sebabnya aku begitu ketakutan. Aku belum siap mati! Aku masih ingin menikah dan mengelilingi dunia dengan kapal pesiar! Setidaknya, aku ingin melakukan sesuatu yang luar biasa, misalnya menyelamatkan dunia ini dari monster Godzilla, tapi rasanya itu mustahil. Pertama, aku tak yakin anak-anak sepertiku bisa membuat sebuah perubahan pada dunia ini setelah serangan monster mengerikan. Kedua, Godzilla itu tidak nyata.

Berdasarkan pengamatanku, aku telah membaca isi dari lembaran kertas ini sekitar 1 jam. Itu berarti, aku telah berada di luar rumah selama 2 jam. Fajar belum juga tampak, sepertinya masih ada sisa 1 jam sebelum matahari terbit.

Aku semakin "bersemangat" saat membaca isi dari kertas yang diperintahkan Ibu untuk kubaca itu. Bukan berarti aku membacanya atas kehendakku sendiri, tapi mulutku terus bergerak sendiri dan tak membiarkanku mengeluarkan pendapatku.

Apakah aku harus mengigit lidahku agar aku bisa berhenti membaca tulisan ini sebagai jalan terakhir? Tidak, itu berbahaya. Bisa saja setelah lidahku lecet, aku akan terus membaca lebih banyak lagi. Bahkan jika itu akan menyakitiku.

Argh! Aku tak tahan dengan ide gila ini!

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel