Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

06. Di Hutan Lakebark Yang Terlarang

Sejak saat itu, tiap kali mendengar sesuatu yang tidak seharusnya aku dengar, atau ketika aku bermimpi serta berhalusinasi secara berlebihan, maka aku akan meminum obat penenangku sebelum tidur—setiap dua kali dalam seminggu. Rutinitas ini terus kulakukan hingga hari ini, tiga tahun berlalu, dan obat yang harus kuminum masih belum habis juga.

Meski telah meminum obat, nyatanya aku masih dihinggapi rasa takut. Ketakutan berlebihan yang hinggap di hati ini akan kembali lagi ketika mengingat cerita di mana ada seorang anak yang diculik oleh makhluk tak kasatmata yang bersembunyi di bawah ranjangnya. Kengeriannya masih terbayang sesekali—dan itu sangat menakutkan.

Aku kemudian meraih sebuah senter dan menyalakannya, lalu menyorotkan senter itu ke bawah ranjang, memastikan tidak akan ada sesuatu yang akan bersembunyi di sana. Akan menjadi mimpi buruk jika ada monster atau hantu yang sedang menungguku di kolong ranjangku sendiri.

Setelah memastikan semuanya aman, aku lalu mematikan lampu kamar. Katanya, tidur dalam keadaan gelap itu baik untuk kesehatan, dan memang ketika aku mencoba tidur pertama kali dengan lampu kamar yang dimatikan, keesokan harinya tubuhku akan terasa lebih segar dan bertenaga.

Aku menarik selimut hingga menutupi setengah wajah. Aku percaya jika kita bersembunyi di balik selimut, hantu atau monster tidak akan bisa menemukan kita. Suasana kamarku jadi sedikit menakutkan ketika lampunya mati, walaupun ada sinar bulan yang menembus masuk ke jendela yang ditutup tirai putih, tapi seolah-olah akan ada makhluk halus yang bisa muncul kapan saja di samping ranjangku.

Aku memejamkan mata dan mulai menghitung domba. Berharap dalam hati, semoga tidak ada hal menakutkan yang akan mengganggu tidurku malam ini.

Aaron Demien, bodohnya kau sampai melupakan hal penting bahwa malam itu adalah malam bulan purnama.

Tepat setelah tujuh tahun berlalu sejak saat itu.

***

"Aaron, bangun."

Aku tiba-tiba terjaga saat kurasakan ada yang sedang menyentuh tubuhku, itu seperti tangan seseorang, telapak tangannya terasa dingin, bahkan rasa-rasanya seperti menembus kulitku yang tertutup piyama panjang.

Aku membuka mata sedikit dan kepalaku langsung sakit saat melihat cahaya yang jatuh di retina mata. Ternyata aku sedang menghadap jendela yang terbuka lebar, dan sinar bulan yang terang langsung menyorot ke arahku. Aneh, rasanya aku sudah menutup tirai itu tadi sebelum tidur.

"Bangunlah, Aaron ...." Bisikan lirih itu kembali terdengar. Aku yang sudah sadar sepenuhnya dengan cepat menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuh. Rasa kantukku sudah tergantikan dengan rasa takut yang mencekam.

Aneh, aneh, aneh! Apa ini halusinasi lagi?! Padahal aku sudah minum obat!

"Bangun, Aaron!" Aku terkesiap saat suara itu terdengar lagi dan bersamaan dengan itu tubuhku diguncang dengan tenaganya yang luar biasa. Aku dapat merasakan kuku panjang tangannya terasa menusuk kulitku. Ini tak nyata! Ini tak nyata! Makhluk itu ada di kamarku dan saat ini sedang mengusikku!

"Tolong, jangan ... jangan ganggu. Pergilah, nanti kuberi daging yang banyak," racauku tak jelas. Aku benar-benar meringkuk di dalam selimut layaknya bayi dalam perut. Entah ini ilusi atau tidak, yang jelas bisikan itu sudah tak terdengar lagi. Apa makhluk yang mengeluarkan suara seperti suara wanita tua itu sudah pergi?

Aku berusaha mengintip dari celah selimut yang sengaja kusingkap sedikit, dan melihat keadaan di sekitar.

Tiba-tiba suara geraman pun muncul dari samping ranjang. "Hei, Aaron! Kau ini! Jika kau belum juga bangun dari ranjangmu sekarang, Nenek akan membawaku ke Neraka!"

Mataku membola seketika. "Nenek?!" seruku kaget dan refleks keluar dari selimut, bantal-bantalku bahkan terlempar hingga ke ujung ranjang. Aku yang sudah duduk seketika dihadapkan dengan wajah Nenek yang dipenuhi keriput, keringat dingin dengan cepat membasahi pipi dan leherku.

Apa yang dilakukan Nenek di kamar ini? Ke mana perginya makhluk itu?

"Sedang apa Nenek di sini?" tanyaku padanya. Aku segera mengedarkan pandanganku ke sekitar. Apa hantu itu sudah pergi? Apa Neneklah yang mengusirnya? Otakku tak bisa berpikir jernih sekarang.

Nenek hanya menatapku tanpa berniat menjawabnya. Dapat kulihat kulit bawah matanya yang menghitam dan terlihat cekung. Kapan terakhir kali nenekku tidur, ya? Dia semakin menakutkan saja.

Aku pun membuang napas lelah, sepertinya aku memang berhalusinasi lagi tadi. Ketika aku menyadari yang ada di sampingku kini hanyalah sosok yang ingin kuhindari, aku pun mulai merasa ngantuk. Aku lebih memilih untuk melanjutkan tidurku daripada harus berhadapan dengannya yang kutakuti. Biar saja aku menjadi cucu yang durhaka.

"Ikutlah, Aaron. Semuanya sudah menunggumu." Nenek dengan cepat menahan tanganku saat dilihatnya aku memejamkan mata lagi. Aku kemudian melirik jam, masih pukul 2 dini hari, tapi kenapa Nenek bersikeras menyuruhku bangun? Apa dipikirkan sudah pagi, ya?

"Cepat bangun, Pemalas!" Nenek memukulku bertubi-tubi dengan bantal. Tidak sakit, tapi itu sudah cukup untuk mencegahku tidur kembali. Ya, cara itu berhasil, sebab dia sukses membuatku turun dari ranjang.

Mataku masih berat, dan sendi di lututku masih lemah. Jiwaku belum sepenuhnya kembali padaku. Aku lalu melirik Nenek, dan melihatnya sedang tersenyum lebar—tepatnya menyeringai menakutkan, seraya menarik tanganku, dan menuntunku keluar dari kamar.

Kali ini, kupercayakan Nenek membawaku menuruni tangga, aku cukup memejamkan mata sambil melanjutkan tidurku yang tadi sempat terganggu. Suara bisik-bisik aneh kembali terdengar, semakin dekat kami dengan sumbernya, semakin kumengenali suaranya yang memang sudah sangat familier di telinga. Aku lalu membuka mata sesaat setelah Nenek berhenti melangkah.

Ibuku sedang berdiri di depanku sambil tersenyum manis. "Cepatlah, Aaron. Kami sudah lama menunggu," ucapnya lembut seperti biasa. Ayahku kemudian datang menghampiri dan mengambil alihku dari tangan Nenek.

Kini aku berdiri di samping Ayah yang menggenggam tanganku dengan erat, aku juga melihat semua anggota keluargaku sudah berada di luar rumah, termasuk paman Sean dan bibi Jean. Aku bahkan baru menyadari jika semuanya kompak mengenakan jubah panjang berwarna hitam dengan tudung yang menutupi setengah wajah.

Hanya satu yang kurang dari penampilan mereka saat ini, yaitu sabit panjang. Sepertinya hanya aku saja yang tidak mengenakan kostum seperti seorang Grim Reaper, memakai sandal pun tidak.

"Aku akan mengambil sendalku—" Perkataanku terpotong begitu saja ketika Ayah langsung menyeretku pergi. Aku kebingungan. "Tapi, Ayah, Aaron belum menggunakan sendal ...."

"Kau tak membutuhkan apa pun malam ini," ucapnya tegas dan terus melangkahkan kakinya menuju hutan. Sedangkan Nenek dan yang lainnya mengekor di belakang kami tanpa suara. Masing-masing dari mereka membawa obor kayu dan juga lentera. Mereka membawaku menuju gerbang di sebelah Utara desa tanpa alas kaki sama sekali. Jahat!

"Kita mau ke mana?" tanyaku setelah melewati gerbang yang sepi dari penjagaan. Padahal pemuda di sana tidak pernah sekalipun meninggalkan posnya. Begitu melewati gerbang yang merupakan perbatasan antara desa dan hutan Lakebark, lolongan anjing di dalam hutan pun menyambut kami. Tak ada yang tahu apa yang sedang menunggu kami saat ini di depan sana.

"Bu, kita mau ke mana?" tanyaku lagi, tapi ibuku hanya tersenyum. Tak terlihat seperti ingin menjawab pertanyaan anaknya yang masih kecil ini. Aku sudah benar-benar muak dengan mereka semua. Tidak Ayah, tidak pula Ibu, semua diam membisu. Tak ada seorang pun di antara mereka yang mau memberitahuku tujuan kami memasuki hutan ini.

Apa karena aku hanyalah anak-anak yang akan mengacaukan semuanya? Tidak adil!

Suara hewan-hewan malam kembali menyambut kami begitu keluargaku memasuki kawasan hutan. Jalan yang kulalui dipenuhi dengan dedaunan kering dan ranting-ranting kecil yang menyayat kulit. Bisa kurasakan ada duri yang menusuk telapak kakiku yang tak memakai alas sama sekali. Rasanya sakit dan tidak nyaman. Bisa kau bayangkan kaki tertusuk duri kecil dan ketika kau gunakan untuk berjalan durinya akan menusuk kulitmu semakin dalam? Kalau kau mengerti rasanya, aku pun demikian.

Oh, sampai kapan kami berjalan dalam kegelapan hingga sampai di tujuan? Aku lebih mengeluhkan kakiku yang tertusuk duri kecil. Rasanya tidak enak sekali.

"Ibu, kakiku sakit," aduku kepada wanita anggun yang sudah melahirkanku ke dunia ini, tujuh tahun yang lalu. Aku tadi sudah meminta kepada Ayah untuk menyerahkanku kepada Ibu, karena Ayah begitu dingin ketika diajak bicara. Sekarang tanganku digenggam erat oleh tangan Ibu yang selembut malaikat. "Ada duri yang menusuk kakiku."

Tak seperti Ayah, Ibu dengan sigap berhenti dan menyuruhku duduk di tanah. Mengangkat kakiku yang sakit dan mencari sesuatu yang menusuk telapak kakiku sedari tadi. Entah bagaimana dia bisa mengeluarkan sesuatu yang menusukku itu dan menarikku agar berdiri dan melanjutkan perjalanan seperti tak pernah ada sesuatu yang terjadi. Kami bahkan berada tak terlalu jauh dari rombongan yang sengaja melambatkan langkahnya agar kami bisa menyusul tanpa harus berlari.

"Ibu, bisakah kita pulang saja? Aaron mengantuk, Bu ...." Aku mencoba membujuknya.

"Kau tak bisa kembali, karena tak lama lagi ... kita semua akan tiba di sana, hadir dalam perjamuan itu." Nenek yang kulihat tadi sedang berjalan di samping Ayah yang jauh di depan, tiba-tiba saja sudah mengejutkanku dengan kehadirannya di sebelah kanan. Wajahnya yang keriput membuatku terkejut begitu menoleh ke arahnya. Aku tentu saja kaget dan refleks bersembunyi di balik jubah yang Ibu kenakan.

Lagi-lagi Nenek menakuti cucunya yang penakut! Hampir saja kukira kemunculannya tadi adalah tanda hantu akan muncul, tapi apa yang tadi Nenek katakan, ya? Aku tak mengerti.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel