04. Bermain Bersama
Sesuai rencanaku, aku akan berbeda tim dengan Ivanoff, dan aku memilih untuk menggabungkan kekuatanku dengan Deinn, bertanding melawan Albert dan Ivanoff. Alasan kedua mengapa aku sengaja mengajaknya adalah karena jika Deinn dan kakaknya—Albert—bersama, maka mereka akan menang dengan mudah.
Mereka itu cerdas dan berbakat. Sekali lihat saja, mereka akan mengerti cara mainnya. Itulah mengapa aku ngeri jika mereka satu tim.
Salah seorang temanku lagi akan menjadi juri dalam permainan ini, sebab tak mungkin kubiarkan anak perempuan bertanding melawan anak laki-laki.
Aku pernah cerita sebelumnya, bahwa kami mulai senang bermain di perbatasan desa dan hutan Lakebark. Suasananya begitu tenang dan memberikan kami kekuatan untuk memainkan suatu permainan, misalnya gorodki yang memerlukan penglihatan yang tajam dan otot lengan yang kuat.
"Deinn, sekarang giliranmu!" Kuberteriak kepada teman sereguku, Deinn.
Anak lelaki bermata hijau laksana zamrud yang berkilau terang itu tengah menatap serius pada balok-balok kayu yang berdiri beberapa meter darinya. Tangannya menggenggam tongkat gorodki dengan erat. Sekilas, postur tubuhnya bak seorang profesional yang sedang bersiap melakukan serangan dalam permainan golf.
Begitu Deinn mengayunkan tongkatnya, dalam sekejap susunan balok kayu di depannya pun jatuh berantakan.
"YES!" Aku bersorak gembira ketika teman satu timku itu berhasil menumbangkan susunan balok kayu milik lawan. Jika sebelumnya saat giliran tim Ivanoff dia berhasil menumbangkan dua milik kami, maka Deinn dengan bangga menyapu habis semuanya.
"Kerja bagus!" Aku menghampiri Deinn, dan melakukan high five dengannya.
"Bagaimana seranganku tadi?" Deinn bertanya dan kumenepuk pundaknya bangga.
"Sempurna! Kau jenius, Deinn!"
Kemudian kami berbalik badan dan langsung menggoyangkan pantat kami di depan Albert dan Ivanoff, sebab kami telah berhasil mengalahkan mereka. Keduanya memasang ekspresi masam, tak suka dengan pemikiran bahwa aku dan Deinn akan menggambar di wajah tampan mereka. Hahaha, rasakan!
Sesuai perjanjian kami di awal, yang menang akan mencoret wajah lawan dengan spidol merah. "Hei, awas kau! Jangan gambar aneh-aneh!" ancam Ivanoff sambil menatapku tajam. Ancamannya hanya membuatku tertawa. Tentu saja aku akan menunjukkan bakat seniku~
Begitu menyelesaikan lukisan di wajah Albert dan Ivan, kami berlima pun memutuskan beristirahat di bawah sebuah pohon besar yang rindang. Aku duduk bersebelahan dengan Elena, seorang gadis kecil berusia 5 tahun. Dia memiliki rambut emas yang indah, poninya panjang dan anak rambut di sisi wajahnya membingkai pipinya yang bulat. Bibirnya tipis dan warna matanya yang cokelat keemasan pun terlihat berkilauan.
Elena merupakan sahabatku sejak 2 tahun silam, ketika dia masih balita. Keluarga kami sangat dekat dan rumah kami pun bersebelahan. Dia begitu cantik layaknya peri yang baik. Darinyalah aku tahu tentang dongeng seorang putri yang mencium kodok jelek yang kemudian berubah menjadi pangeran tampan yang jago menunggangi kuda.
"Tadi menyenangkan, ya?!" Elena di sampingku angkat bicara dengan ceria, ia tersenyum secerah matahari pagi. Betapa cantiknya. "Aku bosan melihat kalian bermain, seharusnya aku juga ikut tadi!"
Tangannya yang mungil memetik bunga-bunga liar di sekitar kakinya, lantas mengumpulkannya. Kulihat dia tak tertarik dengan bunga-bunga yang hanya dikumpulkan olehnya itu.
"Iya, menyenangkan," sahut Albert dengan senyum ramah. "Tentu, kau harus mencobanya nanti, Len."
Di antara yang lain, Albert lah yang paling dewasa. Kakaknya Deinn ini memiliki ciri fisik yang sedikit berbeda dengan adiknya. Iris matanya berwarna biru, di pipi dan hidungnya terdapat bintik-bintik berwarna cokelat.
Deinn dan Albert itu kembar non-identik. Walau dari luar terlihat berani, faktanya adalah keduanya hanyalah para penakut dari kota. Pernah suatu ketika, di awal perkenalan kami dengan mereka yang baru saja pindah ke desa Birdben setelah menghabiskan beberapa tahun hidupnya di salah satu kota di Jerman, aku menceritakan sebuah kisah seram yang kudapat dari nenekku pada mereka berdua.
Kupikir mereka tidak akan terkejut dan bersikap biasa saja, sebab mereka dari luar negeri. Nyatanya reaksi mereka begitu lucu. Deinn menangis ketakutan sambil menutupi wajahnya, sedangkan Albert mengucapkan sumpah serapah dalam bahasa Prancis yang tidak kami ketahui artinya.
Ivanoff juga seorang pendatang dua tahun yang lalu, dia pindahan dari tempat yang kuketahui sebagai kampung halaman Nenek. Apa mereka punya sejenis hubungan, kerabat misalnya? Soalnya mereka berdua suka sekali membuatku takut!
Ivanoff dan keluarganya sama-sama berasal dari bangsa Slavia, dan sama seperti Nenek, dia juga suka "mendongeng". Semua yang dia ceritakan begitu seram, bahkan sukses membuatku dimarahi Ibu karena menjadikan tempat tidurku basah setiap malam.
Kau pasti mengerti maksudku.
***
Tak biasanya, Elena yang ceria terlihat murung saat bermain. Aku yang menyadari perubahannya itu dengan cepat mengajak yang lain untuk berkumpul dan mendengarkan apa yang mengganggu gadis kecil itu, tapi Elena memilih diam.
Ivan bertanya di sela tawanya, "Ada apa? Kau takut pulang ke rumah sendirian dan menemui monster di jalan?"
Aku segera memelototinya, jika dia sudah tertawa seperti itu, dia pasti akan mulai bercerita.
Elena menggeleng, mulutnya masih terkunci. Aku kemudian memeriksa keningnya, tapi suhu tubuhnya normal, tidak seperti orang sakit. Lantas, ke mana perginya keceriaan itu?
Ivan yang semula duduk di sebuah batang pohon tumbang, beranjak menghampiri kami. Ia lalu duduk bersila dan memulai aksinya, "Kau kenapa?" tanyanya berbasa-basi. "Aku tahu sebabnya, kau pasti takut dengan hantu yang akan merayap keluar dari kolong tempat tidurmu malam ini, atau bisa saja kau akan takut dengan bola mata besar yang mengintipmu dari sela-sela bawah pintu kamar."
"Apakah aku benar, Len?"
Elena meringis, dan dengan cepat menutup telinganya. Ia terlihat ketakutan, aku yang membayangkan kata-kata Ivanoff pun merasa demikian. "Hei, hentikan!" Aku langsung menggertak Ivan dan memintanya untuk berhenti.
"Kenapa? Kau juga takut, Ron?" Pertanyaan Ivan serasa menghujam jantungku.
Aku memang takut mendengarnya. "Ti-tidak! Siapa yang takut?!"
Ivan mengerutkan alisnya. "Kau selalu takut dengan ceritaku," balasnya.
"Sudah kukatakan, aku tidak suka mendengarnya!"
Keadaan mulai memburuk, beruntung Albert segera melerainya. "Sudah, sudah, kalian tidak boleh bertengkar."
Karena tak ingin ada perkelahian di antara kami, Elena yang semula diam memperhatikan sepertinya memutuskan untuk bercerita. "Kumohon ... jangan berkelahi teman-teman," pintanya dengan suara rendah. Perhatian kami pun kembali teralihkan hanya padanya. "Aku seperti ini karena ... ada yang sedang kupikirkan."
"Apa yang kau pikirkan, Len?" sembur Ivan tiba-tiba, Albert dengan segera menyikut perut anak itu. Rasakan!
Elena mengembuskan napas secara perlahan, seolah berat mengutarakan isi pikirannya. "Sebenarnya ... aku ketakutan karena teringat dengan cerita nenek Bertie, neneknya Aaron." Elena berkata dengan pelan, seolah tak ingin membuatku tersinggung.
"Nenekku cerita apa padamu, Len?" tanyaku penasaran. Cerita apa yang membuat Elena menjadi murung seperti ini?
"Nenek bercerita tentang ... malam bulan purnama yang akan tiba sebentar lagi, juga ... ritual pemujaan warga desa Birdben yang sakral."
Aku tercengang, ternyata Nenek juga menceritakan cerita itu kepada Elena! Dia tak hanya ingin melihatku menangis, tapi dia juga ingin membuat anak orang menangis, sama seperti cucunya.
"Lalu, apa yang kau takutkan, Len?" Albert bertanya dengan lembut. Dia memang paling bisa menenangkan orang lain, bahkan jika dia sendiri juga terguncang.
Elena menggeleng pelan. "Tak ada yang tak merasa takut ketika membayangkan para makhluk kegelapan akan tiba, dan membawa beberapa orang dari desa ini dalam sebuah ritual pengorbanan," jelasnya sendu. "Ritual itu nyata dan akan tiba sebentar lagi ...."
Ketakutan Elena sama seperti kudulu saat mendengar cerita itu untuk pertama kalinya, kini setelah mendengarnya ratusan kali, aku pun yakin itu hanyalah bualan yang dikisahkan oleh seorang wanita tua.
"Jangan dipikirkan," ucapku sambil menepuk pundak Elena. "Itu hanya cerita lama."
"Tapi--"
"Tak apa, Elena. Beliau hanya sedang bermain-main denganmu." Albert turut memberikan dukungan agar kepercayaan diri Elena kembali lagi. "Tak mungkin cerita itu nyata dan akan terjadi kepada kita semua."
Deinn yang tak banyak bicara pun mengangguk, membenarkan ucapan sang kembaran. "Ya, Elena. Kau sendiri tau jika nenek Aaron itu senang sekali bercanda. Benar begitu, Ron?"
Aku mengangguk mantap dan membalas, "Ya! Nenekku orangnya humoris sekali!"
Secara tak sengaja aku melihat ekspresi Ivan, dan yang kudapati hanyalah ekspresi tak biasa darinya.
"Terima kasih, teman-teman." Rona bahagia kini telah kembali lagi di wajah sang peri, membuatku lupa dengan ekspresi yang baru saja kulihat dari Ivanoff. Dengan segera, kupeluk Elena dan membisikkan kalimat agar dia selalu kuat menghadapi keadaan.
Teman-teman yang lain mengikutiku memeluk Elena dan kami berlima pun saling berpelukan. Senyum di wajah kami begitu damai. Kami sangat menikmati kebahagiaan ini, sebab masa kecil takkan pernah bisa diulang kembali. Namun, ada sesuatu yang masih mengganjal pikiranku.
Kapankah malam bulan purnama dengan sinarnya yang terang itu akan terjadi?
Mungkin, hanya orang-orang tertentu sajalah yang lebih tahu menahu akan hal itu.