Bab. 9
***
"Happy birthday to you .... happy birthday to you ...."
Bita, yang baru keluar dari kamarnya terkejut saat mendapati keluarganya dan keluarga Atha berkumpul di ruang tengah sambil menyanyikan lagu selamat ulang tahun tepat pada saat melihat kemunculannya.
Perasaan haru pun menyelusup ke dalam dirinya seketika. Tersenyum, dia berjalan mendekati Agy, yang mengangsurkan sebuah kue dengan lilin-lilin kecil yang menyala di atasnya.
"Selamat ulang tahun, Adekku sayang," ucap Agy sambil tersenyum juga.
"Selamat ulang tahun, ya, Sayang," Ibunya menimpali.
Kemudian, suara-suara selamat lainnya menyusul tumpang tindih. Bita hanya mampu mengangguk dan mengucapkan banyak-banyak terima kasih.
Ini bukan yang pertama baginya. Tahun-tahun sebelumnya pun keluarganya dan keluarga Atha akan merayakan hari jadinya bersama-sama. Keluarganya sudah menganggap keluarga Atha seperti kerabat sendiri, itu sebabnya setiap ada acara apa pun di keluarga mereka, keduanya akan mengundang satu sama lain.
"Selamat ulang tahun, ya, Kak! Semoga apa yang Kakak cita-citakan segera terwujud," ucap Hani, sembari menyalami Bita.
Senyum itu pudar, walau sedetik. Perasaan bersalah itu kembali muncul permukaan. Dan peristiwa malam hari itu langsung terbayang olehnya, membuat jantungnya berdetak lebih kencang.
"Selamat ulang tahun, Bita! Semoga bisa menjadi anak yang membanggakan Mama dan Papamu, ya. Semoga di usia kamu yang sekarang, Tuhan memberikan kamu hadiah yang istimewa yang nggak pernah kamu duga sebelumnya. Aamiin," ucap Ibunya Atha lalu mencium pipi Bita dan memeluknya singkat.
Senyum itu ada di wajahnya, namun terlihat begitu menyedihkan. Namun, untungnya tidak ada yang menyadari hal itu, karena Bita lekas-lekas menggantinya dengan tawa kecil meskipun tanpa humor.
"Makasih, ya, Tante," serunya, pura-pura bahagia.
Dia lalu melirik Atha yang duduk di sofa bareng Kansa. Cowok itu menatapnya dan tersenyum.
Kenapa dia terlihat baik-baik saja?
Bita mencoba berpikir bahwa barangkali sebenarnya Atha pun memiliki beban yang sama dengannya. Cowok itu pastilah juga merasa bersalah. Bagaimanapun juga, yang mereka lakukan adalah kesalahan besar. Akan tetapi, saat ini, mungkin dia tidak ingin merusak momen ultah Bita. Dia ingin Bita tahu, dengan sikap tenangnya saat ini, membuktikan semua akan baik-baik saja.
Jangan takut.
Tidak akan terjadi apa-apa.
Rahasia itu masih aman.
"Kak, nanti malem tidur di rumah lagi, yuk? Tapi, tidurnya di kamarku, ya! Jangan di kamar Bang Atha lagi. Biar kita bisa nonton Drakor bareng-bareng."
Suara Hani barusan, membuat fokus beberapa orang teralihkan. Sementara itu, jantung Bita dan Atha rasa-rasanya mau copot ketika Hani bicara.
Amira menoleh menatap Hani dan tersenyum. "Memangnya, kapan Kak Bita tidur di rumah, Han?"
"Kemarin, Tante, yang pas ada acara pesta di Bandung itu. Malemnya Kak Bita tidur di rumah."
Bita merasakan lehernya kaku. Dia bahkan kesulitan untuk melarikan pandangannya dari mata sang ibu yang menatapnya penuh arti, pun Papa dan Agy yang juga menatapnya dengan pandangan yang sama.
"Oh, jadi malam itu Bita tidur di rumah, ya?" tanya Sera, ibunya Atha, sambil tersenyum. Bahkan tak ada ekspresi terkejut di wajahnya, seolah-olah hal itu baginya sudah biasa dan wajar.
"Iya, Ma." Hani yang menjawab.
"Hahaha, kebiasaan ya dari dulu, nih anak dua nggak bisa dipisahin kayaknya. Kamu nggak macem-macem kan, Bang, sama Bita?"
Atha menggeleng cepat. "Ya, enggaklah, Ma."
Agy menatapnya, penuh intimidasi, namun Atha pura-pura tidak menyadarinya.
***
Tepat pukul sepuluh malam, Atha dan keluarganya pamit pulang. Ketika Bita hendak menuju kamarnya, terdengar suara Agy memanggilnya.
Sambil menoleh ke sekeliling, Agy bertanya pada Bita dengan suara nyaris berbisik. "Iya, kamu tidur di rumah Atha waktu itu?"
Bita tidak bisa ngeles lagi karena Hani sudah jelas-jelas mengatakannya. "Iya."
"Kok, bisa? Kapan kamu ke sana?"
"Nggak lama setelah Abang pergi," aku Bita.
"Ngapain kamu tidur di sana? Memangnya kamu nggak punya rumah untuk tidur?"
"Hmmm ...," Bita menggigit bibirnya cemas.
"Bita, Mama mau bicara sama kamu."
Menyadari kedatangan Amira, Agy beranjak menuju kursi yang ada di dekat sana, menatap keduanya dan menyimak pembicaraan mereka.
"Kamu ngapain tidur di rumah Tante Sera? Di kamarnya Atha, lagi! Kan, Mama udah berapa kali bilang sama kamu. Kamu sama Atha itu bukan anak kecil lagi. Jadi, nggak wajar kalau kalian tidur bareng atau dekat-dekat seperti dulu."
Bita menunduk dalam. Jari-jarinya gemetar.
"Kalian pacaran?"
Pertanyaan itu membuat Bita kian gemetar. "I-iya, Ma."
Amira mendengkus kasar. "Ngapain aja kamu sama dia di kamar? Berdua-duaan gitu, bukan muhrim."
"Nggak ngapa-ngapain, kok."
"Nggak macem-macem, kan?"
"Nggak, kok."
Amira memejamkan matanya sejenak, untuk meredakan emosinya. "Pokoknya, jangan ulangi lagi. Jangan sampai bikin orangtua malu."
Bita mengangguk lalu cepat-cepat menaiki tangga menuju kamarnya.
"Kamu juga, Bang! Bisa-bisanya ya kamu nggak tau kalau Bita tidur di sana! Disuruh jagain adiknya, juga!"
Agy meringis. "Maaf, Ma. Agy benar-benar nggak tau."
"Pusing Mama lihat adik kamu yang satu itu! Sekarang-sekarang ini dia agak berubah. Temen-temennya juga kelihatannya bukan anak baik-baik. Mama tuh nggak mau kalau adik kamu malah terpengaruh dan jadi ikut-ikutan."
Agy memahami maksud ibunya lantaran dia pun merasakan hal yang sama. Dulunya, Bita adalah remaja polos yang apa adanya. Suka belajar, selalu diam di rumah, dan berpakaian sopan jika bepergian ke luar. Tapi belakangan, dia terlihat lebih dewasa dari yang seharusnya. Caranya berdandan, berpakaian, dan tindak tanduknya, tampak bukan Bita yang biasa.
Tapi, waktu memang ikut andil dalam merubah seseorang, bukan? Bita sudah remaja dan masa SMA adalah masa paling indah, kata orang-orang dan katanya juga. Jadi, mungkin dia berpikir kalau tidak ada salahnya apabila dia berubah sedikit saja seperti remaja lainnya. Meski begitu, Agy berharap adiknya itu tidak terjun ke pergaulan bebas.
***
Beberapa minggu kemudian ...
"Gaes, kalian perhatiin nggak sih, si Bita, belakangan ini dia kok nggak pernah main bareng sama Adila dan Bunga lagi, ya?" tanya Cia sambil matanya memperhatikan Bita yang sedang makan sendirian di kantin.
Putri menoleh menatap ke arah yang sama. Mengerjapkan mata dan mendengkus, "Dia kayaknya lagi ada masalah."
"Iya, dia kelihatan murung banget belakangan ini. Kenapa, ya?" Fani menimpali.
"Gue juga ngerasa gitu sih," Lista menambahi.
Tepat saat mereka semua memperhatikan Bita, cewek itu menoleh ke arah mereka. Pandangan mereka bertemu. Untuk beberapa detik yang terlewat, mereka habiskan dengan diam. Lalu, Bita memalingkan wajahnya yang murung dan berdiri. Ketika itulah tahu-tahu Adila dan Bunga datang dan tabrakan pun tak bisa dihindari.
Bita terjatuh tepat di bawah kaki Bunga yang terang-terangan menatapnya dengan malas.
"Makanya, kalau jalan itu pake mata!"
Suara lantang Bunga tersebut menarik perhatian orang sekitar.
Apa ada?
Setahu mereka, Bita dan Bunga adalah teman baik. Mereka selalu bertiga ke mana-mana. Tapi, kenapa Bunga malah membentak Bita seperti itu?
Bita bangkit berdiri dan beranjak begitu saja, tanpa mau repot-repot membalas perkataan Bunga yang menyakitkan hatinya.
Dia terlalu capek. Khususnya belakangan ini, entah mengapa.
Sementara itu, Putri memperhatikan punggung Bita yang menjauh. Bahkan dari belakang pun, ia bisa melihat ada beban berat yang sedang dipikulnya. Namun entah apa.
****
"Kak Bita kenapa? Kok, nasinya nggak dimakan?" seru Kansa, malam itu di meja makan.
Amira melirik Bita yang terlihat hanya memakan sayuran saja. Wajah anak gadisnya itu terlihat tidak seperti biasanya.
"Kamu sakit?" tanyanya.
Bita menggeleng. "Enggak. Lagi nggak nafsu makan aja. Kalau lihat nasi nggak tau kenapa rasanya eneg," jawab Bita sejujurnya.
Tidak ada yang menyadari, saat Bita menjawab pertanyaan itu, raut wajah Amira berubah agak terkejut.
"Kalau gitu, makan sambalnya aja," tawarnya.
"Eneg juga, Ma. Bita makan buah aja." Bita bangkit, kemudian tangannya bergerak di atas piring berisi buah-buahan.
Amira menengok tangan Bita yang tampak ragu ketika menyentuh buah apel maupun pisang. Jantung Amira berdetak kencang ketika Bita meraih buah jeruk. Buah yang biasanya tidak dia sukai. Setelah mengambil dua buah jeruk, Bita lalu beranjak menuju kamarnya.
Amira tanpa sadar mencengkeram sendok makannya.
Ada sesuatu. Namun ia ragu.
***
Bita meraih kalender di atas meja belajarnya.
Telat sepuluh hari. Seharusnya, awal bulan kemarin dia sudah menstruasi.
Barangkali, tanggalnya akan maju seminggu. Bita berusaha positif. Tepat saat dia hendak meraih tas sekolahnya, rasa mual menderanya. Bita berlari ke kamar mandi yang ada di dalam kamarnya dan mencoba mengeluarkan isi perutnya. Tapi, tidak ada yang keluar.
Sebenarnya, ini bukan rasa mual pertama yang dialaminya. Ini yang ketiga kali dan selalu dimulai pada pagi hari.
Bita kemudian memandangi pantulan wajahnya di cermin. Wajah itu sedih, tampak tidak bersemangat. Sinar matanya redup, seperti dirampas ketakutan.
Kejadian malam itu, telah merubahnya. Hari-harinya tidak lagi sama.
***
"Bita ...?"
Bita menoleh pada seorang cowok yang memanggilnya saat ia melintasi koridor kelas yang pagi itu cukup sepi.
"Iya?" sahut Bita pada cowok yang ternyata pacarnya Bunga, Ravel.
"Sendiri aja? Atha mana?" Ravel celingukan, seperti mencari-cari.
"Mungkin ke kelas. Kenapa?"
Ravel tersenyum. "Eehm, nanya doang. By the way, thanks, ya, kemarin."
Kening Bita mengerut tak paham. "Kemarin?"
"You know-lah, yang kemarin di gudang."
Mata Bita membelalak dan ekspresinya berubah masam. "Gue nggak ikutan. Gue nggak tau kalo kalian di dalem."
"Oh, ya? Masa? Nggak usah malu lagi, Bit. Banyak yang bilang lo itu cewek Atha yang paling polos, tapi gue sih nggak percaya."
"Maksudnya?"
"Iya, gue lihat lo bukan cewek sepolos itu. Gimana kalo kita jalan bareng?"
"Lo pacarnya Bunga, kan?"
"Iya, kenapa?"
"Kok bisa lo ngajak cewek lain padahal lo udah punya pacar?"
Ravel tergelak, membuat Bita terheran-heran.
"Ya ampun, Bita. Biasa ajalah! Gue sama Bunga tuh cuma main-main doang. Maksudnya, gue sama dia pacaran buat seneng-seneng. Kayak lo sama Atha juga."
"Gue sama Atha nggak main-main."
"Ternyata lo emang polos, ya? Atha itu nggak cuma sama lo aja, tau! Dia banyak pacarnya."
Bita menggeleng percaya diri. "Atha nggak gitu."
"Yakin? Berani taruhan?"
"Taruhan?"
"Di gudang, pulang sekolah. Lo lihat Atha di sana sama cewek." Ravel menjentikkan jarinya di depan wajah Bita sambil menyeringai.
Bita mau membuka mulutnya namun Ravel sudah keburu menjauh. Lama Bita berpikir. Ravel pasti bohong. Dia cuma ingin mengerjai Bita saja. Entah apa motivasinya. Atha nggak mungkin kayak gitu.
Bita nggak akan datang ke sana, karena Ravel pasti bohong.
*
Akan tetapi, di sinilah Bita sekarang. Di depan gudang. Dia sungguhan datang tak lama setelah bel tanda pulang sekolah berbunyi. Di sana sudah ada Ravel, bersandar di sisi pintu gudang sambil tersenyum menyeringai.
"Gue yakin lo pasti dateng," ucap Ravel.
Meski dirinya tidak percaya dengan omongan Ravel, namun terselip keraguan di dalam hatinya, yang memaksa kakinya untuk datang ke tempat ini, untuk membuktikan bahwa Atha tidak seperti yang Ravel katakan.
Bita mendengkus. "Atha mana?"
"Di dalem, masuk aja."
Sayangnya Bita tidak melihat seringai yang muncul di wajah Ravel. Terlebih saat Bita mendorong pintu gudang dan melangkah ke dalam.
Bita celingukan dan nggak melihat ada siapa-siapa di sana. Tepat ketika dia berbalik, Ravel sudah berdiri di belakangnya dan menahan bahunya.
"Mau ke mana, Bita?" tanya Ravel dengan suara serak yang bergetar.
Bita terkejut bukan main. Dia langsung bergerak menjauh saat Ravel memegang dagunya.
"Ravel! Apa-apaan sih lo!" Bita memekik namun Ravel segera membekap mulutnya.
"Nggak usah teriak, Bita. Kita seneng-seneng bentar doang."
Mata Bita memelotot, ketika merasakan tangan Ravel menyentuh dadanya. Alarm tanda bahaya seperti meledak di kepalanya, serta merta dia menginjak kaki Ravel dan hendak berlari meraih kenop pintu namun gerakannya kalah cepat dengan Ravel.
"Apa salahnya sih seneng-seneng doang? Gue udah lama pengen dekat sama lo. Kasih gue kesempatan, Ta," bisik Ravel di telinga Bita.
"Lepasin gue, Vel! Jangan lakuin ini sama gue, pliiis, lepasin gue!" Bita mulai menangis, akan tetapi Ravel masih memeluknya dari belakang.
Dalam hati, Bita berharap ada seseorang yang akan menolongnya saat ini. Yang terlintas saat itu memang wajah Atha. Tapi, bagaimana caranya menghubungi Atha di saat seperti ini. Semua gerakannya terkunci oleh tangan Ravel.
Bita merasakan Ravel mencium pipinya dan sekelebat bayangan tentang malam saat dia bersama Atha melintas di benaknya. Serta merta Bita gemetar. Takut jika hal itu terulang lagi.
"Nggak usah takut. Gue nggak akan bilang sama siapa-siapa soal ini," bisik Ravel lagi.
"Enggaaak! Tolooong! Hmpppp!" Bita berusaha berteriak akan tetapi Ravel langsung menutup mulutnya.
"Jangan teriak, Bita! Lo mau kita ketangkap sama pihak sekolah? Lo bakal nyesel kalo sampai mereka tau!"
Bita menggeleng, nyaris tak berdaya. Saat itulah tiba-tiba terdengar pintu didobrak dari luar oleh beberapa orang hingga terbuka.
"Woi! Gila, ya, lo!" Suara itu terdengar lantang. "Lepasin nggak tuh!"
Ravel otomatis melepaskan pelukannya dari pinggang Bita dan menoleh ke belakang. Ada empat orang cewek, yang tidak dikenalnya.
"Lo Ravel, kan? Anak Fotografi?"
Ravel mendecakkan lidah, sama sekali tidak merasa terkejut. "Ganggu aja sih lo pada."
Plak!
Satu di antara keempat cewek itu menamparnya dengan keras. "Pergi atau gue panggil orang-orang buat gebukin lo!"
Ravel mengusap pipinya yang digampar lalu mendengkus. "Okey, gue pergi."
"Eh, eh, Put! Enak aja mau disuruh pergi gitu aja!"
Putri menoleh menatap Cia dengan kening berkerut samar.
"Digebukin dululah!" Cia maju lalu melayangkan tinjunya ke tubuh Ravel, diikuti dengan Fani dan Lista.
"Aduh! Aduh! Oiii!" Ravel meringis kesakitan dan berusaha menghindar, akan tetapi keempat cewek itu terus saja memukuli bahkan mencakarnya.
"Udah, gaes! Entar mati lagi anak orang!" Putri melerai, dan saat itulah Ravel berlari pontang-panting.
Bita, yang sejak tadi diam memperhatikan, hanya bisa mengucapkan terima kasih dengan suara bergetar.
"Kamu nggak apa-apa?" tanya Putri.
Bita menggeleng tanpa mampu berkata-kata lagi.
"Pulang bareng, mau?"
Bita mendongak, menatap Putri dengan tatapan gak percaya. "Atha-"
"It's okay. Kalo aja tadi Fani nggak lihat lo ke sini, mungkin aja ...," Putri mengangkat bahunya.
"Makasih, Fani," ujar Bita pelan dengan mata berkaca-kaca.
Fani mengerjapkan matanya sebelum mengangguk dan berkata, "Yap."
Bita lalu beranjak diriingi dengan tatapan penuh simpati dari keempat cewek itu.
"Sialan tuh, Ravel! Nggak ada otaknya apa? Pelecehan tuh namanya!" seru Lista berapi-api.
Cia mengangguk setuju. "Terus, gimana? Apa kita mau diam aja?"
Putri mengepalkan tangannya. "Kita laporkan ke pihak sekolah."
****