Bab. 8
Bita bergeming saat menemukan sebuah kresek putih tergantung di pintu kamarnya. Dia mulai menerka-nerka apa isinya. Dari bungkusnya, sepertinya itu martabak telur yang biasa dia beli. Bita mengambil dan memeriksanya. Dugaannya benar, itu martabak kesukaannya, yang sengaja dibelikan Agy untuknya.
Mungkin, Agy sudah memanggilinya beberapa kali semalam. Tapi, Bita tidak muncul, karena saat itu ia sedang ada di rumah Atha.
Ah, mengingat itu, membuat perasaannya tak nyaman. Dia lalu bergegas masuk ke dalam kamar dan lekas-lekas mengambil handuk. Di kamar mandi, Bita tercenung menatap pantulan dirinya di cermin. Dia memiringkan kepalanya ke satu sisi, sehingga bercak merah di lehernya terlihat jelas. Tanda yang sama yang dimiliki Bunga. Tanda yang diberikan oleh Atha kemarin malam, saat mereka sedang ....
Bita memejamkan mata, menepis jauh-jauh pikiran itu. Namun, hal itu tak urung membuatnya gelisah.
Sehabis mandi, Bita meraih seragam sekolahnya di balik pintu kamar. Setelah seragam putih abu-abu itu melekat di tubuhnya, ia kontan terduduk lemas di depan meja riasnya, lalu menangis tersedu-sedu.
Tak pantas.
Sungguh tidak pantas.
Memalukan!
Menjijikkan!
Bita menangis sambil memeluk dirinya sendiri, dan ia mulai meracau tak jelas, "Ma, Pa ... maafin Bita."
"Bita udah melanggar kepercayaan, Mama dan Papa ...."
"Bita udah melewati batas ...."
Rasa sesal, sedih, merasa bersalah, seakan-akan menggerogotinya. Bita mendapati dirinya seolah berada di tempat yang gelap, penuh dengan ketakutan.
Masa depannya.
Mimpi-mimpinya.
Nama baik orangtuanya.
Nama baik sekolahnya.
Nama baiknya sendiri.
Semua itu kini dipertaruhkan akibat perbuatannya.
Bodoh.
Dasar bodoh!
Seandainya saja waktu bisa berputar kembali, Bita pasti tidak akan membiarkan hal itu terjadi.
Sekarang apa?
Bagaimana kalau nanti terjadi sesuatu?
Bagaimana cara dia menghadapi kedua orangtuanya?
Apakah Bita sanggup menatap wajah mereka?
Jika memang tidak terjadi apa-apa, bisakah rasa bersalah terhadap Tuhannya ini hilang? Bagaimana bisa, ia melupakan dosa sebesar itu ....
Saat dirinya menangisi penyesalannya, tiba-tiba ponselnya berdering. Ada panggilan masuk dari Atha.
"Kamu udah siap? Aku udah di depan rumah, nih."
Bita mencoba menghentikan tangisnya dan menjawab, "A-aku nggak sekolah hari ini. Kamu pergi aja."
"Kenapa? Kamu nangis, ya?"
Bita langsung menutup teleponnya dan melempar benda petak itu ke kasur.
Seandainya, waktu bisa berputar kembali ....
***
"Loh, Dek, kamu nggak sekolah?" tanya Agy saat menemukan adiknya itu tengah duduk menonton TV.
Bita menggeleng. "Aku lagi nggak enak badan," jawabnya, lesu.
"Masa?" Agy menempelkan punggung tangannya ke kening Bita. "Ah, bohong nih! Orang nggak panas kok!"
Bita mendengus. "Sakit perut."
"Ooh, sakit perut. Udah minum obat? Eh, itu kemarin Abang beliin kamu martabak telur. Kemarin udah dipanggilin tapi nggak nongol-nongol ...."
Ekspresi Bita berubah tegang. Lidahnya kelu dan jantungnya pun berdegup kencang.
"I-iya, udah kumakan, kok."
"Tidur jam berapa kemarin? Abang pulang cepet kemarin, jam sepuluh sih kalau nggak salah."
Bita tidak tahu harus bersyukur atau tidak tentang itu. Seandainya pada saat itu Agy tahu dia tidak di rumah ...
"Nggak lihat jam, langsung tidur aja. Aku ke kamar dulu, ya," Bita buru-buru beranjak menuju kamarnya.
***
"Taaa?" panggil Agy sambil mengetuk-ngetuk pintu kamar.
Bita terkesiap lalu cepat-cepat menutup laptop-nya yang tadi menampilkan website berisi artikel tentang berhubungan intim dan kehamilan. Walau bagaimanapun juga, rasanya Bita wajib tahu tentang hal itu. Akan tetapi, semakin ia tahu, semakin pula dia merasa ketakutan.
"Bita?"
Sebelum Bita menjawab, seperti dugaannya, Agy langsung membuka pintu. "Ada Atha tuh di bawah."
Bita mengerjapkan matanya, sejenak bingung harus berkata apa. "Ngapain?"
"Nggak tau tuh."
"Oh, iya suruh tunggu aja, Bang."
"Yap," ucap Agy sambil lalu tanpa menutup pintu.
Bita lantas turun dan menemui Atha yang berdiri di ambang pintu rumahnya. Mulanya, Atha ragu ketika Bita mengajaknya masuk, lantaran saat itu Agy sedang mengamatinya dari jauh. Cowok berusia 22 tahun itu juga sepertinya sengaja mondar-mandir di dekat sana. Seperti sedang memata-matai.
"Kamu kenapa? Sakit, ya?" Atha menaruh tangannya di dahi Bita, berniat mengecek suhu tubuhnya, namun segera ditepis oleh Bita.
"Aku nggak pa-pa."
Atha memutar tubuhnya sedikit ke arah Bita, lalu menunduk, menghindari tatapan Agy, kemudian berkata dengan nada yang amat rendah, "Kamu mikirin yang kemarin?"
"Aku takut," balas Bita, dengan intonasi yang tak kalah pelan.
"Jangan takut. Nggak akan ada apa-apa, kok."
"Tapi, tadi aku baca-baca artikel gitu. Kemungkinan bisa positif kalau dilakukan setelah mens. Dan aku ..," Bita menggeleng, "baru mens sekitar semingguan yang lalu."
Atha mengerjapkan matanya, kaget. Namun, dia berusaha terlihat tenang. "Nggak bakalan, kok. Kamu tenang aja."
Sebenarnya, ucapan itu lebih kepada untuk menenangkan dirinya sendiri.
Bita mengembuskan napas berat. Keduanya menjauh saat Agy mendekat. Tadinya, mereka pikir, Agy akan duduk di dekat sana, tapi ternyata cowok berambut cokelat itu berjalan keluar rumah.
"Aku pulang, ya? Nanti telpon, okey?" Atha mengacak rambut Bita dengan penuh sayang sebelum berdiri dan melangkah keluar.
Sebelum benar-benar pergi, Agy tiba-tiba memanggilnya.
"Tha, Abang mau ngomong sama kamu."
Atha tampak terkejut, tapi dia berusaha sebaik mungkin untuk mengendalikan ekspresinya.
"Ngomong apa, Bang?" tanyanya sesantai mungkin.
Atha melirik ke arah pintu, mencari tahu apakah Bita ada di sana atau tidak. Ternyata Bita tidak ada, mungkin sudah kembali ke kamarnya.
"Abang udah tau kalau kalian pacaran."
Atha tersenyum tipis yang terkesan gugup. "Hmmm, iya, Bang. Baru, sih."
Agy manggut-manggut. "Abang cuma mau bilang, kamu jangan yang aneh-aneh ya sama Bita. Ya, Abang tau kalian udah dekat dari kecil, tapi bukan berarti kamu bisa macem-macem sama Bita. Ngerti, kan, maksudnya?"
Atha mengangguk. "Iya, aku ngerti."
"Abang bener-bener minta tolong, ya, Tha? Kalo kamu sayang, kamu jaga Bita baik-baik."
Atha tidak sanggup menatap mata itu lama-lama, jadi dia segera mengangguk dan menyudahi percakapan. "Iya, aku bakal jaga Bita baik-baik, kok."
"Okey."
Atha melangkah terburu-buru keluar dari halaman rumah Bita. Setelah merasa jaraknya sudah cukup jauh, dia lalu mengembuskan napas panjang.
"Gila, sih, ini. Berasa kayak maling gue. Kalau Bita sampe hamil, mati gue!"
****
Beberapa hari kemudian.
Bita tahu dirinya lemah. Serupa daun kering, yang akan jatuh ketika tertiup angin. Pada saat-saat seperti ini, dia butuh seseorang yang menggenggam tangannya lalu berkata, "Ayolah, Bita, semua akan baik-baik saja! Semangat!"
Namun, dia tidak mendengar kata-kata itu dari siapapun selain dirinya dan Atha. Dia ingin kata-kata itu diucapkan Adila dan Bunga, tetapi sulit rasanya untuk membuka cerita. Bagaimana kalau mereka mengatakannya pada yang lain? Entah mengapa sampai detik ini, Bita tidak pernah bisa membicarakan hal-hal rahasia pada keduanya. Kalaupun ada, satu-satunya orang yang bisa dia percaya adalah, Putri.
Tapi, mengingat hubungan mereka yang tidak baik seperti sekarang ini ....
"Mikirin apa?" Tahu-tahu suara itu muncul, bersama dengan sosok Putri.
Bita terkesiap. Bagaimana bisa?
Putri duduk di hadapannya, meletakkan lima buku tebal di atas meja dan membaca satu di antaranya. Siang ini, perpustakaan cukup sepi. Itu sebabnya Bita ada di sini. Sudah beberapa hari ini. Rasanya hanya perpustakaan tempat yang paling aman untuknya menangis diam-diam.
"Kamu lagi ada masalah?" tanya Putri, tapi matanya tak berpindah sedikit pun dari buku yang dibacanya.
"Nggak ada," jawab Bita pelan.
Putri mengangkat wajahnya, menatap Bita lurus-lurus. "Kalau kamu nggak punya seseorang buat tempat kamu bercerita, jangan lupa kalau kamu masih punya Tuhan."
Sebelum Bita sempat berkata-kata, Putri berdiri tegak, mengambil buku-buku tadi, lalu berkata dengan tulus, "Cuma mau bilang, hari ini ulang tahun kamu. Selamat, ya, semoga kamu panjang umur. Dan ... jangan lupa bahagia."
Bita nyaris saja menjatuhkan air matanya ketika Putri mengucapkan kata-kata itu. Rasanya dia ingin memeluk Putri dan menceritakan kegundahan hatinya. Mengatakan jika dirinya membutuhkannya. Namun tak bisa, karena Bita terlanjur membangun tembok yang tinggi di antara mereka.
Akibat masalah yang dihadapinya, dia bahkan lupa kalau hari ini dia berulang tahun. Tahun lalu, Putri dan yang lainnya membuatkan kue ulangtahun untuknya dan mereka akan mengucapkan satu persatu ucapan selamat dan memanjatkan doa untuknya.
Dulu.
Bita mendadak merindukan mereka semua. Seandainya mereka tahu ....
Bita menangis lagi, kali ini agak terisak sehingga mencuri perhatian beberapa orang di perpustakaan. Sadar dirinya menjadi pusat perhatian, Bita pun bergegas pergi untuk kembali ke kelasnya.
***
"Bita, sini!" Adila memanggil Bita yang melintasi koridor yang mengarah ke toilet.
Cepat-cepat Bita mengerjapkan matanya supaya Adila tidak tahu kalau dia baru saja menangis.
"Iya?"
"Ikut gue, yuk!"
"Ke mana?"
"Udah, ikut aja!" Adila serta merta menarik Bita menuju lorong yang sepi. Sepertinya sih ke arah gudang.
Betul saja. Adila membawanya ke gudang. Entah untuk apa. Bukannya masuk, Adila justru bersandar di pintunya sambil memainkan ponselnya. Tentu saja hal itu membingungkan Bita. Ngapain coba dia bawa Bita ke sini?
"Kita ngapain sih di sini, Dil?" tanya Bita sambil memandang sekeliling.
Tempat itu sepi dan pencahayaannya cukup gelap. Bita masih nggak ngerti kenapa Adila mengajaknya ke tempat ini.
"Udah, tunggu aja. Bentar lagi juga siap," jawab Adila acuh tak acuh.
Kening Bita semakin berkerut. "Siap? Maksudnya apa, ya?"
Adila meliriknya dengan senyum menyeringai. "Di dalam ada Bunga sama Ravel."
"Hah? Bunga sama Ravel? Ngapain mereka di dalam?"
"Serius lo nanyain itu?"
"Iya, seriuslah! Ngapain mereka di dalam?"
Belum sempat Adila menjawab, terdengar suara kenop pintu ditekan dari dalam. Adila melangkah ke samping tepat saat pintu itu membuka dan sosok Ravel muncul.
Bita terkesiap melihatnya, terlebih lagi ketika melihat Ravel merapikan kancing kemeja putihnya.
"Thanks, Dil," ucapnya sambil tersenyum, lalu beralih pada Bita, "Thanks, Bit."
"Okey," sahut Adila balas tersenyum.
Ravel pun berlalu diiringi tatapan penuh tanya Bita.
Apa itu? Kenapa Ravel berantakan sekali?
Asumsi itu tak berhenti di sana karena tahu-tahu Bunga keluar sambil mengancing bagian atas seragam sekolahnya. Rambutnya berantakan dan roknya juga tampak kotor seperti terkena debu lantai.
"Ya elah si anjir, dia enak-enak di dalam, gue jadi tukang jaga di luar sendirian kayak orang bego. Untung ada Bita. Ya, nggak, Bit?"
Bunga terkekeh sambil menyisir rambutnya dengan jari. "Haha, si Ravel tuh dari kemarin minta-minta mulu. Ya udah, gue kasih aja."
Bita masih bergeming, menyimak obrolan Adila dan Bunga yang mencengangkan. Apa mungkin?
"Lo kenapa, Bit? Kok kayak nggak suka gitu ngelihat gue?"
Bita menelan ludah sebelum menjawab, "Lo ngapain sama Ravel di dalam?"
Bunga tertawa mendengus. "Ya mainlah."
"Main? Main apa?"
Kali ini tawa kecil keluar dari mulut Adila, sementara Bunga langsung memutar bola matanya.
"Ya ampun, Bita. Sumpah nih, ya, gue lama-lama muak deh sama kepolosan lo itu," tekan Bunga. "Nggak usah pura-pura bego bisa nggak?"
"Lo sama Ravel ...?" Bita mengangkat alisnya tak percaya.
Bunga mengangguk bosan. "Iya! Gue sama Ravel habis ML. Making love. Lo tau, kan? Jangan bilang lo nggak tau? Hadeeeh, males banget gue ngomong sama orang lola."
Sebenarnya Bita sudah menduga, tapi ia pikir itu hanya sebatas making out saja. Ternyata ... lebih?
"Ya ampun, Bunga! Kok bisa sih kalian ngelakuin itu?"
Bunga tak merespon baik pertanyaan itu. "Kenapa sih emangnya? Masalah buat lo?"
"Lo tau nggak apa yang barusan lo lakuin? Lo udah mencoreng nama baik lo, nama orangtua lo, dan nama sekolah juga! Kalau sampe lo positif hamil, kebayang nggak betapa sedihnya orangtua lo? Terus, gimana malunya sekolah? Dan lo, nggak takut sama sekali Tuhan? Itu dosa besar tau nggak!"
Bunga menoleh pada Adila yang langsung mengangkat bahu, malas ikut campur.
"Aduh! Bisa nggak sih lo nggak usah ngasih gue khobat nggak penting gini? Lagian, kan, badan-badan siapa? Gue, kan? Kenapa lo yang nyolot?!"
"Seenggak tau malunya lo ngomong kayak gitu? Lo cewek, Bunga! Ke mana harga diri lo? Kita itu masih SMA! Lo nggak merasa bersalah sama seragam yang lo pake? Bisa-bisanya ya lo ngelakuin itu di lingkungan sekolah!"
"Kan, gue udah bilang, badan-badan gueee, nggak usah ngurusin urusan gueee! Ngerti nggak, sih?!" Intonasi Bunga naik lebih tinggi dari sebelumnya. Sepertinya dia sangat kesal karena Bita malah menceramahinya.
"Memangnya lo nggak mikirin masa depan lo apa? Cita-cita lo? Lo nggak punya mimpi? Apa lo nggak ingin membanggakan nama orangtua lo?"
Sesungguhnya sejak tadi, pertanyaan yang dia lontarkan adalah bentuk kemarahan terhadap dirinya sendiri. Tapi bagaimana bisa, Bunga tidak merasa bersalah sama sekali?
"Cukup, ya, Bit! Nggak usah ceramahi gue terus! Sok suci lo tau nggak! Jangan-jangan lo udah habis lagi sama si Atha, tapi sok-sokan nge-judge gue!"
Bita bungkam.
Bahu Adila bergerak dramatis bersama dengan mulutnya yang membuka lebar begitu melihat ekspresi terkejut Bita.
"Ya ampun!"
Bunga menyeringai. "So? Bener, ya?"
Adila mendekati Bita, menatapnya dengan pandangan tak percaya. "Oh My God! Lo beneren udah pernah ngelakuin itu sama Atha?"
Pertanyaan itu tak urung membuat Bita kesulitan bicara. Ia bahkan tak mampu menatap kedua orang itu dengan tatapan berani seperti beberapa saat yang lalu. Tatapan itu kini seakan diselimuti rasa takut.
Karena Bita tak kunjung menjawab, Bunga buka suara. "Lucu, ya! Orang yang nggak suci, ngomentarin sesuatu yang dilakukan orang nggak suci lainnya. Ternyata lo diam-diam bahaya juga, ya, Bit. Nggak nyangka gue. Sumpah, nggak nyangka."
Bunga menggelengkan kepalanya, tidak habis pikir. Selama ini dia pikir Bita adalah cewek baik-baik yang tak pernah disentuh cowok sama sekali dalam artian sebenarnya. Tapi rupanya, tampilan luar tak sebaik di dalamnya.
"Kapan, Bit? Di mana tuh?" cecar Adila lagi.
"Tapi gue beda sama lo! Gue merasa bersalah sementara lo enggak!" ucap Bita bersama dengan air matanya yang luruh.
Bunga mendengkus. "Terserah lo deh mau ngomong apa. Yang jelas, lo sama aja kayak gue. Sama-sama udah jelek!"
"Aduuuh!" Adila mengangkat kedua tangannya di tengah-tengah Bunga dan Bita. "Plis, stop, ya! Sesama cewek yang udah nggak virgin, nggak usah berantem. Okey?"
Bita menggeleng. "Gue nggak nyangka kalau gue salah pilih temen," ucapnya lalu pergi.
"Halah! Banyak bacot lo! Dasar cewek sok suci!!!" teriak Bunga kesal.
"Hahaha! Kenapa tuh si Bita? Baper banget."
"Lo ngapain sih pake acara ngajakin dia ke sini? Udah tau orangnya kayak tai gitu!"
Adila cengengesan. "Habis gue tadi bosen sendirian di sini. Lo juga sih, lama banget mainnya. Kesel kan gue ...."
"Ya elah, kayak baru sekali aja."
"Sori deh. Besok janji nggak ngajakin dia lagi."
"Gue udah males temenen sama dia. Muak banget, sumpah! Sok suci jadi orang!"
Adila manggut-manggut. "Ya udah lupain aja deh si Bita. Balik kelas, yuk!"
"Kantin dulu deh. Haus gue."
"Okey."
****