Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab. 10

10. Ditelan kecewa

*

"Mbak, tau nggak?"

Amira menoleh menatap rekan kerjanya yang baru saja duduk di meja sampingnya, kemudian bertanya, "Tau apa?"

"Aku lagi ngisi, hehehe."

Amira tampak sumringah. "Wah, selamat, ya. Pantesan saya perhatikan kamu belakangan ini lesu, kayak nggak bersemangat gitu. Ternyata, lagi hamil muda."

Rekan kerjanya itu terkekeh sambil merapikan pinggiran hijab-nya. "Iya, Mbak. Aku seneng banget. Tapi, hamil muda emang suka yang asem-asem ya, Mbak? Masa sekarang aku sukanya makan yang asem-asem, kayak mangga muda, buah jeruk. Eneg banget lagi kalau ngelihat nasi."

Senyum di wajah Amira seakan sirna. Terbayang olehnya adegan saat di meja makan kemarin. Saat Bita menolak memakan nasi dan lebih memilih buah jeruk.

"Mbak Amira, kan, lebih pengalaman dari aku, hehehe."

Amira tersenyum. "Hamil muda emang begitu. Tapi, nanti kalau sudah masuk empat bulan, nggak lagi kok."

"Oh, gitu. Lama juga , ya, empat bulan. Ini masih enam minggu."

Amira tak berniat merespon lagi, karena pikirannya kini sedang berkecamuk.

Bagaimana kalau ternyata Bita ....

***

"Nyari apa?" tanya Amira saat ia menemukan Bita sedang mencari-cari sesuatu di dalam kulkas.

Bita menutup lemari pendingin tersebut sambil menjawab dengan nada sambil lalu, "Nyari jeruk, tapi udah habis."

Amira mengerjapkan mata lalu menaruh sebuah plastik di atas meja makan. "Ini, Mama baru beli."

Bita langsung terlihat sumringah dan lekas-lekas membuka plastik tersebut. Dia mengambil dua buah jeruk dan membuka salah satunya. Bita tidak sadar kalau semua gerakannya itu dalam pengawasan ibunya.

"Kamu udah makan?" tanya Amira lagi sambil berjalan menuju wastafel untuk mencuci tangan.

"Barusan makan mi instan."

"Kan, Mama masak ayam kecap. Kesukaan kamu ...," ucap Amira, lalu mencengkram kran air dengan gusar.

"Iya, Ma, tapi Bita lagi nggak mau makan ayam."

"Kenapa?"

"Nggak tau, eneg aja."

Amira ber-oh kecil kemudian meraih cangkir dan mengisinya dengan air putih lalu meneguknya hingga habis.

"Kamu udah mens?" tanyanya lagi sambil menoleh menatap Bita.

Bita berhenti mengupas kulit jeruknya. Dan saat itulah Amira melihat ada ekspresi terkejut di matanya.

"U-udah. Kemarin," jawab Bita. "Bita lupa kalau ada PR. Bita ke kamar dulu, ya, Ma."

Amira menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan. "Ya Allah, kenapa aku merasa anakku ..."

Detik berikutnya ia menggeleng kuat. "Enggak. Mungkin cuma perasaanku aja."

***

"Ma, Kak Bita kenapa, sih, dari tadi muntah-muntah terus di kamarnya?"

"Masa?"

Kansa meraih gelas berisi susu lalu meneguknya sedikit. "Iya, barusan Kansa ke kamar, terus Kak Bita uwek-uwek, gitu."

Saat Amira hendak beranjak untuk menghampiri Bita di kamarnya, Bita sudah lebih turun dengan tergesa-gesa.

"Ma, Bita berangkat, ya! Bita nggak sarapan soalnya nggak sempat," ucap Bita lalu berjalan cepat ke luar rumah.

Amira hanya bisa menatap punggung anak gadisnya itu dengan penuh tanya.

***

Bita tidak pernah mengira, jika kejadian pulang sekolah saat di gudang kemarin sudah tersebar begitu cepat di sekolah dan langsung menjadikannya pusat perhatian dan topik pembicaraan. Banyak dari mereka yang menatapnya simpati, tapi banyak juga yang mencibirnya secara blak-blakan. Seperti saat dirinya duduk di kantin sendirian, di meja seberang ada sekumpulan cewek yang dengan terang-terangan menggosipkannya.

"Ya iyalah, secara lihat aja gayanya. Pakai baju aja ketat begitu. Gimana nggak bikin cowok-cowok melotot?"

Bita menunduk sedikit, melihat kemeja sekolahnya yang ketat dan rok lipat yang  posisinya ada di atas lutut sedikit.

"Itu mah bukan pelecehan, tapi emang dasarnya suka sama suka!"

Bita meremas roknya dengan penuh amarah.

"Hahaha, lagian mereka bukannya temen, ya?"

"Si Ravel itu kan cowoknya Bunga, ya? Ah, gila sih, gue rasa dia sengaja deh ngegodain tuh cowok karena kemarin si Bunga ngebentak dia gitu kan di kantin? Pada ingat, nggak?"

"Oh, yang itu? Wah, jangan-jangan iya tuh! Soalnya, kan, mereka udah nggak temenen lagi ...."

"Nggak nyangka, ya ... kelihatannya kalem gitu, nggak taunya ...."

Bita memejamkan matanya sejenak lalu memutuskan untuk pergi dari sana.

Terlalu lelah untuk membalas. Biarlah. Terserah mereka mau bilang apa. Toh, penjelasan pun rasanya percuma. Tidak ada yang bisa mengendalikan pikiran seseorang, bukan?

Pada saat yang sama, di meja lain, ada Putri dan yang lainnya di sana, ikut mendengar perkataan cewek-cewek tadi sambil memperhatikan reaksi Bita yang tampak berusaha menahan amarahnya.

"Kok bisa ya, satu sekolah tau? Padahal, kan, kita belum ada bilang apa-apa!" seru Cia, terheran-heran.

Putri mendengkus. "Pasti selain kita, kemarin itu ada orang lain juga di sana."

"Kasian Bita, malah jadi bahan gibah."

"Nggak tau kenapa, aku ngerasa ada sesuatu yang beda gitu dari dia. Dia gak ceria kayak biasanya. Dia seperti kehilangan rasa percaya dirinya," ucap Putri kemudian mengembuskan napas panjang.

"Kenapa, ya?" timpal Fani.

"Udahlah, nggak usah ngurusin dia. Dia aja nggak anggap kita temennya." Lista menyela sambil mengaduk es teh manisnya tanpa minat. "Di saat dia lagi ada masalah gini, biarin dia mikir. Ada nggak, temannya seperti kita yang selalu ada buat dia? Yang selalu ngasih perhatian sama dia dan ngehibur dia. Karena nggak semua orang yang dia pikir teman, benar-benar teman."

Putri dan yang lainnya mengangguk mendengar perkataan Lista tersebut. Walau bagaimanapun juga, Bita sendiri yang telah menciptakan jarak di antara mereka.

***

Setibanya Bita di kelas, seorang cewek tampak terburu-buru menghampirinya.

"Bit, itu si Atha lagi berantem sama Ravel di belakang perpus!"

Bita terperangah. "Hah? Berantem?"

"Iya, buruan deh ke sana!"

Lekas-lekas Bita berlari mengikuti cewek itu menuju belakang perpustakaan. Benar saja, di tengah-tengah kerumunan itu, tampak Atha sedang beradu jotos dengan Ravel. Wajah keduanya tampak lebam akibat saling menonjok satu sama lain.

Bita melihat sekeliling, tapi tak ada satu pun dari mereka yang menonton maumelerai keduanya. Mau tak mau, Bita akhirnya maju dan menarik Atha menjauh.

"Atha! Udah! Plis, udah!" ucap Bita dengan suara rendah namun terkesan penuh emosi.

Ditahan Bita dengan jari-jarinya yang mencengkeram pergelangan tangannya dengan kuat, tak urung membuat Atha akhirnya berhenti menyerang Ravel.

Ravel menghampiri Atha dan berbisik di telinganya, "Cuma gara-gara cewek kayak dia lo bikin gue babak belur, Tha? Kenapa lo bisa pake cewek-cewek gue, tapi gue nggak bisa pake dia?"

Atha menggertakkan giginya. "Dia bukan cewek murahan kayak cewek-cewek lo."

"Jadi, lo bayar berapa dia sebelum lo tidurin?" tanya Ravel lagi sambil tersenyum menyeringai.

Atha melayangkan tinjunya sekali lagi ke wajah Ravel, sebelum akhirnya pergi dari sana sambil menggenggam tangan Bita.

Ravel mengusap pipinya yang terasa perih sebelum berkoar-koar menyuruh mereka yang menonton perkelahian tadi untuk membubarkan diri.

"Sialan! Nama gue jadi jelek gara-gara tuh cewek!" umpatnya kesal bukan main.

****

"Ngapain berantem?" tanya Bita setelah mereka tiba di tempat parkir. Untuk sekarang, hanya tempat itu yang sepi dan Bita rasa aman untuk membicarakan hal-hal yang berbau rahasia pada Atha.

"Kenapa nggak bilang aku kalau Ravel kemarin macem-macem?"

Ketimbang menjawab pertanyaan Atha, Bita justru mengatakan sesuatu yang membuat Atha mendadak tegang.

"Aku telat mens. Udah sepuluh hari."

Sesaat, Bita melihat keterkejutan di mata Atha.

"Bi-biasanya gimana?"

Bita menatap sepasang mata yang dipenuhi rasa takut itu dengan seksama.  "Biasanya, enggak. Gimana kalau aku ...?"

Atha menggigit bibirnya dengan gusar. "Jangan sampe. Aku bisa mati dibuat Bang Agy sama papa kamu, dan orangtuaku juga."

"Kalo aku beneran hamil, gimana?" tanya Bita disertai degup jantungnya yang berdebar kencang.

Atha menatap Bita dengan mata membelalak. "Plis, jangan sampe. Aku nggak bakal siap."

Bita bungkam, ditelan rasa kecewa.

Tapi, siapa yang akan siap dengan kenyataan itu seandainya benar terjadi?

Dia pun tidak siap. Tidak akan pernah siap.

***

"Tolong obat untuk sakit kepalanya satu bungkus, ya," ucap Amira pada seorang penjaga apotek.

Belakangan ini kepalanya sering diserang migrain, dan ia butuh obat untuk meredakannya.

Perempuan muda itu mengangguk dan segera memberikan obat yang Amira minta, kemudian bertanya, "Ada lagi, Bu?"

Amira menggeleng dan tersenyum. Namun, ketika hendak melakukan transaksi, dia teringat akan sesuatu.

"Test pack-nya, satu," ucapnya lebih cepat dari yang dia rencanakan.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel