Bab . 11
***
Pagi-pagi sekali, sebelum Bita berangkat ke sekolah, Amira sudah berdiri di depan pintu kamar Bita dengan penuh keraguan. Satu tangannya berada di dada, sementara tangan yang lainnya menggenggam sesuatu dengan sangat erat.
Jantungnya berdegup kencang, seiring dengan tangannya yang mengetuk pintu kamar anak gadisnya itu dengan pelan.
"Bita ....?" panggilnya.
Samar-samar, didengarnya suara Bita menyahutinya. Tak lama kemudian, Bita yang sudah mengenakan seragam sekolah putih abu-abunya membuka pintu.
"Iya, Ma?"
Amira masuk ke kamar bernuansa merah muda tersebut. Memandang sekitar dan tatapannya berhenti pada kalender di atas meja belajar. Ada banyak tanggal yang dilingkari dengan bolpoin warna hitam. Sejenak ia diam, mengira-ngira apa maksudnya lingkaran tersebut.
Bita ikut menengok ke arah yang sama. Melihat bagaimana cara ibunya melihat kalender tersebut tak pelak membuatnya gemetaran. Dan ketika ibunya itu menoleh padanya, cepat-cepat dia memalingkan wajah dan berpura-pura sibuk dengan memeriksa isi tas sekolahnya.
"Mama mau tanya sama kamu dan kamu harus jawab dengan jujur," ucap Amira kemudian sehingga Bita menghentikan kegiatannya.
Takut-takut, Bita membalikkan badannya dan menatap wajah ibunya. "Ta-tanya apa, Ma?"
"Apa kamu sama Atha melakukan sesuatu di luar batasan?"
Bita bungkam disertai jantungnya yang berdegup kencang.
"Waktu kamu tidur di rumah Tante Sera, kamu ngapain sama Atha?
"Ng-nggak ngapa-ngapain, kok."
Amira tahu-tahu mengangsurkan sebuah benda berukuran kecil seperti penggaris ke hadapan Bita. "Mama mau kamu tes ini."
Bita memelotot melihat benda itu. Setahunya, itu merupakan alat tes kehamilan. Benda yang ingin dia coba beberapa waktu yang lalu.
"Mama apaan, sih? Mama nggak percaya ya sama Bita?"
"Kamu banyak bohongnya sekarang! Pokoknya, Mama mau kamu tes sekarang juga!" tekan Amira sambil kembali menyodorkan alat tes kehamilan tersebut ke hadapan Bita.
Bita gemetar menatap benda itu. "Eng-enggak. Bita nggak mau."
"Bita! Mama bilang, tes! Kalau kamu emang nggak ngapa-ngapain sama Atha, kenapa kamu harus takut?"
Bita tidak tahu harus mengatakan apa lagi. Dengan sangat terpaksa, dia mengambil testpack tersebut dengan tangan gemetar.
"Sekarang," ucap Amira lagi penuh tekanan.
Bita menelan ludah susah payah dan berjalan masuk ke kamar kecil yang ada di pojok ruangan.
Selama kurang lebih empat menit Bita berada di sana. Di luar, Amira sedang berusaha menata detak jantungnya. Berulang kali diusapnya punggung tangan dan lehernya, was-was menanti hasil dari tes tersebut.
Dia berharap asumsinya salah. Namun, melihat tindak tanduk Bita belakangan ini, rasanya kecurigaannya semakin menjadi dan membuatnya meragu.
Bita tidak lagi seperti anak gadisnya yang ceria. Dia cenderung tertutup dan setiap hari nyaris menghabiskan waktu pulang sekolahnya di kamar. Makanan yang selalu dihidangkan di meja makan tak lagi disentuhnya dengan semangat. Dia terlihat lesu berkepanjangan.
Bita seperti perempuan yang sedang hamil muda.
Namun, bisa saja ia salah, bukan? Ia hanya begitu khawatir. Meskipun Bita dan Atha tidur dalam satu kamar, bukan berarti sesuatu terjadi di antara mereka. Atha anak yang baik, dia tahu itu. Atha sangat menghargai Bita, dia percaya.
Selain itu, tidak semua yang dialami Bita merupakan gejala awal kehamilan, bukan? Mungkin saja dia memang kelelahan dan tidak mau banyak-banyak makan seperti biasanya.
Semoga saja dugaannya salah.
Tuhan. Tolonglah ... semoga ini salah.
Beberapa saat kemudian, Bita keluar dengan wajah pucat pasi.
Amira menatapnya dengan pandangan penuh tanya. "Berapa garis?"
Bibir itu terlihat gemetar, namun tetap berucap dengan terbata, "Du-dua garis, Ma."
***
Amira jatuh terduduk di atas ranjang. Seluruh tubuhnya terasa gemetar setelah mengetahui kenyataan bahwa hasil tes tersebut menyatakan kalau saat ini, Bita positif hamil. Rasanya, tak ada lagi ruang untuknya bernapas. Amira menangis terisak-isak.
"Ya Allah, Bitaaaa! Kok bisa sih, Naaak?!"
Bita ikut menangis dan bertekuk lutut di depannya. "Ma, maafin, Bita, Ma. Maafin, Bita!"
Amira tiba-tiba menarik bahu Bita dan mengguncang-guncangnya dengan penuh emosi. "Kenapa kamu ngelakuin itu? Apa kamu nggak mikirin akibat dari perbuatan itu? Kamu nggak mikirin masa depan kamu, Bita? Apa kata orang-orang soal kamu dan keluarga kita, Bitaaaa!"
Amira memukul-mukul bahu Bita seperti orang kesetanan. "Kamu masih sekolah! Kamu masih muda! Kenapa kamu malah bikin masa depan kamu hancur! Anak nggak tau diuntung kamu!"
"Ampun, Ma! Ampun!" Bita menangis sambil melindungi dirinya dari amukan sang Ibu.
Tahu-tahu, terdengar suara langkah kaki mendekat. "Ma! Ada apa?" Agy menarik Bita dan berdiri membelakanginya. "Kenapa Mama mukulin Bita kayak gini? Ada masalah apa, Ma?"
Seumur-umur, Agy tidak pernah melihat ibunya marah sampai memukul mereka, karena ia tahu beliau adalah orang yang sabar dan tidak ringan tangan.
Bita gemetaran, rasa-rasanya ia tak sanggup untuk berdiri. Ketakutan terbesarnya sudah di depan mata, dan dia tahu tak ada lagi tempat sembunyi.
Amira menutup mulutnya, menangis terisak-isak. "Bita, Gy. Bita hamil...."
Agy tampak tertegun sejenak, sebelum menoleh menatap Bita yang terlihat ketakutan.
"Siapa?" tanyanya, menatap Bita dengan sorot tajam. "Atha?"
Bita mau tak mau mengangguk. Serta merta, Agy memukul meja belajar di depannya lantas berjalan cepat keluar dari kamar.
Di belakangnya, Amira dan Bita menyusul sambil berlari kecil.
"Ada apa ini? Kok, pagi-pagi pada ribut?" Doni bertanya keheranan.
Agy menggertakkan giginya, kemudian menjawab, "Atha, Pa. Atha bikin Bita hamil. Aku harus kasih pelajaran sama dia!"
"Apa?!" Doni lantas menoleh menatap Bita yang berdiri dengan tubuh gemetar di ujung anak tangga. "Kamu hamil?"
Bita memeluk tubuhnya dan mengangguk pelan. Bita bisa melihat dengan jelas sorot kecewa yang terpancar di mata sang ayah. Bita sempat berpikir kalau ia akan diamuk oleh ayahnya, akan tetapi pria paruh baya itu justru tampak terdiam, seakan-akan mencoba mengendalikan emosinya.
Tahu-tahu, terdengar pintu dibanting, mereka lantas berlari ke luar rumah, menyusul Agy yang sudah berlari menyeberang jalan menuju rumah Atha.
Tanpa mengucapkan salam atau permisi, Agy langsung masuk ke dalam rumah bergaya minimalis tersebut. Langkahnya berhenti tepat di ruang makan, di mana saat itu Atha dan keluarganya sedang sarapan pagi.
"Agy?" Sera, ibunya tampak terkejut dengan kehadiran Agy yang tiba-tiba.
Agy mengepalkan tinjunya dan menyerang Atha, memukuli wajahnya berkali-kali sampai keduanya terjatuh ke lantai.
"Astagfirullah! Ada apa ini?" Sera memekik kaget begitu melihat anaknya dipukuli dengan membabi buta.
"Agy! Sudah! Apa-apaan kamu?! Kenapa kamu pukuli Atha?" sergah Adi, papanya Atha seraya berusaha memisahkan Atha dari Agy yang terus ingin menghajarnya.
"Dia udah hamilin Bita, Om!" seru Agy dengan deru napasnya yang memburu.
"A-apa? Bita hamil?" seru Sera, terkejut bukan main.
Atha mengusap darah yang keluar dari hidungnya akibat pukulan Agy. Atha tidak mungkin membalas karena menyadari dirinya memang salah dan pantas menerimanya. Di sudut ruangan, dilihatnya Bita yang menatapnya iba.
Akhirnya mereka tahu, sepandai-pandainya menyimpan bangkai, baunya pasti akan tercium juga.
***
Di ruangan keluarga itu, semua orang tengah berkumpul. Di luar, matahari sudah mulai tinggi, dan hawa di ruangan itu pun tak kalah tinggi. Semua rasa seakan menjadi satu. Sedih, kecewa, marah, dan sesal. Semuanya hancur karena satu malam yang fatal.
Bita dan Atha duduk bersebelahan di sofa tengah, sementara masing-masing orangtua duduk di sebelah mereka.
"Bita, kamu yakin, kamu hamil anaknya Atha?" Setelah lama terdiam, Sera justru menanyakan hal yang langsung membuat Amira naik darah.
"Maksudnya, Ser? Kamu pikir, Bita itu bukan anak baik-baik apa?"
"Kalau anak baik-baik nggak mungkin bisa hamillah, Mbak! Lagian, Bita itu kan suka pulang malam, keluyuran sama teman-temannya."
"Eh, anak saya begitu juga karena anaknya kamu, ya! Semenjak Atha dekat sama Bita, Bita jadi sering bohong sama saya!"
Atha dan Bita hanya tertunduk dalam mendengar perdebatan itu. Akibat ulah mereka, hubungan yang semulanya merekat erat, kini ibarat cermin yang sudah retak. Masing-masing mereka seperti sudah kehilangan rasa hormat.
"Mbak, kan, guru, ya! Harusnya Mbak bisa dong mendidik anak Mbak dengan baik dan benar! Kalau kejadiannya udah seperti ini, yang disalahin anak saya. Mentang-mentang anak saya laki-laki, jadi dia yang paling disalahkan, begitu?"
"Saya orangtua dan guru, saya sudah mendidik anak-anak saya dengan baik dan benar, saya limpahkan mereka dengan kasih sayang dan perhatian. Tapi... tapi...." Amira tak kuasa menahan tangisnya. Hatinya hancur lebur menerima kenyataan ini. Bayangan akan masa depan Bita pun kini membuatnya semakin takut. Belum lagi sanksi sosial yang akan didapatkannya.
Adi berdeham. "Sebelumnya, saya minta maaf karena Atha sudah melakukan hal itu terhadap Bita yang sudah saya anggap seperti anak saya sendiri." Adi kemudian menoleh menatap Atha. "Atha, apa kamu siap menjadi orangtua? Papa saja sudah gagal mendidik kamu."
Atha tidak menjawab, jemarinya bertautan, gemetar.
"Kamu tuh masih orangtua yang ngasih makan, sok-sokan mau punya anak! Mau kamu kasih makan apa mereka nanti? Terus, itu sekolahmu gimana? Mau diberhentikan begitu aja? Kamu mikir sampai sana nggak, sih?" Sera menimpali dengan emosi.
"Ya sudah, kita nikahkan saja mereka," tutur Adi kemudian.
"Hah? Nikah, Pa? Ya nggak mungkinlah, Pa. Kan, Atha masih sekolah. Itu artinya, Atha harus putus sekolah dong? Enggak, enggak, Mama nggak setuju, ya!"
"Jadi, maksud kamu apa, Ser? Atha harus tanggung jawab atas perbuatannya! Bita hamil kan gara-gara dia!"
"Sudah, sudah! Jangan bertengkar terus. Kita selesaikan masalah ini baik-baik." Doni akhirnya bersuara. "Atha, apa kamu mau bertanggung jawab atas perbuatan yang kamu lakukan? Apa kamu siap, menikahi anak Om, Bita?"
Atha merasakan semua orang menatapnya. Perlahan-lahan, ia mengangkat wajahnya, kemudian menjawab pelan, "Saya... saya nggak siap, Om." Atha lalu beralih menatap Bita di sampingnya yang tampak terkejut mendengar pengakuannya. "Sori, aku nggak siap, Bita."
"...."
****