Bab 12
***
"Apa?!" Amira terperanjat. "Kamu nggak mau tanggung jawab, Tha? Tante nggak salah denger?"
Atha memejamkan matanya sejenak dan mengangguk lagi. "Maaf, Tante. Tapi, Atha belum siap nikah muda. Atha masih mau sekolah."
"Kalau lo tau resikonya, kenapa lo masih ngelakuin itu, hah?!" bentak Agy.
"Gue khilaf, Bang."
Agy berdiri, hendak menghajar Atha lagi, akan tetapi gerakannya ditahan oleh sang ayah. "Sabar, Gy. Jangan main kekerasan, nggak ada gunanya."
"Terus ini gimana ceritanya, Pa? Masa Bita harus tanggung semua ini sendirian?"
Bita tiba-tiba bangkit dan beranjak sambil menangis terisak. Khawatir dengan keadaan Bita, Amira lantas ikut beranjak, namun sebelum itu, ia sempat berbicara pada kedua orangtua Atha.
"Pokoknya, saya nggak mau tahu. Atha harus tanggung jawab. Kalau enggak, saya akan bawa kasus ini ke pihak yang berwajib!"
***
"Kamu dengar sendiri, kan, tadi Atha bilang apa? Dia nggak mau tanggung jawab! Sekarang gimana? Masa depan kamu benar-benar hancur, Bita!" Amira meneriaki Bita yang berjalan menuju kamarnya.
Bita menutup telinganya, tidak mau mendengar lebih banyak lagi. Rasanya sudah cukup dan ia lelah.
"Mama benar-benar kecewa ya sama kamu! Mama sudah kasih kamu kepercayaan tapi kamu malah bikin malu keluarga! Sekarang mau gimana, hah? Kamu kamu ngebesarin anak itu sendirian? Kamu siap jadi ibu? Jawab Mama!"
"Ma...." Bita membalikkan tubuhnya dengan dramatis.
Amira tertegun begitu melihat luka yang terpancar jelas di mata anak gadisnya itu. Mendadak, sebuah perasaan sedih yang amat dalam menelusup ke dalam dirinya.
"Bita bakalan pergi dari rumah ini. Bita akan urus hidup Bita sendiri." Dan masuklah Bita ke dalam kamarnya lalu menangis tersedu-sedu di balik pintu.
Dunianya telah runtuh. Atha pernah berjanji tidak akan meninggalkannya. Namun, dia mengingkarinya. Ia pikir, mereka akan berpegangan tangan menantang dunia, akan tetapi Atha justru melepaskan tangannya.
***
"Kamu mau ke mana?" tanya Agy, ketika dilihatnya Bita tengah menyusun pakaiannya ke dalam koper.
"Pergi," jawab Bita lesu.
"Pergi ke mana?"
"Nggak tau."
"Nggak tau tapi kok mau pergi?" Agy menahan koper yang hendak ditutup tersebut. "Memangnya ada yang nyuruh kamu pergi dari rumah?"
"Bita udah bikin malu keluarga kita. Bita harus pergi. Mama pasti benci banget sama Bita."
"Semarah apapun orangtua, mereka nggak akan bisa benci sama anaknya sendiri."
Bita menangis lagi dan Agy segera memeluknya. "Maafin Abang karena Abang nggak bisa jagain kamu."
"Abang nggak salah. Bita yang salah. Bita nggak bisa jaga diri," ucap Bita di sela-sela isak tangisnya.
Agy mengusap kepala adiknya tersebut dengan penuh kasih sayang. "Kita lewatin ini bareng-bareng, ya? Kamu yang sabar. Masalah ini udah ada di garis tangan kamu. Setiap masalah pasti ada jalan keluarnya."
***
"Bita, buka pintunya, Mama mau bicara sama kamu," ujar Amira sesudah mengetuk pintu. Beberapa saat kemudian, Bita muncul dengan wajah sembab. Sepertinya, anak gadisnya itu menangis seharian.
Ketika Amira masuk ke dalam kamar, matanya melirik pada sebuah koper di atas kasur. Ia menghela napas berat kemudian bersedekap.
"Tadi, Tante Sera dan Om Adi ke sini. Mereka bilang, Atha mau nikah sama kamu. Dan kami semua sudah sepakat, setelah menikah, kalian pindah ke Bandung, tinggal di apartemennya Atha. Dan Atha, tetap melanjutkan sekolahnya...."
Amira menatap Bita yang juga menatapnya. "Kamu sendiri, untuk sementara harus putus sekolah sampai kamu melahirkan. Setelah itu, terserah kamu, mau lanjut sekolah lagi, atau mau ngapain. Kamu sudah dewasa, kan? Apalagi setelah nanti jadi ibu, kamu harusnya tahu apa yang terbaik untuk masa depan kamu dan anak kamu."
Bita tak kuasa menahan air matanya. Ketika ia hendak mendekat memeluk sang ibu, beliau justru bergerak menjauh.
"Di luar ada Atha, dia mau ngomong sama kamu," ujar Amira, lantas beranjak.
Tak selang berapa lama, Atha masuk ke dalam kamarnya. Cukup lama keduanya saling diam.
"Kamu marah? Maaf, tadi aku-"
Sebuah tamparan keras mendarat di wajah Atha sebelum ia sempat menyelesaikan ucapannya.
Atha mendongak, menatap Bita yang menatapnya marah namun penuh luka dalam satu waktu.
"Kamu pernah janji, nggak akan ninggalin aku," lirih Bita.
Atha mengangguk lalu menarik Bita ke pelukannya. "Aku akan tepati janji itu. Mulai besok, kita akan terus bareng-bareng, ya."
Bita tidak tahu harus merasa apa. Bahagia ataukah sedih. Meski hari ini ia dan Atha bersatu, namun ada hubungan lain yang telah retak.
"Jangan pernah tinggalin aku," kata Bita, penuh harap seraya melingkarkan tangannya di pinggang Atha, memeluknya erat-erat.
Di balik punggungnya, Atha tampak tertegun sejenak, sebelum akhirnya mengangguk. "Iya, janji."
****
Seminggu kemudian....
"Gaes, kalian udah denger belum berita soal Bita sama Atha?" seru Cia, sesampainya ia di hadapan Putri, Lista dan Fani.
Ketiga remaja itu menggeleng, menatap Cia keheranan.
"Emangnya kenapa mereka?" tanya Fani.
Cia menoleh ke kiri-kanan, memastikan kalau tidak ada orang lain yang akan mendengar pembicaraan mereka. Meski ia yakin bahwa berita itu sudah tersebar di sekolah dan hampir semua murid mengetahuinya.
"Bita hamil gara-gara Atha."
"Hah?!"
"Astagfirullah!"
"Kamu serius, Ci? Dapat kabar dari mana?"
"Iya, tau dari mana?"
Cia mendecakkan lidah. "Katanya sih dari Ravel. Makanya, udah seminggu Bita sama Atha nggak masuk sekolah. Mereka udah nggak sekolah di sini lagi."
"Ya ampun, Bita... kok bisa sih? Sumpah ya, nggak nyangka," lirih Fani tak habis pikir.
Putri mendengus. "Ada yang mau ke rumahnya Bita nggak?"
"Ngapain sih kita ke sana-sana. Dia aja nggak anggap kita temennya," kata Lista sewot.
"Gimana pun juga, Bita itu sahabat kita." Putri berusaha memberi pengertian. "Sekarang dia lagi ada masalah dan dia pasti terpuruk banget. Dia butuh support, biar dia nggak ngerasa sendirian."
Fani mendesah. "Putri benar. Kita harus kasih dia semangat. Hamil di luar nikah itu masalah besar buat anak sekolahan kayak kita. Kalau enggak kuat, bisa aja nekat buat suicide."
"Okey, pulang sekolah nanti, kita ke rumah Bita."
****
"Abang bakal sering lihat kamu ke Bandung. Kalau ada apa-apa, kamu bilang aja, ya?" Agy memasukkan barang-barang Bita ke dalam mobil.
Bita hanya mengangguk, sambil sesekali menoleh ke arah pintu rumahnya.
"Papa akan transfer uang ke rekening kamu setiap bulan. Kamu jaga kesehatan ya di sana." Doni mengelus-elus puncak kepala Bita dengan penuh perhatian.
Bita mengangguk lagi.
"Kak, kenapa harus pergi, sih? Nanti, Kansa nggak punya temen lagi dong kalo Kakak pergi," rengek Kansa sambil memeluk pinggang Bita.
Bita tersenyum. "Kamu jaga Mama baik-baik, ya? Jangan nakal, okey?"
"Emangnya Kak Bita mau pergi ke mana sih? Kok, Kansa nggak diajak? Terus, pulangnya kapan?"
Bita hanya tertawa sumbang. "Nanti Kakak pasti pulang. Kalo kangen, telpon, ya?"
Kansa memberengut. "Ya udah deh."
Untuk mengalihkan perhatian Kansa, Agy menggelitik perut adiknya itu sehingga mereka tertawa-tawa. Dan Bita tahu ia akan merindukan wajah-wajah itu. Bita kembali menoleh ke pintu rumahnya yang terbuka namun sejak tadi sosok yang amat diharapkannya tak juga muncul. Sejak pernikahan sirinya dan Atha dilaksanakan secara rahasia tadi pagi, ibunya tak lagi menampakkan dirinya.
Bita merasa sedih dan terluka. Seharusnya, di saat-saat seperti ini, ibunya ada di dekatnya, memeluknya dan mengatakan semua pasti akan baik-baik saja. Tapi, sepertinya, harapannya kandas. Sampai Bita masuk ke dalam mobil pun, ibunya tak kunjung muncul.
"Bang, bilang sama Mama, Bita minta maaf, ya," ucapnya pada Agy sebelum mobil itu bergerak meninggalkan rumahnya.
Agy hanya mengangguk seraya melambaikan tangannya.
"Dadah, Kak Bitaaa!" seru Kansa. Suaranya menembus sampai ke dalam rumah, sehingga terdengar oleh Amira.
Beberapa saat kemudian, di belakang taksi online yang dinaiki Bita, mobil milik keluarga Atha menyusul. Sera dan Adi yang akan mengantarkan mereka ke Bandung.
Sebelum masuk ke dalam rumah, Agy melihat ada beberapa tetangganya yang berbicara di pinggir jalan sambil sesekali menunjuk rumahnya dan rumah Atha.
"Nggak nyangka, ya, si Amira... anaknya bisa begitu?"
"Iya, padahal dia kan guru. Masa nggak bisa ngedidik anaknya sih."
"Iya, heran. Harusnya bisa dong kasih contoh yang baik buat masyarakat. Malu-maluin aja!"
Agy yang mendengar semua itu merasa emosi, ia lantas mendekat dan menegur keempat wanita paruh baya di depannya itu. Agy sudah kehilangan rasa hormatnya karena tidak terima keluarganya jadi bahan gunjingan.
"Ibu-ibu ini emang nggak ada kerjaan ya selain gosipin orang?" tegurnya.
Tanpa berkata-kata, keempat wanita itu pun membubarkan diri.
Sementara itu, di sisi lain, Amira tampak termenung di depan jendela kamarnya. Doni menghampirinya, menepuk pundaknya dengan pelan.
"Kenapa nggak keluar? Tadi Bita nyariin kamu."
Amira mengusap air matanya yang perlahan mengalir. "Mama nggak sanggup. Mama nggak sanggup melepaskan Bita. Tapi, Mama juga nggak bisa mempertahankan dia di sini. Di sini hanya akan membuat psikologisnya tertekan. Rasanya, dada Mama sesak, Pa. Rasa-rasa mau meledak!"
Doni memeluknya. "Mama tenang aja, semua pasti akan baik-baik aja. Kita akan sering-sering lihat Bita ke Bandung."
Amira menangis terisak-isak. "Ya Allah, Pa, kenapa Tuhan kasih kita cobaan seberat ini? Apa Bita sanggup melewati semua ini?"
"Dia sanggup. Bita anak yang kuat," ucap Doni yakin.
***
Tepat ketika Agy hendak menutup pintu rumah, keempat remaja perempuan memanggilnya. Setelah dilihat-lihat dengan seksama, barulah Agy sadar kalau mereka adalah teman-teman Bita.
"Hai, Bang Agy?" Putri menyapa lebih dulu.
"Hai. Ke mana aja kalian? Kok baru kelihatan?"
Keempat remaja itu hanya tersenyum, tidak ada yang mau menjawab pertanyaan itu. Alih-alih menjawab, mereka justru menanyakan keberadaan Bita.
"Bitanya ada nggak, Bang?"
Agy menggigit bibir atasnya, tampak ragu. "Hm, Bita lagi di jalan mau ke Bandung."
"Hah? Jadi, berita soal Bita itu beneran, Bang?" tanya Lista terkejut.
Agy mengangguk. "Abang minta tolong ya, kalian jangan jauhin Bita. Jangan biarin dia ngerasa nggak punya temen."
"Kita boleh minta alamatnya nggak, Bang? Siapa tahu, kapan-kapan kita main ke sana."
"Okey, sebentar ya." Agy masuk ke dalam rumah sebentar, tak lama kemudian dia kembali sambil membawa secarik kertas berisikan alamat tempat tinggal baru Bita. "Nih, alamatnya. Kalau ada yang tanya soal Bita sama kalian, Abang harap jangan ada yang kasih tahu ya Bita sekarang lagi di mana."
Keempat remaja itu mengangguk. "Iya, Bang. Janji."
****