Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab. 13

Unit apertemen yang akan mereka tempati itu tidak begitu luas, namun cukup. Kamarnya ada dua, berukuran 4 x 4 meter dengan sebuah jendela geser menghadap ke luar. Sinar matahari menerobos masuk ketika tirai merah marun itu disibak.

Bita termenung, pandangannya lurus ke langit biru. Rasanya... ia sedih. Untuk kali pertama dalam hidupnya, ia tinggal berjauhan dari keluarganya. Belum apa-apa, rindu sudah membuatnya nelangsa.

Bita kemudian menoleh menatap Atha yang sedang mengobrol dengan kedua orangtuanya. Sesekali, mereka melihat ke arahnya, mungkin membicarakan dirinya, entah apa.

"Papa akan tetap biayai sekolah kamu dan uang makan kalian. Tapi, Papa nggak akan lagi ngasih kamu uang jajan seperti dulu. Kalau kamu mau uang, kamu harus kerja. Kamu sudah jadi kepala rumah tangga sekarang, setidaknya cobalah untuk bekerja biar kamu tahu gimana susahnya cari uang." Adi mulai memberikan Atha nasihat.

Sera melirik Atha yang hanya mengangguk pasrah.

"Papa ini gimana sih? Atha itu kan masih sekolah, masa disuruh cari kerja. Mana ada kerjaan buat anak sekolahan!"

"Ya kerja apa, kek. Jadi tukang parkir, jadi pelayan cafe, jadi tukang ojek. Banyak kerjaan asal dia mau kerja."

"Ya ampun, Pa. Kalau kita punya uang, apa salahnya kita bantu Atha? Atha ini anak laki-laki kita satu-satunya loh, Pa! Kecuali, kalau kita orang susah. Tapi, kini ini kan berkecukupan. Jadi, ya udahlah, perlakukan Atha seperti biasanya," ucap Sera, tak terima Atha diperlakukan tidak adil oleh ayahnya sendiri. Mereka punya banyak uang, kenapa juga Atha harus bekerja dengan orang lain kalau orangtuanya saja bisa memberikan apapun yang dia minta.

Adi mendengus malas. "Ya sudah terserah Mama. Manjakan aja terus dia!"

Adi lalu mendekati Bita yang sedang mengeluarkan barang-barang dari dalam kopernya.

"Bita...."

Bita menoleh dan tersenyum. "Papa...."

"Gimana? Kamu suka di sini?"

Bita tersenyum lagi. "Suka, Pa."

Adi tampak terdiam sejenak seraya matanya menatap bangunan-bangunan lain yang tampak kecil jika dilihat dari tempat mereka berdiri saat ini. Dan Bita mulai menerka-nerka, apa yang sedang dipikirkan oleh beliau.

"Sebuah masalah itu ibarat badai di tengah laut, Nak. Kalau kamu tidak berpegangan kuat pada kapalmu, maka mungkin kamu akan tenggelam sampai ke dasar laut yang paling dalam. Tapi, kalau kamu mampu bertahan, percayalah, langit cerah akan ada setelah badai itu pergi."

Bita tertegun, mencoba memahami apa yang dikatakan pria paruh baya itu.

"Semua akan indah pada waktunya. Papa yakin, kalian bisa melewati masalah ini. Banyak-banyak berdoa, meminta ampun sama Allah. Papa yakin, kamu kuat dengan ujian ini." Adi tersenyum hangat sehingga Bita merasa sedikit lega. Sejak di perjalanan tadi, rasa-rasanya dadanya begitu sesak. Dia membutuhkan seseorang untuk memberikannya semangat, dan sekarang dia sudah mendapatkannya.

"Makasih, Pa. Maaf kalau Bita merepotkan Mama dan Papa."

Adi mengelus puncak kepala Bita. "Kamu sudah Papa anggap seperti anak sendiri. Papa nggak merasa direpotkan."

Di sisi lain, Sera terlihat berbicara serius dengan Atha. Mereka duduk di sofa ruang tamu, sehingga pembicaraan mereka tidak menembus sampai ke dalam kamar.

"Mama akan transfer uang ke kamu. Kalau perlu apa-apa, kamu telpon Mama."

"Iya, Ma. Makasih."

Sera mengembuskan napas panjang, kemudian berbicara lagi. "Mama sebenarnya nggak mau kamu nikah, apalagi sama Bita. Mama yakin, nanti dia pasti ngerepotin kamu. Tapi, ya udah, gimana lagi? Kamu sih, pake acara ngehamilin anak orang!"

"Iya, Atha salah, Ma. Maaf."

"Mama masih pengen kamu sekolah yang bener, terus kuliah di luar negeri. Pokoknya, kalau kamu udah tamat SMA, kamu Mama kirim ke Australia, tinggal di sana, kuliah di sana. Kalau perlu, nggak usah balik-balik lagi ke Indonesia."

"Terus, Bita gimana dong, Ma?"

"Memangnya kamu udah betulan siap jadi bapak-bapak? Ngurus anak dan istri? Itu nggak gampang, Tha! Udahlah, urusan Bita biar besok-besok kita bicarakan lagi. Yang penting, sekarang ini kamu harus menerima hukuman atas perbutan kamu! Sampai anak kalian lahir, kamu harus terus sama Bita. Setelah itu, biarin orangtuanya yang mengurusnya."

"Mama nggak sayang, ya, sama Bita?"

Sera tidak langsung menjawab. Entah kenapa, sejak sering melihat kedekatan Atha dan Bita, Sera mulai merasa tak suka dengannya. Sera berpikir, Atha seharusnya mendapatkan seseorang yang jauh lebih cantik dan pintar, juga lahir dari keluarga yang lebih berada dibandingkan dengan Bita.

"Udahlah, pokoknya kamu dengerin aja kata Mama. Lagian, Mama yakin kalau sebentar lagi kamu juga nggak bakal tahan hidup kayak gini. Kamu masih terlalu muda untuk jadi kepala rumah tangga."

Atha tidak merespon, ia hanya diam sambil memikirkan apa yang baru saja dikatakan oleh ibunya.

***

"Pa, Mama mau ngomong sebentar sama Bita." Sera masuk ke dalam kamar, menghampiri Bita yang duduk di tepi ranjang.

Adi mengangguk dan beranjak. Sepeninggalnya, Sera langsung to the point mengutarakan maksudnya.

"Kamu tahu, Bita, jadi istri dan seorang ibu itu nggak gampang. Apalagi di usia kamu yang masih muda ini. Mama harap, kamu jangan terlalu merepotkan Atha. Karena, kan, Atha tetap harus fokus ke pendidikannya."

Bita mengangguk paham. "Iya, Ma."

"Kamu juga jangan baper-an kalau misalkan Atha bikin salah. Biasanya tuh ya kalau orang hamil kan bawaannya manja, apa-apa harus diturutin. Kamu jangan gitu."

"Iya, Ma, Bita ngerti."

"Kamu juga harus masak di rumah, beres-beres rumah, dan jangan boros. Jangan ke mana-mana kalau nggak penting-penting amat. Ingat ya, teman-teman sekolah Atha yang baru nggak boleh tahu kalau dia udah menikah. Kamu juga jangan pergi-pergi bareng dia, nanti malah ada yang lihat. Soalnya, lama-kelamaan perutmu itu makin besar, udah nggak bisa disembunyikan lagi."

Bita menarik napas, mengembuskannya perlahan. "Iya, Ma. Bita akan lakukan apa yang Mama bilang."

"Bagus kalau gitu. Ya sudah, Mama pamit pulang dulu. Kamu jaga makan, ya. Jangan makan sembarangan. Jaga kesehatan juga."

"Iya, Ma."

Sera mengangguk dan berlalu. Sejenak, Bita termangu. Ia merasa Sera tidak sungguh-sungguh peduli padanya. Mungkin, ia marah pada Bita dan keadaan ini. Tak apa, Bita mengerti dan memakluminya, meskipun ia merasa sedih karena sebenarnya ia menginginkan seseorang seperti ibunya ada di pihaknya, mendukungnya sepenuh hati. Namun kenyataan menjadi lebih menyakitkan ketika ia tahu, kedua ibunya itu justru tidak ada di sisinya.

***

Ketika malam tiba dan Bita hendak terlelap, dia merasakan Atha naik ke atas ranjang lalu mencium pipinya.

"Kamu pasti capek banget seharian beres-beres," ucap Atha penuh perhatian. Bita tidur membelakanginya ketika ia sedang berbicara.

Bita mengangguk. "Tha, apa kita akan bertahan?"

"Maksudnya?"

"Apa kamu bahagia?"

Atha menggigit bibirnya. "Aku sayang kamu. Aku bahagia karena sekarang kita bisa sama-sama."

"Apa kita akan selamanya begini, Tha? Apa kita akan terus bersama sampai tua nanti?"

"Kenapa kamu ngomong kayak gitu?"

"Kita masih tujuh belas tahun. Kita masih terlalu muda untuk menikah. Kalau nanti di tengah jalan kamu ninggalin aku, gimana?"

"Aku nggak akan ninggalin kamu."

Bita tidak tahu harus percaya atau tidak. Namun, ia merasa sedikit tenang mendengarnya.

"Kamu besok udah mulai sekolah, ya? Di mana?"

"Mama masukin aku ke sekolah Swasta. SMK Harapan."

"Oh." Bita mengangguk-angguk. "Kamu... belajar yang rajin, ya. Jangan nakal di sekolah."

Atha tersenyum. "Iya, Sayang."

Bita meneteskan air mata tanpa Atha ketahui. Ia juga masih ingin sekolah, mengejar cita-cita seperti teman-temannya yang lain. Sekarang Bita betul-betul merasa disiksa oleh rasa penyesalannya. Seandainya, waktu bisa terulang kembali....

****

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel