Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 6

6. Di bawah hujan

Malam itu hujan. Tidak ada petir memang, namun anginnya cukup kencang. Tadinya, keduanya ingin menembus hujan, namun tak jadi lantaran tahu-tahu hujan turun semakin deras, sehingga mau tak mau, mereka harus menunggu hujan reda. Padahal, jam sudah menunjukkan pukul sembilan lewat lima belas menit. Bagi Atha, itu sudah sangat terlambat untuk mengantar Bita pulang.

"Gimana, nih? Hujannya makin deras!" seru Atha di telinga Bita.

Gadis itu menoleh padanya dan terkesiap karena bibir Atha justru mencium pipinya tanpa disengaja.

Salah tingkah, Bita menjawab, "Ya, ya udah nggak apa-apa, kita tunggu sebentar lagi."

Atha tersenyum, lalu meraih bahu Bita dan merangkulnya. "Kamu dingin, nggak?"

"Enggak, kok. Aku malah suka hujan, hehehe. Kamu cium aromanya nggak?" Bita menarik napas dalam, membaui hujan yang turun membasahi tanah kering di sekitar mereka. "Ini namanya petrichor."

"Oh."

Atha lalu meraih jemari Bita dan menggenggamnya. Mengetahui hal itu, tentu saja membuat Bita malu, karena di sana bukan hanya ada mereka, tapi ada banyak orang yang juga menunggu hujan reda. Namun, Atha tampaknya santai saja menggenggam tangan Bita di depan umum. Tapi, alih-alih merasa malu, ada sebersit rasa senang di hatinya. Atha punya wajah tampan, tubuh tinggi, dan fashionable. Jadi, saat bersama Atha seperti sekarang ini, membuat Bita merasa sedikit bangga karena memilikinya.

Lihat bagaimana cara cewek-cewek yang satu bioskop tadi dengannya menatap Atha. Mereka terus mengamatinya secara diam-diam sambil tersipu malu.

"Udah agak reda. Pulang sekarang, yuk?" kata Atha menunjuk hujan yang mulai reda.

Bita mengangguk. "Ya udah, yuk!"

Atha menarik tangan Bita dan membawanya berlari di tengah gerimis. Setibanya di dekat motornya, segera Atha melepaskan jaketnya lalu menutupi kepala Bita yang mulai basah karena air hujan.

"Kamu pake aja, aku nggak apa-apa!" tolak Bita. Bita lebih suka hujan-hujanan. Entah kenapa hal itu membuatnya senang.

Atha menggeleng. "Dingin. Buat kamu aja!"

Mau tak mau, Bita membiarkan Atha menutupi kepalanya dengan jaket tersebut, lalu duduk di boncengan, dengan kedua tangan memeluk pinggang Atha. Di tengah perjalanan, hujan turun lagi, namun karena sudah terlanjur basah, mereka memutuskan untuk tetap melanjutkan perjalanan.

Tadinya terasa biasa saja, ketika Bita menaruh tangannya di pinggangnya. Akan tetapi, ketika Bita menyandarkan tubuhnya di punggungnya, Atha merasakan ada badai besar di dalam dirinya. Darahnya berdesir. Jantungnya berdentam-dentam.

Lebih-lebih ketika Bita menaruh dagunya di bahunya. Atha merasakan kehangatan di bawah hujan yang turun deras. Ia menarik jemari Bita dan menggenggamnya. Mungkin Bita hanyalah gadis polos, namun tidak dengan Atha. Ia tahu apa yang dirasakannya sekarang dan apa yang dia inginkan.

Jadi, ketika ia menurunkan Bita di depan pagar rumahnya, ditariknya gadis itu lalu diciumnya.

Sementara itu, Bita hanya terdiam saat Atha tiba-tiba mencium bibirnya. Bahkan, saat Atha menyudahinya, dia masih saja bergeming.

"Masuk, gih!" seru Atha sambil menepuk pelan pipinya dengan senyum manis.

Atha lalu melajukan motornya ke seberang jalan. Setelah melihat Atha memasuki halaman rumahnya, barulah Bita masuk ke rumah dengan hati berbunga-bunga.

Bita mungkin tidak mengira, bahwa adegan tadi disaksikan oleh seseorang di balik tirai jendela rumahnya. Ada seseorang di sana, mengamati mereka dengan tatapan tak suka.

***

Bita tidak bisa menahan dirinya untuk tidak tersenyum. Rasanya sulit dikendalikan. Mengigat momen romantis itu bersama Atha, ciuman pertama, dan keduanya. Bita tidak pernah tahu bahwa cinta akan membuatnya lupa daratan. Ia seolah-olah berada di langit, bersama bulan dan bintang. Tidak ada yang dia inginkan, selain hanya bersama Atha.

Oh, jatuh cinta, berjuta rasanya.

"Bit?" Suara itu menariknya ke alam sadar.

Agy, kakak laki-lakinya itu sudah berdiri di ambang pintu kamarnya.

"Eh, iya, kenapa?" tanya Bita dengan satu alis terangkat.

Agy masuk lalu menutup pintu. Berjalan mendekati Bita yang duduk di ranjangnya.

"Abang mau tanya, tapi kamu harus jawab jujur," ucap Agy. Mimik wajahnya serius, dan hal itu tentu saja membuat perasaan Bita tak enak.

"Tanya apa?"

"Kamu pacaran sama Atha, ya?"

Jantungnya langsung berdetak kencang. Bita mendadak diserang gugup.

"E-enggak. Kami cuma temen ...."

"Mana ada temenen pake dicium-cium segala!"

Bita merasa tertohok. Seperti maling yang ketangkap basah, ia hanya bisa diam sambil menunduk malu.

Terdengar Agy mengembuskan napas berat. "Sejak kapan?"

"Baru sebulan," jawab Bita masih dengan kepala tertunduk dalam.

"Abang cuma mau bilang, pacaran boleh, asal jangan mau dipegang-pegang sama cowok. Abang ini, cowok, Bit. Jadi, Abang tau aslinya cowok itu gimana," ucap Agy dengan nada rendah. "Atha itu cuma mau manfaatin kamu."

Barulah Bita mendongak, menatap wajah Agy. "Manfaatin aku gimana? Atha itu baik. Kan, Abang tau ... kalau selama ini, Atha itu nggak pernah jahatin aku. Abang juga udah kenal Atha sejak kecil, kan ...."

Bita tidak suka ada orang yang menjelek-jelekkan Atha, sekalipun itu saudaranya sendiri.

"Atha itu sama aja kayak cowok-cowok lain. Punya pacar cuma buat dimain-mainin doang. Nanti, setelah dia bosan sama kamu, pasti dia juga bakal ninggalin kamu."

"Atha itu nggak kayak gitu!"

Agy mendengkus kasar. "Pokoknya, kalau dia ngapa-ngapain kamu, jangan mau! Atha itu playboy. Dia cuma penasaran sama kamu. Nanti setelah dia udah nggak penasaran lagi, lihat aja kamu pasti juga diputusin sama dia."

Gantian Bita yang mendengkus kasar. "Apa sih, Bang! Yang playboy itu bukannya Abang? Nggak usah jelek-jelekin Atha deh."

"Kok kamu dibilangin ngeyel, sih? Atha itu bukan cowok baik-baik! Kamu jangan bego jadi cewek!"

Mendengar nada bicara kakaknya itu naik satu oktaf lebih tinggi, tak urung membuat Bita merasa terpojok. Dia akhirnya mengalah dengan tidak memberikan respons. Segera dia merangkak ke ujung kasur dan merebahkan tubuhnya di sana.

Sadar karena perkataannya menyakiti adiknya, Agy mendecakkan lidah, merasa bersalah. "Pokoknya, Abang minta sama kamu, jangan kasih apa pun yang dia minta. Seperti cium atau apalah itu. Abang sayang sama kamu, Abang nggak mau kamu jadi buruk gara-gara dia."

Setelah mengatakan itu, Agy pun beranjak keluar kamar, meninggalkan Bita yang beberapa saat kemudian menangis terisak-isak.

Atha bukan cowok kayak gitu. Dia cowok baik.

Dan Bita yakin, Atha tidak akan pernah melewati batas.

***

"Besok Mama sama Papa mau pergi ke Bandung, ya," celetuk Amira pada pagi harinya di meja makan.

"Mau ngapain, Ma?" tanya Agy.

"Itu, Tante Sera ngajakin ke kondangan keponakannya."

Tante Sera adalah ibunya Atha, hal itu tentu saja menarik perhatian Bita.

"Aku ikut, ya?" seru Bita yang kemudian mendapat tatapan dari Agy.

Amira menggeleng. "Ngapain? Besok, kan, harus sekolah. Orang Atha juga nggak ikut kok. Hani juga tinggal."

Hani adalah adik perempuan Atha yang sekarang duduk di bangku SMP.

"Oh, kirain mereka pergi satu keluarga," cicit Bita.

"Enggak. Oh, iya, kemungkinan sih katanya nginep. Nggak apa-apa, kan?"

"Khansa ikut, nggak?"

"Ikut. Jadi, yang tinggal di rumah kamu sama Abang aja."

"Oh, oke."

"Eh, gendut," Agy menoleh menatap Khansa yang sedang enak-enaknya menyantap nasinya, "jangan nakal, ya, di sana!"

Khansa mengangguk. "Aku nggak nakal, kok. Abang yang nggak boleh nakal, tauk. Kalau pulang jangan malem-malem terus dong. Malem itu waktunya belajar, biar pinter kayak Khansa."

Agy terkikik geli. "Hehehe, kamu bisa aja."

"Bener tuh yang dibilang adik kamu. Jangan sering pulang malemlah. Lagian, ngapain sih pulang tengah malem melulu? Kamu jangan-jangan ikut balap liar, ya?"

"Ya ampun, Mamaku sayang. Aku kan udah bilang, kalau malam itu band-ku tampil di cafe. Jadi, ya udah, pulangnya malam kalau cafenya udah tutup," ujar Agy, menyebut profesi lainnya sebagai anak band.

"Anak band gitu loh, Ma," kata Khansa yang mendapatkan jempol dari Agy.

"Terserah kamulah, asal jangan coba makai kamu, ya!"

"Ya enggaklah! Aku masih bersih, tau."

Amira percaya. Ia percaya dengan semua anak-anaknya. Ia yakin pendidikan yang diberikannya sejak kecil melekat kuat di dalam diri mereka.

"Kamu jangan keluyuran ya, Bita, kalau mama nggak ada di rumah."

Bita mengangguk patuh. "Iya."

***

"Ih, si anjir, nggak tau malu! Merah-merah gitu bukannya ditutupin!"

Saat menghampiri Adila dan Bunga, Bita sudah mendengar pembicaraan mereka.

"Merah-merah kenapa?" tanya Bita.

"Itu lihat tuh! Nggak tau malu banget, kan?" Adila menunjuk leher Bunga yang terdapat beberapa bercak merah.

Melihat itu, kontan saja membuat Bita memelotot. "Ya ampun, Bunga! Leher lo kenapa? Digigit apa kok bisa merah-merah gitu? Sakit nggak?"

Pertanyaan polos itu tentu membuat Adila dan Bunga tertawa terbahak-bahak.

"Kenapa? Kok ketawa sih?"

"Ya, lo nanyanya gitu, bikin orang ketawa aja, hahaha."

Bunga menggelengkan kepalanya tak habis pikir. "Bita ... Bita. Lo itu beneran polos atau gimana, sih? Masa yang kayak ginian nggak tau?"

Alis Bita terangkat. "Maksudnya?"

Adila lalu membisikkan sesuatu ke telinganya. Beberapa saat kemudian tampak rona merah menjalar ke seluruh wajahnya.

"Astagaaaa!" Bita meringis geli. "Apaan, sih, Dil, geli dengarnya."

"Enak, tau, hahaha. Coba aja."

Bita menggeleng berkali-kali. "Enggak, ah."

Bunga menatap Adila yang juga menatapnya, lalu mereka menunjukkan seulas senyum penuh arti.

***

"Besok mama sama papa pergi ke Bandung. Katanya, om sama tante juga ikut, ya?"

"Iya, kamu kok nggak ikut?"

"Males. Oh, ya, pulang sekolah besok ke rumah, ya?"

"Ngapain?"

Atha menggenggam tangannya. "Main doang."

"Tapi, kalo sore ada Bang Agy di rumah ...."

Atha mengerutkan keningnya. Sebenarnya, sejak tadi pagi, ada yang menggangu pikirannya perihal Agy. Tadi, saat berpapasan dengan cowok itu di jalan, Agy seperti menatapnya dengan pandangan malas. Saat Atha menyapanya pun, dia menyahut singkat, tidak seperti biasanya.

"Bang Agy kemarin lihat kita ... yang pas hujan-hujan itu," tambah Bita, yang pada akhirnya menjawab pertanyaan Atha barusan.

"Oh, terus dia bilang apa?"

"Kamu playboy."

"Hahaha."

"Emang bener, kan?"

"Iya, dulu, sebelum sama kamu. Sekarang, enggak lagi."

"Bener?"

"Bener! Janji!" Atha mengangkat satu jarinya tanda dirinya berjanji.

"Bagus kalo gitu, hehehe."

"Eh, tapi kalau malam, bisa dong?" tanya Atha, menyambung pembicaraan sebelumnya.

"Bisa. Soalnya, Bang Agy kan ke cafe, buat manggung. Pulangnya bisa sampe tengah malem."

Atha mengangguk-angguk. "Okey, besok malem ke rumah, ya?"

Bita ikut menganggukkan kepalanya. "Okey," jawabnya riang.

****

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel