Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab. 5

Sekitar jam tujuh malam, Bita tiba di rumah. Adila dan Bunga juga ikut bersamanya. Ketika pintu rumahnya dibuka dari dalam, tatapan penuh tanya langsung dilemparkan sang ibu kepadanya. Hal itu tentu saja membuat jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya.

"Kok, baru pulang?"

Bita tersenyum, berusaha mengenyahkan rasa gugupnya. "Iya, Ma. Tadi ke rumah Bunga sebentar."

"Ngapain?"

"Main doang, Tante." Bunga menjawab sambil matanya menatap ponselnya.

Amira menatapnya sejenak, seperti sedang menilai, kemudian kembali menoleh pada Bita. "Kalau mau main itu, bilang dulu sama Mama. Mama udah nelpon kamu loh tadi, tapi nggak aktif-aktif. Ke mana Hp kamu?"

"Itu, Ma, tadi HP Bita habis baterai. Jadi, nggak bisa ngabarin."

Bita langsung meminta maaf dalam hati. Sesungguhnya, baterai ponselnya masih tersisa lebih dari 50%. Namun, Bita sengaja menonaktifkan HP-nya, agar mamanya tidak bisa menghubunginya dan memintanya untuk lekas pulang, lantaran saat itu, ia masih ingin bersama Atha dan teman-temannya. Jarang-jarang Bita bisa berkumpul seperti tadi. Boro-boro mau nongkrong di luar jam sekolah, ke minimarket aja kadang harus bareng mamanya.

Amira mengembuskan napas pendek. "Kan kamu bisa pinjam Hp temen-temen kamu buat ngabarin Mama."

"Bita nggak inget nomornya, Ma."

"Kita nggak ke mana-mana kok, Tante. Habis pulang sekolah, kami di rumah aja." Adila menimpali meskipun tak sepenuhnya jujur.

Amira melirik kedua remaja berpakaian minim di hadapannya, kemudian matanya melirik Bita sesaat.

Namun, Bita tahu apa arti pandangan itu dan ia langsung menarik kedua temannya itu berjalan menuju kamarnya.

Samar-samar, Amira bisa mendengar pembicaraan mereka setelah masuk ke dalam kamar.

"Bit, nyokap lo over protektif banget, ya, sama lo?" tanya Bunga, dia tidak tahu jika saat itu ibunya Bita sedang mendengarnya dari balik pintu kamar yang terbuka sedikit.

"Iya, Mama emang suka gitu."

"Terus lo nggak risi gitu? Nyokap gue aja nggak pernah tuh nanya-nanya gue kayak tadi. Kita, kan, udah gede, Bit, lucu aja gitu kalau apa-apa harus dikabarin dulu."

"Ya wajarlah, Bunga. Kan, Bita itu emang anak rumahan. Nggak kayak kita, yang sukanya ke sana-kemari," tukas Adila lalu merebahkan tubuhnya di atas kasur. "Sekalinya Bita keluyuran, ya jelas ditanyainlah!"

"Nggak asik hidup lo, Bit. Masa remaja itu ya harus dinikmatilah. Kapan lagi coba? Kan, nggak bakalan terulang dua kali. Emang enak apa hidup dikekang gitu? Kalo nyokap gue sih bebas-bebas aja gue mau ngapain."

Bita mengerjapkan matanya. "Dikekang dan dilindungi itu sama nggak, sih?"

Bunga mengangkat bahu tak acuh. "Kita kan udah gede, bisa membedakan mana yang baik dan buruk. Lagian, heran deh, masa lo ke mana-mana tuh kayak nggak dibolehin gitu, ya. Inget nggak pas gue ngajakin lo nonton? Lo nggak ikut gara-gara nggak dikasih ijin kan sama nyokap lo?"

"Iya sih itu parah banget nyokap lo masa nonton doang nggak dikasih ijin."

Amira menarik napas panjang, mengembuskannya perlahan, lalu membalikkan badannya, beranjak dari muka pintu. Cukup sudah ia mengenali karakter kedua remaja itu. Ia akan memastikan pada Bita kalau hari ini adalah hari pertama dan terakhir ia mengajak teman-temannya itu ke rumah.

Amira tidak suka. Ia tidak mau Bita menjadi seperti mereka.

****

"Itu temen-temen baru kamu?" tanya Amira, selang beberapa saat setelah Adila dan Bunga pulang.

Malam itu pukul sepuluh lewat dua puluh menit.

"Iya, Ma."

"Baru pulang jam segini? Emang nggak dicariin orangtuanya?" Amira melirik jam dinding sekali lagi.

"Nggak. Udah biasa sih katanya."

Amira mengangguk paham. "Mama nggak suka deh lihatnya. Kamu kok bisa sih, berteman sama mereka?"

Bita nggak mungkin cerita detailnya. Jadi, dia hanya bercerita secukupnya saja. Menurutnya, sih, pertanyaan itu juga nggak penting-penting amat. Maklum saja, mamanya, kan, memang begitu. Apa-apa selalu ditanya. Hal kecil aja bisa jadi besar kalau ia mau.

"Mereka baik kok, Ma."

"Itu pakaiannya juga pada terbuka gitu. Emangnya nggak dibilangin orangtuanya apa?"

Tuh, kan? Segala pakaian aja diurusin.

"Itu namanya style, Ma. Mama gimana, sih, kayak nggak pernah muda aja."

"Justru masa mudanya Mama itu nggak ada yang kayak gitu. Kamu lihat aja pahanya diumbar-umbar gitu. Nanti, kalau ada orang jahat gimana? Dilecehkan, gimana? Bajunya juga pada ketat gitu ... seksi-seksi banget temen kamu."

Nah, ini nih, yang Bita nggak suka. Khotbah panjang mamanya yang nggak tahu berakhir kapan.

"Kan, biar kelihatan cantik, Ma."

"Eh, kamu jangan coba-coba ikutin gaya mereka, ya! Mama nggak suka loh! Cantik itu nggak harus berpakaian seksi. Terus, nggak ada sopannya lagi masuk rumah orang nggak ngucap salam, pulangnya juga main nyelonong aja!"

Bita tak berkomentar, terlalu malas berdebat.

"Mama udah lama nggak lihat Putri sama yang lain. Kamu masih berteman sama mereka, kan?"

"Masih." Bita rasa itu jawaban paling tepat untuk situasi ini.

"Terus, kok nggak pernah main ke sini lagi mereka?"

Amira ingat sekali dengan keempat teman Bita. Putri, Cia, Fani, dan Lista. Dahulu saat masih duduk di bangku SMP, setiap ke rumah, mereka akan datang bersama-sama sambil membawa buku pelajaran dan beberapa camilan kering yang akan mereka makan sambil belajar di kamar Bita. Lalu, Amira akan mendengar mereka tertawa-tawa entah membicarakan apa.

Jadwal pertemuan mereka biasanya hari Sabtu sore hingga menjelang malam, sekitar jam delapan. Putri, Fani, dan Cia akan menumpang shalat ketika waktunya tiba. Sementara Lista, yang beda keyakinan, akan menunggu di kamar sambil merapikan beberapa barang di kamar Bita yang berantakan. Kadangkala, mereka akan makan malam bersama dan bersenda gurau di meja makan.

Amira suka dengan tutur kata mereka, penuh sopan dan santun. Pun cara mereka berpakaian. Cara mereka masuk dan keluar rumah. Mereka semua anak baik-baik.

Akan tetapi, belakangan ini, tepatnya beberapa bulan ini, ia tidak pernah lagi melihat keempat anak itu datang ke rumah. Entah kenapa. Bita sepertinya juga enggan membicarakannya.

"Nggak tau."

"Loh, gimana, sih? Katanya temen, tapi kok nggak tau? Kamu lagi berantem sama mereka?"

Bita mengedikkan bahu tak acuh. "Udah, ah, Ma, Bita lagi nggak mau bahas mereka."

"Kok, gitu? Memangnya, ada masalah apa kamu sama mereka? Udah berapa bulan ini, Mama nggak pernah lihat kamu main bareng mereka lagi..."

Bita memejamkan matanya sejenak, berusaha menahan gejolak dalam dadanya. Dia lagi kesal banget sama Putri dan yang lain.

"Nggak apa-apa kok. Bita ke kamar, ya, Ma. Mau bobo," pamitnya lantas beranjak, meninggalkan Mamanya yang menatapnya penuh tanya.

****

"Lagi ngapain?" Suara Atha langsung terdengar begitu Bita mengangkat panggilan yang masuk ke ponselnya.

Rupanya, Atha sudah berkali-kali mencoba menelepon, namun tidak diangkat lantaran tadi Bita harus disidang dulu oleh mamanya.

"Ini mau bobo. Kamu ngapain?"

"Lagi di balkon."

"Aku, kan, nanya lagi ngapain, bukan lagi di mana?"

"Biar kamu keluar. Kangen."

Bita tersenyum, lantas turun dari tempat tidur dan berjalan menuju balkon kamarnya. Di seberang sana, tampak Atha sedang melambaikan tangan singkat ke arahnya.

Darah Bita berdesir ketika tiba-tiba mengingat momen tadi sore di dalam kamar kecil di rumah Adila. Momen saat Atha menciumnya.

"Kangen nggak?" seru Atha lagi.

"Kangen nggak, ya?"

"Ya udah kalo enggak."

"Kangen, tauk."

"Besok nonton, gimana?"

"Okey! Mau banget, hehehe."

"Ya udah kalo gitu, bobo, gih. Besok kita sambung lagi."

Bita mengangguk. "Iya. Kamu juga bobo, terus jangan lupa mimpiin aku, ya? Hihihi."

"Iya, Sayang."

Bita tak kuasa menahan dirinya untuk tidak melompat kegirangan. Namun, hal itu dilakukannya setelah masuk ke kamar.

Bita tidak tahu seperti apa persisnya. Yang dirinya tahu saat ini, jatuh cinta itu berjuta rasanya. Meskipun sejak berpacaran dengan Atha hubungan mereka terasa canggung, Bita yakin ke depannya akan menjadi biasa-biasa saja.

****

"Nonton?" Amira menatap Atha dengan kening berkerut samar, sementara Atha langsung mengangguk sembari tersenyum lebar.

"Iya, Tante."

Amira teringat perihal celetukan Kansa tempo hari, juga bagaimana kedekatan Atha dan Bita di atas motor. Ia sedikit ragu. Padahal, biasanya, jika dengan Atha, ia akan membiarkan Bita pergi. Namun, hari ini ...

"Ma, aku pergi nonton, ya, sama Atha!" ucap Bita yang baru keluar dari kamarnya.

Amira mengamati penampilannya. Tidak biasanya Bita mau bepergian dengan Atha memakai baju bagus dan rapi. Hari ini, gadis itu terlihat sangat cantik dan menarik. Dahulu, ketika hendak pergi dengan Atha, kaus oblong dan celana jins yang lusuh pun tak apa. Rambut berantakan juga tak masalah. Tanpa bedak pun biarlah. Akan tetapi, hari ini ...

"Jangan pulang malam-malam, ya." Namun ia tak bisa menyuarakan penolakannya.

Rasa percaya itu masih ada. Dan, mungkin, tak masalah jika memberikan Bita sedikit kebebasan. Lagipula, Atha adalah temannya sejak kecil. Tidak mungkin juga Atha melakukan hal yang bukan-bukan terhadapnya.

"Oke, Ma!" sahut Bita riang.

"Pergi dulu, ya, Tante," pamit Atha sambil mencium punggung tangannya.

Tidak ada masalah dengan Atha. Atha anak yang sopan, dia tahu itu.

"Iya, Tha. Hati-hati di jalan, jangan ngebut!"

"Siap, Tante, hehehe."

Kemudian dua punggung itu berjalan menjauh, namun Amira masih bisa mendengar perkataan Atha yang membuat anak gadisnya itu tersenyum malu-malu.

"Kamu cantik banget."

****

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel