Bab 7
Ketujuh
"Jika Rheana menyukai Sagara maka semuanya akan berakhir bahkan saat Sagara belum benar-benar menyelesaikan tugasnya."
—Naraka—
"Apa lo liat-liat!" bentak Rhea saat Sagar terus saja melihatnya dari seberang meja.
Sagar mengerjap kemudian menggelengkan kepala. Matanya melihat Rhea dan makanan yang dipesannya secara bergantian. Apa cewek itu beneran sanggup menghabiskan dua porsi makanannya? Namun melihat cara makan Rhea yang terburu-buru membuat Sagar sedikit khawatir, bagaimana jika nanti perut Rhea kembung terus masuk rumah sakit?
"Pelan-pelan makannya, nanti keselek."
Rhea tidak mengindahkan perkataan Sagar dan terus memakan nasi padangnya secara buru-buru, yang ada di dalam otaknya adalah dia harus segera menghabiskan makanannya agar dia bisa terhindar dari cowok sinting bernama Sagar. Dilihatnya cowok itu yang hanya memesan nasi sama sayur sup. Apa Sagar bakalan kenyang dengan makanan itu?
"Lo beneran cuma makan itu ajha?" Tunjuk Rhea ke piring Sagar.
Sagar melihat isi piringnya sendiri. "Iya, kenapa emangnya?" Suaranya terdengar sedikit gugup.
Rhea hanya mengangkat bahunya. "Ini pertama kalinya gue liat cowok diet."
Sagar diam menutup mulutnya, dalam benaknya berkecamuk, mengira-ngira sekiranya apa yang harus dilakukannya demi menyembunyikan kekurangannya di depan Rhea.
Selesai makan, Sagar mengajak Rhea ke kafe yang sering dikunjunginya setiap minggu. Cewek itu sedikit kebingungan, untuk apa Sagar membawanya ke kafe? Bukankah tadi mereka sudah makan? Atau Sagar sudah sadar kalau makanan yang dimakannya tadi tidak cukup mengeyangkan perutnya.
Sagar menggeleng. "Bukan," sangkalnya. "Kita nggak bakal makan di sana. Kita cuma numpang belajar aja."
"Hah!"
Cowok itu nyengir lebar. "Ayolah! Makanan di kafe sedikit mahal porsinya juga agak kecil, jadi buat menghemat uang saku. Kita makan di warung padang kalau minumnya di kafe sekalian nongkrong."
Sontak saja Rhea menabok kepala Sagar gemas. "Ya ampun, jadi cowok kok pecicilan banget."
"Bukan pecicilan, tapi kita itu harus menerapkan hidup hemat biar hidup kita aman sentosa."
"Hemat pala lu peang," kata Rhea kesal, benar-benar Sagar ini. Bukan hanya sinting atau menyebalkan ternyata cowok itu pecicilan banget. Ampuun dah Rhea tidak tahu dosa apa yang diperbuatnya sehingga bertemu dengan Sagar.
Sagar menarik tangan Rhea masuk ke dalam kafe yang di depannya terpampang nama kafe tersebut 'Seven Cafe'. Sesaat Rhea mengernyit bingung namun ikut juga masuk ke dalam dan duduk di salah satu kursi kosong.
"Lo mau ke mana?" tanyanya saat melihat Sagar hendak pergi.
Sagar nyengir lebar. "Aku mau ke depan pesen minum dulu. Kenapa? Kamu kangen ya sama aku."
Rhea hanya menggertakan giginya, tidak ambil pusing dengan tingkah tengilnya Sagar.
"Jangan ngambek dong, kamu mau minum apa? Biar aku pesenin."
"Terserah," balasnya acuh tak acuh.
Sagar pamit pergi ke depan dan Rhea langsung mengumpati tingkah sintingnya Sagar yang di luar batas. Bahkan selama dia kenal dekat dengan cowok pun tidak pernah sampai sejengkel ini, karena memang sikap mereka tidak sesinting Sagar. Sampai kemudian mulut Rhea tertutup rapat ketika telinganya mendengar suara dentingan piano.
Sontak Rhea mencari sumber suara tersebut sampai kemudian dia melihat seorang wanita tengah memainkan piano di atas panggung kecil yang disediakan oleh kafe. Dalam hati Rhea menilai pasti wanita itu seorang pianis profesional dilihat dari gerakan serta nadanya yang bagus.
"Gue juga pengen kayak gitu," gumamnya. Teringat saat Mamanya mengajarinya bermain piano dan menginginkannya untuk jadi seorang pianis.
"Hei, kamu oke 'kan?" kata Sagar mengejutkan Rhea yang tidak sadar kalau cowok itu sudah kembali dari beberapa menit yang lalu.
Cewek itu terkejut, kepalanya menggeleng lalu sedetik kemudian mengangguk. "Eh, iya emang kenapa?"
Sagar diam sesaat lalu memberikan milkshakenya pada Rhea. "Nggak, kamu keliatan bingung aja tadi."
Rhea menarik napas panjang, matanya kembali melihat wanita itu yang masih asik memainkan lagu dengan pianonya tanpa disadarinya Sagar ikut melihat apa yang sedang dilihat Rhea. Sesaat dia menyipitkan matanya. Piano? Lalu muncul sebuah ide sampai-sampai Sagar tidak sadar kalau bibirnya melengkung miring.
"Yaelah, malah bengong lagi. Rheana Salsabila! Kita ke sini buat belajar bukan nonton konser."
Rhea mendelik kesal, ingin rasanya dia menumpahkan strawberry milkshakenya ke wajah Sagar biar otaknya lebih segar dikit. "Gue nggak bawa buku," sergahnya.
Sagar tersenyum lebar kemudian mengambil beberapa buku paket serta buku catatan dari dalam tasnya kemudian menyimpannya di hadapan Rhea yang kini tengah melongo kaget. Dari mana Sagar mendapatkan semua buku itu, buku catatan siapa lagi yang dicurinya. Setahunya Sagar anak IPA bukan IPS.
"Segitunya ya lo pengen gue perbaiki nilai sampai-sampai nyuri buku catatan orang lain."
Sagar melongo, bisa-bisanya Rhea menuduhnya mencuri. "Ya ampun, Rhe. Gitu banget sih sama pacar kamu sendiri sampai-sampai dikatain pencuri."
"Ishh, sebodoh-bodohnya gue. Gue pasti sadar kalau ini bukan buku catatan lo, lo 'kan anal IPA. Ini catatan milik anak IPS."
Sagar nyengir lebar. "Aku nggak nyuri cuma minjem aja."
Rhea memutar bola matanya, ampun dah.
"Enaknya kita belajar apa dulu. Meski aku ini anak IPA tapi IPA sama IPS nggak jauh beda 'kan? Aku pasti bakalan ngerti semuanya." Sagar memilah-milah buku pelajaran sedangkan Rhea sendiri terus asik melihat wanita itu bermain piano. "Kita belajar dari yang paling susah dulu, ekonomi kayaknya atau matematika."
Sontak Rhea menyemburkan milkshakenya ke wajah Sagar. "No, no, gue nggak mau belajar ekomoni atau matematika. Jangan deh."
Sagar mengelap wajahnya dengan tissue kemudian menatap Rhea datar. "Nggak kita belajar mulai dari pelajaran ekonomi."
Rhea menolak tapi Sagar terus memaksa sampai kemudian cewek itu hilang kesabaran dan membentak Sagar yang mencampuri urusannya. "Hanya karena lo pacar boongan gue bukan berarti lo seenaknya maksa gue."
Sagar masih tetap tenang.
"Apa sih mau lo sebenernya? Perasaan kita nggak ada urusan sama sekali. Gue bahkan nggak kenal lo sampai lo datang ke kelas gue. Lebih baik lo berhenti aja, kalah taruhan sesskali nggak papa."
Sagar tersenyum miring, dia menatap serius Rhea. "Menurut kamu aku sedang taruhan? Sama siapa? Kamu pasti juga pernah denger kalau teman cowokku cuma Nizam, kamu pikir aku taruhan sama dia?!"
Rhea menahan napas kesal. "Terus, alesannya apa?"
Sagar malah bermain-main. "Alesan? Ada banyak. Tapi aku nggak bisa ngasih tau kamu sekarang. Aku cuma ditugasin buat ngerubah kamu jadi lebih baik."
"Siapa yang nyuruh lo? Biar gue—"
"Apa kamu bisa ketemu sama Tuhan?"
Hah, Rhea tertawa dalam hati. Sepertinya Sagar sedang bercanda, tapi melihat wajah serius di wajah Sagar membuat nyalinya sedikit menciut.
"Oke, gue turutin kemauan lo buat berubah. Gue bakal belajar yang rajin dan perbaiki nilai gue, tapi dengan satu syarat ... Kita barter. Lo tau 'kan Feri anak kelas 3-4 IPS. Gue punya sedikit masalah sama dia, lo harus kalahin dia dan perbaiki nama gue."
Sagar mengernyit, Feri? Cowok paling bandel di sekolah? Kalahin Feri? Dia pernah mendengar kalau Feri itu anak geng motor. Ahh, sialan! Dia tidak mungkin balap motor dengan Feri yang jelas-jelas sudah menguasai jalanan dibandingkan dirinya yang tidak tahu apa-apa. Tetapi, ini adalah kesempatan bagus untuk merubah sikap Rhea.
"Oke," sahut Sagar pada akhirnya. "Deal, aku akan coba kalahin Feri dan bersihin nama kamu, meski aku bakal dipukulin sama mereka nanti aku terima resikonya. Tapi ... aku juga punya satu syarat sama kamu."
Rhea mengerutkan keningnya.
Sagar tersenyum. "Sebisa mungkin jangan pernah jatuh cinta padaku. Itu sangat berbahaya bagiku!"
Rhea langsung menabok kepala Sagar, Sagar pikir dia itu bakalan luluh sama cowon sinting kayak Sagar. Mana mungkin! Meski dia itu anak nakal atau bodoh tapi dia juga bisa memilih cowok yang menurutnya pantas buat dijadikan pacar. Sagar 'kan cuma pacar bohongannya.
"Tenang aja gue nggak bakalan jatuh cinta sama lo, yang ada lo bakalan jatuh cinta sama gue."
Sagar terdiam, matanya menatap Rhea yang kini sedang tersenyum lebar. Setelah berdiskusi cukup lama mereka memutuskan untuk pulang ke rumah.
Sepeninggal Rhea dan Sagar, dua lelaki yang duduk di belakang meja Sagar dan Rhea yang ternyata mendengar percakapan mereka saling menatap serta senyum kecil di wajah masing-masing.
"Sagara nggak akan pernah bisa kembali jika dia benar-benar masuk ke dunia Rheana." Noah berkomentar, menatap sepasang mata dengan warna berbeda tersebut.
Naraka mengangkat bahunya, kemudian menyesap espressonya. "Kehidupan mereka akan terbalik. Rheana akan menemukan titik terangnya sedangkan hidup Sagara akan bertambah gelap."
Noah mengangguk setuju, dia benar-benar merasa sedikit aneh ketika berhadapan dengan seseorang yang sangat mirip juga punya nama yang sama seperti mendiang ayahnya. Meski Naraka yang sekarang berusia 19 tahun, tetap saja kesannya terasa aneh.
"Aku penasaran, apa yang terjadi jika Rheana menyukai Sagara?"
Naraka terdiam cukup lama. "Alasan Sagara mendekati Rheana cukup unik, tapi sayangnya cepat atau lambat Sagara akan menyesali keputusannya."
Noah menaikan sebelah alisnya, meski dia bisa membaca pikiran setiap orang tetapi dia tidak pernah bisa mengetahui masa depan seperti Naraka.
"Jika Rheana menyukai Sagara maka semuanya akan berakhir bahkan saat Sagara belum benar-benar menyelesaikan tugasnya." Kepala Naraka meneleng. "Haruskah aku membantu Sagara? Waktuku di sini masih tersisa cukup lama untuk bermain-main."
Noah terkekeh kecil. "Aku tahu pikiranmu. Jangan melakukannya!"
"Tapi aku mau."
***