Bab 8
Kedelapan
"You don't learn to walk by following rules. You learn by doing, and by falling over."
—Richard Branson—
Pagi-pagi ini Rhea dikejutkan dengan kedatangan Sagar yang masuk ke dalam bus secara tiba-tiba. Tersenyum sangat lebar sambil menyapanya dan bilang bahwa harinya sangat cerah karena bisa satu bus dengan Rhea. Dia juga memberikan roti selai cokelat dan susu kotak rasa cokelat dengan alasan kalau dia tahu pagi ini Rhea belum sarapan sama sekali.
Rhea bingung dengan tingkah manis Sagar, kenapa cowok itu jadi aneh begini. Dia lebih suka menghadapi sikap sintingnya Sagar dibandingkan sikap manisnya Sagar yang entah mengapa membuat sedikit merubah pandangan Sagar di matanya.
"Oh iya, gue cuma mau ngasih tau kalau malam ini ada balapan liar. Ini kesempatan lo karena ini bebas nggak masuk ke geng mana-mana."
Sagar mengerjap. "Maksud kamu malam ini aku harus ikut balapan gitu?!"
Rhea mendelik kesal. "Kita udah sepakat 'kan?! Gue perbaiki nilai gue dan lo bersihin nama gue." Masih teringat jelas dalam ingatannya ketika Feri dodol itu mengejeknya di depan semua orang hanya karena dia tidak sengaja menyenggol body motornya.
Cowok itu bahkan membullynya sampai sekarang.
Sagar terdiam cukup lama. "Oke, kasih tau di mana sama jam berapa. Nanti aku datang."
Mata Rhea menyipit curiga, akan sangat sia-sia jika Sagar beneran menantang Feri balapan liar. "Nanti gue kasih tau elo," katanya pada akhirnya. Dalam hati mendesah pasrah, siap-siap saja Sagar kehilangan semuanya. Menang atau tidak menang Feri akan tetap mengganggunya.
Sesaat Rhea terdiam, jika Sagar datang ke sana nanti malam dan seperti yang dikatakannya tadi, menang atau tidak menang Feri akan tetap menganggu Sagar sampai Feri bosan. Bukankah dengan begitu hidup Sagar yang tenang akan hancur seketika dan itu karena dirinya?
Apakah tidak apa jika dia memamfaatkan Sagar demi kepentingan pribadinya? Cowok itu terlalu baik, tapi dia tidak punya pilihan lain lagi.
"Kenapa?" tegur Sagar melihat Rhea yang terus melamun.
Rhea mengerjap bingung. "Eh, apa?"
Sagar menyipitkan matanya. "Kita udah sampai, nggak mau turun?"
Rhea melihat ke celah kaca bus yang ternyata sudah sampai di halte dekat sekolahnya. Tanpa menghiraukan Sagar di sampingnya cewek itu turun dari bus dan berjalan cepat menuju sekolah, berharap pintu gerbangnya belum ditutup.
"Rhea, tunggu!" teriak Sagar memegang bahu Rhea.
Cewek itu menatap Sagar bingung. "Apa?!" sewotnya, risih dengan orang-orang yang memandangnya.
Sagar tersenyum. "Katamu tadi kita sepakat 'kan? Bukankah hari ini kamu ada ujian matematika? Kalau kamu berhasil dapet nilai di atas rata-rata atau pas rata-rata. Aku janji, aku bakal menangin balapan itu dan bersihin nama kamu."
Rhea mencibir. "Kalau gue nggak dapet nilai sempurna!"
"Aku bakal tetap berusaha menangin balapannya dan bersihin nama kamu. Aku janji." Sagar mengacak rambut Rhea sambil tersenyum sangat lebar. "Belajar yang bener. Pulang nanti aku nggak bisa anter kamu, tapi kita bakal ketemu nanti malam. Sana masuk!" katanya mendorong Rhea masuk ke dalam sedangkan Sagar sendiri malah berdiri di depan gerbang.
"Elo nggak masuk?"
Sagar nyengir lebar lalu melambaikan tangannya sambil berjalan mundur. "Hari ini aku mau bolos dulu, jangan bilang-bilang sama bu Dinar ya!"
Rhea menaikan sebelah alisnya, dia berpikir Sagar benar-benar sudah gila. Kalau mau bolos kenapa malah pergi dulu ke sekolah, cuma sampai gerbangnya lagi. Apa Sagar juga tidak tahu kalau di hadapannya ada bu Dinar yang bingung melihat tingkahnya.
"Eh, pagi bu!" sapa Rhea tersenyum lebar.
Bu Dinar menaikan sebelah alisnya, tidak bertanya apa pun tentang Sagar yang bolos di depan matanya. Sesaat pikiran aneh melintas di kepala Rhea, kenapa guru konseling satu itu tidak memarahi Sagar yang jelas-jelas bolos sekolah?
"Cepat masuk! Sebentar lagi bel bunyi," katanya kemudian.
Rhea semakin curiga, yahh guru satu ini tidak adiill!!
Namun sayangnya Rhea—sengaja—tidak bisa menepati janjinya, ketika Pak Lukman membagikan nilai ulangan matematika hasil yang didapat Rhea tidak jauh beda seperti nilai yang selalu didapatnya. Cewek itu sama sekali tidak peduli, toh Sagar juga hanya akan bermain-main, cowok sinting itu tidak mungkin benar-benar menepati janjinya. Melawan Feri itu hal yang mustahil.
Dilihatnya Sania yang menggrutu panjang-pendek, bukan karena nilai ulangannya yang turun sedikit melainkan kediaman Rhea saat ditanya hubungannya dengan Sagar yang menurut Sania masih sangat misterius.
"Ayo dong, bilang. Sagar nggak mungkin datang gitu aja ke kelas kalau gak ada apa-apa. Kalian pasti pacaran 'kan?"
Rhea memutar bola matanya untuk kesekian kalinya. "Serah lo dah!" katanya kemudian beranjak pergi.
"Eh, tunggu, Rhe! Malam ini lo ada acara nggak?"
Rhea terdiam lama sebelum menjawab. "Ada, kalau mau main, main aja sendiri."
Sania mengernyit, kenapa tiba-tiba Rhea jadi aneh. Ahh jangan-jangan sahabatnya itu benar-benar pacaran sama Sagar makanya memilih kabur darinya.
***
"Lo udah gila kayaknya," gerutu Nizam saat Sagar memberitahukan bahwa malam ini dia akan ikutan balapan motor. Dia mengikuti Sagar yang sedang berjalan mengelilingi motor maticnya. Bahh, bahkan Nizam ragu jika motor matic milik Sagar bisa mengalahkan motor gedenya Feri. "Sagar!!"
"Apa?" balas Sagar cuek.
Nizam mengembuskan napas panjang. "Elo tau, kan, resikonya balapan sama anggota geng kayak Feri, apalagi si Feri itu ketuanya. Lo pasti habis, tamat, end. Gue tau lo pengen hidup tapi nggak kayak gini juga kali. Ini sama saja lo bunuh diri."
"Ishh, cerewet banget sih. Lo pikir gue bakalan kalah?"
Nizam menahan bahu Sagar. "Gar, mending lo cari orang lain aja deh. Jangan Rhea, lagi pula orang nakal bukan cuma Rhea doang 'kan? Lo masih bisa tetep hidup asalkan lo—"
Sagar menghela napas panjang. "Lo pikir gue main-main, ada alasan lain kenapa gue milih Rhea padahal banyak orang yang lebih nakal. Meski gue belum tau alasannya apa, gue tetep bakal nyelesain tugas gue."
"Terus gimana kalau setelah ini Rhea jadi suka sama lo. Bukannya itu jadi bumerang buat lo."
Kali ini Sagar benar-benar terdiam. "Emang, tapi gue nggak bisa ngontrol hati seseorang 'kan? Jika Rhea suka sama gue, berarti gue harus terima resiko yang bakal gue hadepin nanti."
Nizam hanya menghela napas kasar, Sagar tidak akan goyah meski seribu orang memengaruhinya. Cowok itu akan tetap pada pendiriannya, tidak peduli apa pun yang akan terjadi nanti.
"Kayaknya udah beres deh." Sagar mengerutkan keningnya. Bergumam dalam hati apakah dia bisa memenangkan balapan ini?
Malam harinya bersama Nizam, Sagar datang ke tempat yang sudah diberitahukan Leo yang kebetulan tahu banyak tentang hal ini. Mereka melihat ada banyak orang berjaket hitam sedang berseru tidak jelas. Nizam memandang Sagar dan menaikan sebelah alisnya.
"Mereka yang bakal lo lawan? Yakin? Mending mundur aja deh."
Namun Sagar tidak mengindahkan peringatan Nizam, sebaliknya dia berjalan menghampiri kerumunan itu tepat saat Feri menantang semua orang untuk balapan dengannya.
"Gue ikut!" seru Sagar, berhasil mengambil perhatian semua orang.
Ada beberapa dari mereka yang Sagar kenal, kebanyakan dari sekolahnya sendiri. Meski dipandang remeh Sagar tidak peduli, matanya tertuju lurus pada Feri yang juga sedang menatapnya.
"Sagara?!"
Suatu keajaiban Feri mengenali Sagar, tapi dia tidak peduli. "Gue ikut balapan ini."
Semua orang tertawa merendahkan, jelas Sagar cuma cari mati ikut balapan ini. Pasti cowok itu kalah telak dari Feri yang jelas-jelas sudah punya banyak pengalaman di jalanan. Nizam yang melihat Sagar hanya bisa meringis kesal.
"Memangnya lo bisa apa sampai-sampai nantang Feri balapan sama lo. Siapa aja yang udah lo kalahin? Banci? Waria?"
Sagar terdiam cukup lama. "Kemampuan gue mungkin pas-pasan, tapi ada beberapa dari mereka yang udah gue kalahin, jelas bukan waria apalagi banci. Kalian tau Sam, Samudera Arial Stevano dari SMA Century? Gue draw sama dia. Tanya aja sama Reno atau Dion kalau gak percaya."
Semuanya melongo, jelas mereka tahu siapa Samudera yang dimaksud Sagar. Cowok yang dulu sangat terkenal karena berhasil memenangkan banyak tawuran juga sesekali balapan mobil yang selalu dimenangkan. Hanya saja akhir-akhir ini kabar Samudera sedikit menghilang entah karena apa. Tapi yang jelas Samudera ditakuti sama semua orang, jika Sagar pernah berkelahi dengan Samudera dengan hasil imbang berarti kemampuan Sagar patut diperthitungkan.
"Oke, lo boleh ikutan," kata Feri, "tapi apa yang bakal lo kasih kalau kalah?"
Sagar menunjukan isi dompetnya yang penuh dengan uang. "Kalau gue kalah, semua uang ini jadi milik lo sama motor gue juga. Tapi kalau gue menang, tarik penghinaan lo sama Rhea. Bersihin nama dia yang udah lo cemar."
"Berani banget, lo kira—"
Sagar mendelik tajam membuat cowok itu berhenti berkata-kata dan berjalah nundur ke belakang.
Feri mengerutkan keningnya bingung, wajah Sagar terlihat sangat serius. "Oke, sepakat. Gue bakal bersihin nama Rhea kalau gue kalah." Feri bertepuk tangan. "Jadi siapa lagi yang mau nantang gue selain Sagara!"
"Gue ... ikutan ..." teriak sebuah suara.
Semuanya mengernyit bingung melihat cowok berparas khas orang luar tengah berjalan ke arah mereka sambil menggumam dalam bahasa Indonesia yang sangat fasih. Padahal di wajahnya tidak ada ciri-ciri yang menunjukan bahwa dia punya darah Indonesia dalam tubuhnya.
"Siapa lo? Dari mana asal lo?"
Cowok itu menelengakan kepalanya dan tersenyun misterius. "Dari Jepang. Dan gue ..." Matanya memandang Sagar. "Naraka. ..."
***