Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 6

Keenam

"Nggak papa aku masuk angin juga asalkan kamu baik-baik saja"

—Sagar—

Rhea benar-benar terkejut ketika tiba-tiba saja Sagar datang ke kelasnya sambil menunjukan salinan raportnya. Cowok itu bertanya sampai mengagetkan seisi kelas tentang nilai-nilai raportnya yang bewarna merah semua. Rhea hanya menanggapinya dengan cuek, berbeda dengan Sania yang bertingkah gaje saat Sagar melayangkan beberapa pertanyaan.

"Omegat, lo denger! Sagar ber-aku-kamu sama lo," bisik Sania saat Sagar sibuk melihat-lihat buku catatan milik Rhea yang ternyata kosong melompong. "Jujur sama gue, pasti ada sesuatu ya di antara kalian. Nggak mugkin tiba-tiba Sagar care gitu aja ke elo."

Ingin rasanya Rhea melakban mulut Sania biar tidak ember ke mana-mana. Ini juga kenapa cowok sinting itu datang ke sini, membuatnya malu—dicurigai sama seisi kelas yang ingin mengetahui kenapa Sagar datang secara tiba-tiba dan mengobrak-abrik isi catatannya.

"Rhea!"

Rhea memutar bola matanya. "Diem lo!"

Sania cemberut, tapi langsung berjengit kaget saat Sagar bertanya padanya. "Eh, ya?!" gagapnya, terkejut melihat wajah Sagar yang dekat dengan wajahnya.

Sagar menunjukan buku catatan milik Rhea. "Apa selama ini Rhea jarang nyatet? Bukunya kosong, tapi buku lo penuh banget sampai ke pinggir-pinggirnya."

Sania salah tingkah, seumur hidupnya ini pertama kalinya dia melihat cowok semanis Sagar. Bakal beruntung banget seandainya Rhea beneran jadian sama Sagar. "Eh, Rhea 'kan sering bolos sekolah otomatis 'kan dia jarang nyatet," jawabnya spontan.

Sagar berpikir sesaat lalu menganggukan kepalanya mengerti. "Eh, iya gue lupa," cengirnya lalu menatap Rhea yang hendak pergi meninggalkan kelas. "Eh, kamu mau ke mana?" tanyanya.

Rhea menatapnya datar, andaikan dia bisa, ingin rasanya dia mencakar wajah Sagar sampai tidak berbentuk lagi. Rhea dibuat jengah sama kelakuan cowok sinting satu ini, berani-beraninya mengomeli dirinya hanya karena dia jarang menyatet pelajaran. Ahh, mendengarkan pelajaran saja sudah membuatnya malas setengah mati, lhaa ini disuruh mencatat? Bisa-bisa tanganya keriting seketika dan kepalanya mengeluarkan asap seperti kereta api uap.

"Ke bulan," jawabnya kesal.

"Hah, kamu mau jadi astronot?"

Rhea memutar bola matanya. "Menurut lo?" Kesal menghadapi Sagar yang tiada habisnya Rhea memilih segera keluar dari dalam kelas, meski Sagar kembali menahannya—kali ini sambil memegang tangannya. Dia melotot kesal, apa cowok itu tidak tahu kalau mereka sedang diamati seisi kelas?

"Eh, tunggu dong. Kan, kita udah sepakat buat pulang bareng." Sagar tersenyum lebar, sekilas Rhea melihat ke sekeliling kelas yang sedang memerhatikannya dengan wajah melongo. "Ayo kita pulang."

Cowok sinting satu ini!

"Eh, tunggu!" seru Sania, sontak menghentikan Sagar dan Rhea yang hampir keluar dari dalam kelas.

"Apaan?!"

Sania terlihat ragu sesaat sebelum mengutarakan kalimatnya. "Emhh, apa kalian pacaran? Setau gue selama ini kalian nggak deket, deh, tapi kok keliatannya sekarang kalian kayak orang pacaran."

Wajah Sagar bersinar, tiba-tiba saja menarik tangan Rhea dan menggenggamnya. "Menurut lo gue cocok nggak jadi pacarnya Rhea?" Sontak Sania dan Rhea melongo. Sagar kembali melanjutkan, "sebenernya kita ini pac—mmmhh."

Rhea yang merasa Sagar akan mengeluarkan kartu matinya segera membekap mulutnya—memberi isyarat dengan matanya supaya cowok sinting itu menutup mulutnya atau dia akan membunuhnya.

Sagar bernapas dengan gaya lebay. "Apaan sih, Rhe, aku 'kan cuma mau ngasih tau sama orang-orang kalau kita itu pac—adawww," pekik Sagar histeris ketika Rhea menginjak kakinya sampai-sampai dia merasakan sendi-sendi tulangnya bersuara. "Ya, ampuun, Rhe, bar-bar banget sih jadi cewek. Ya Allah, sakitnya," ratap Sagar sambil mengelus-ngelus kakinya yang sakit.

"Itu akibatnya kalau lo ngomong sembarangan." Mata Rhea turun ke bawah. "Kalau lo sampai bicara aneh-aneh lagi, gue nggak segan buat mukul barang lo."

Sontak Sagar menjengit lalu menutup celananya sendiri dengan ketakutan. "Yahh jangan dong, ini satu-satunya milik aku. Masa kamu tendang."

"Emang gue peduli!" teriaknya berlalu pergi meninggalkan Sagar serta tatapan bingung dari seisi kelas.

Sagar berlari mengejar Rhea lalu memegang tangan cewek itu seerat mungkin mengingat Rhea selalu mencari cara untuk kabur darinya. "Yahh, marah. Jangan marah dong, kamu keliatan tambah cantik banget kalau lagi marah gitu, nanti semua orang suka sama kamu lagi. Aku 'kan jadi cemburu. Senyum dong—eh jangan senyum juga nanti mereka tambah terpesona sama kamu."

Rhea menghentikan langkahnya tiba-tiba lalu menatap Sagar tajam.

Sagar bergerak mundur beberapa senti, sedikit takut melihat tatapan Rhea. "Ya udah, kayak gitu juga nggak papa. Ayo, kita udah ditunggu."

Meski Rhea sedikit kebingungan dia terpaksa mengikuti Sagar yang berjalan menuju gerbang utama sekolah. Dalam kepalanya Rhea berpikir; apa Sagar tidak punya kendaraan? Atau mungkin motornya masuk bengkel? Dia berpikir seperti itu karena Sagar melewati begitu saja parkiran tempat banyak kendaraan berjejeran di sana.

"Nahh, sini deh, Rhe!" kata Sagar melambaikan tangannya.

Sedikit ragu Rhea berjalan menghampiri Sagar yang berdiri di samping seorang lelaki cukup muda dengan jaket bewarna hijau bertuliskan Go-Jek. Sagar memberinya helm, rupanya cowok itu memanggil tukang gojek untuk mengantarnya pulang.

Jadi ini yang disebut pulang bareng menurut Sagar? Boncengan gojek gitu? Ya ampuun.

"Lo mau kita duduk semotor gitu?" tanyanya keheranan, tidak mungkin 'kan dia duduk berdempetan dengan abang gojek apalagi sama Sagar, mending dia naik angkot saja.

Sagar menggelengkan kepalanya lalu menunjuk seorang driver gojek lagi yang baru saja sampai. Jadi cowok itu memanggil dua driver gojek?

"Ya udah," kata Rhea pada akhirnya, capek juga kalau terus-terusan berdebat dengan Sagar yang tiada habisnya. Dia bersiap naik motor ketika tiba-tiba saja Sagar kembali menarik tangannya.

"Ngapain kamu naik di sana?"

Rhea memutar bola matanya. "Lha, gue mau pulang. Apalagi."

Sagar menggelengkan kepalanya. "Aku nggak nyuruh kamu buat naik ke motor lain."

Rhea mengerutkan keningnya tidak mengerti. Dilihatnya Sagar yang menyuruh driver gojek lain untuk berboncengan karena satu motornya lagi mau Sagar pakai bareng Rhea. Ya ampuun, Rhea benar-benar tidak habis pikir dengan jalan pikiran cowok sinting bin aneh satu ini. Bisa-bisanya Sagar memanggil dua driver gojek hanya untuk bisa berboncengan dengannya? Ampun dah, ampuun, Rhea taluk menghadapi sikap Sagar yang sinting.

"Nah, kalau gini 'kan enak," katanya tersenyum lebar. "Ayo naik." Pandangan Rhea beralih ke arah dua driver gojek yang sudah siap pergi mengikuti Sagar pergi. "Tenang aja, aku nggak bakalan nyuri motornya. Mereka bakal ikutin kita kok."

"Apa lo beneran nggak punya motor sampai-sampai manggil dua driver gojek. Kita bisa naik angkot atau bus, Sagar."

"Motor aku bannya kempis, mau pinjem punya Nizam tapi katanya dia punya janji. Ya udah manggil driver gojek aja, kalau naik angkot atau bus akunya nggak bisa berduaan sama kamu."

Sagar mengambil jaket dari dalam tasnya lalu memakaikannya ke tubuh Rhea, cewek itu sempat menolak tetapi terhenti ketika melihat tatapan tajam Sagar. "Jangan dilepas, nanti kamu masuk angin."

Rhea memutar bola matanya. "Yang ada lo yang bakalan masuk angin, elo duduk di depan sambil nyetir. Udah ah, lepas. Malu tau!"

Sagar kembali menggeleng. "Nggak boleh. Nggak papa aku masuk angin juga asalkan kamu baik-baik saja. Kan aku udah bilang bakal jaga sama ngelindungi kamu. Kamu 'kan pacarnya aku."

Perutnya bergejolak karena jijik mendengar perkataan sintingnya Sagar. Tadinya Rhea mau kabur saja dari Sagar tapi melihat kesungguhan di mata cowok itu membuat Rhea mengurungkan niatnya. Dengan sangat terpaksa dia naik ke atas motor dan memegang pundak Sagar namun sayangnya cowok sinting itu malah sengaja mengerem mendadak sehingga pegangan Rhea beralih ke pinggang Sagar.

"Bisa nyetir nggak sih!" katanya kesal.

Rhea mendengar Sagar terkekeh. "Aku lebih suka kalau kamu peluk aku daripada megang pundak aku."

Cewek itu hanya mendengus kesal. Semoga saja Sagar bosan padanya agar dirinya bisa terbebas menghadapi sikap sintingnya Sagar.

"Eh, kita mau ke mana? Ini bukan jalan ke rumah gue."

"Siapa juga yang mau ke rumah kamu. Kita makan siang dulu ya, sambil benerin nilai kamu yang merah semua."

Rhea cemberut, dia paling malas kalau harus memperbaiki nilainya yang buruk. Dia tidak lagi bicara selama sisa perjalanan sampai kemudian Sagar menghentikan motornya tepat di depan sebuah warung makan di pinggir jalan, bukan itu yang membuat Rhea terkejut melainkan cara Sagar menghentikan motornya tiba-tiba sampai-sampai tubuh depan Rhea menempel ke punggung Sagar.

"Anjirr, lo sengaja ya!" pekiknya lalu memukul punggung Sagar kesal. Dia turun dari motor. "Awas lo, gue bakal bales lo," ancamnya tidak memerhatikan wajah Sagar yang terlihat berbeda.

Cowok itu menghela napas panjang, matanya menatap Rhea yang sudah masuk ke dalam warung makan. Dia mengernyit sesaat lalu menekan dadanya yang tiba-tiba saja terasa sakit.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel