Bab 5
Kelima
"Trying to be like you. Isn't good enough for me."
—Good Enough (Lirik)
Entah sudah berapa kali Rhea melongokan kepalanya ke dalam ruangan tempat di mana bu Dinar sedang menyidang Sagar atas kesalahan merokok di lingkungan sekolah. Dalam hati Rhea merutuki kelakuan Sagar yang ceroboh, harusnya dari awal cowok itu tidak merokok, lahh ini ketangkap basah sama bu Dinar. Rhea sedikit bersyukur karena untuk pertama kalinya bu Dinar tidak menghukumnya saat bertemu dan malah memanggil Sagar ke ruangannya.
Pasti habis dicerca sama bu Dinar tuh cowok.
"Kamu juga tahu 'kan bahayanya merokok bagi kesehatan kamu? Sagar?!" Samar-samar Rhea mendengar bentakan bu Dinar.
"Saya juga tahu bu. Tapi sesekali juga nggak papa, toh saya nggak akan mati hanya karena merokok."
Rhea menggelengkan kepalanya, kini dia tahu sifat lain si murid setengah teladan yang ternyata punya sisi pembangkang dalam dirinya. Harusnya sebagai murid teladan Sagar diam saja, bukannya menyahut. Dirinya saja jika menyahut ucapan bu Dinar pasti hukumannya ditambah sangat, sangat berat.
"Kamu!" Kembali Rhea mendengar geraman bu Dinar. "Ambil lap sama sapu! Bersihkan ruangan saya sampai bersih! Kacanya juga harus kamu lap sampai bersih."
Rhea menahan tawanya, sebenarnya dia sedikit merasa bersalah pada Sagar. Andaikan saja dia lebih bisa mempertahankan rokoknya maka mungkin sekarang ini Sagar tidak perlu dihukum sampai segitunya. Bu Dinar 'kan orangnya teliti banget, bukannya khusyuk bekerja Sagar malah panas diomeli.
"Kenapa kamu di sini?! Nggak masuk ke kelas!" bentak bu Dinar melihat Rhea yang senyam-senyum sendiri di depan pintu.
Rhea mengerkap kaget, tidak sadar kalau bu Dinar berdiri di hadapannya, sedangkan Sagar berdiri di belakang bu Dinar—memberinya cengiran lebar. Seolah-olah dia sangat senang dihukum sama bu Dinar. Aneh!
"Eh, ibu. Jangan marah-marah terus nanti kulit ibu keriput semua." Rhea malah nyengir lebar, tidak memedulikan ekspresi tidak bersahabatnya bu Dinar. "Eng, sebenarnya saya ..." Dia bingung mau mengatakan apa? "Kenapa, ya? Saya juga nggak tau," sahut Rhea dengan wajah polos. Benar-benar tidak kebingungan; kenapa dia mau-maunya menunggui Sagar yang sedang diomeli sama bu Dinar.
"Yelahh, masa ibu nggak sadar, sih." Kali ini Sagar yang berkata, lagi-lagi memperlihatkan senyuman jenakanya. "Rhea itu lagi nungguin saya."
"Nungguin kamu? Buat apa?" Bu Dinar memandang Sagar dan Rhea bergantian.
Sagar memutar bola matanya, murid satu ini benar-benar tidak punya sopan santun. "Kayak bu Din nggak pernah muda aja. Rhea ini lagi nungguin saya keluar buat pamitan sekalian nyemangatin saya."
Rhea melongo tidak mengerti, begitu juga dengan bu Dinar yang tampak keheranan dengan tingkah bodohnya Sagar.
Cowok itu melambaikan tangannya menyuruh Rhea untuk mendekat. "Sini, Sayang," katanya tersenyum. "Urusanku sama bu Dinar udah selesai, kok. Kamu jangan khawatirin aku, ya?!"
Rhea menahan kesal, bisa-bisanya Sagar bersikap seperti itu di depan bu Dinar. Ya Tuhan, kesurupan jin apa cowok satu ini sampai-sampai kelakuannya sangat memalukan seperti ini.
Sagar menepuk kepala Rhea sambil tersenyum. "Kamu kembali aja ke kelas, aku harus ngebersihin ruangannya bu Dinar dulu. Ingat, jangan tidur! Belajar yang bener! Pulang nanti kita bareng, oke?!"
Ya Tuhan, ya Tuhan, Sagar benar-benar kerasukan, ingatkan Rhea untuk membawa Sagar ke pengajian biar dia dirukiah sekalian dicuci otaknya yang kayaknya penuh dengan omelan dari para guru.
Rhea menaikan sebelah alisnya. "Gar, lo baik-baik aja 'kan? Otak lo masih ditempatnya 'kan?" tanyanya.
Sagar nyengir lebar, dia tidak memedulikan bu Dinar yang melihat interaksisnya dengan Rhea. "Ya ampuun, perhatian banget sih pacar aku yang manis ini. Aku baik-baik aja kok"—Sagar mengangguk-anggukan kepalanya sambil tersenyum lebar—"Sana pergi, belajar yang bener tapi pulangnya tunggu aku, ya."
"Kayaknya lo bener-bener harus dirukiah deh, Gar. Betul nggak bu Din? Murid ibu yang satu ini udah gila!"
Bu Dinar hanya bisa geleng-geleng kepala, dulu saat dirinya duduk di bangku SMA belum pernah dia melihat pasangan aneh macam Sagar sama Rhea. Satu perhatian banget—lebay—yang satunya lagi bar-bar. Di mana letak kecocokannya?
"Kalian ini benar-benar," geram bu Dinar yang malah dibalas cengiran sama Rhea dan Sagar. "Rhea, kembali ke kelas! Jangan coba-coba buat bolos sekolah! Dan kamu, Sagar. Ambil sapu sama lap pel, bersihkan segera ruangan saya."
Sagar mengangguk mengerti, dia kembali memandang Rhea dan tersenyum lebar. "Pergi, nanti kamu juga ikutan dihukum sama bu Dinar. Belajar yang bener, jangan tidur lagi."
Rhea hanya mencibir, tidak peduli dengan omelan Sagar yang sudah seperti ibu-ibu kurang perhatian. Dia mengangguk pada bu Dinar kemudian pergi meninggalkan Sagar yang masih juga tersenyum lebar. Lama-lama tuh mulut bisa kering juga kalau terus tersenyum seperti itu.
"Kalian pacaran?" tanya bu Dinar ketika Rhea tidak lagi di hadapan mereka. Dilihatnya Sagar yang senantiasa masih memandangi tangga tempat Rhea menghilang.
Ketika Rhea benar-benar sudah naik ke atas, Sagar mengalihkan perhatiannya pada bu Dinar, dia tidak menjawab apa pun, hanya menampilkan senyuman miring.
Murid satu itu benar-benar tidak punya sopan santun!!
"Kenapa jantung gue berdetak kenceng waktu deket sama Rhea?" gumamnya sambil meraba dadanya—tepat di mana jantungnya berada. "Gue nggak mungkin jatuh cinta sama Rhea, kan?" Sagar bertanya-tanya, dia kembali memandang tangga yang akan membawa setiap murid menuju lantai atas—termasuk kelas 3-2 IPS.
Selesai dengan hukumannya, Sagar tidak langsung pergi ke kelasnya melainkan pergi ke kantin. Di sana dia melihat Nizam dan Putri yang sedang duduk di pojok kantin sambil membaca buku. Dalam hati Sagar mencibir, lama-lama mereka malah jadi terlihat seperti perpustakaan berjalan. Dan sialnya Sagar adalah sahabat dari perpustakaan berjalan itu.
"Pesenin gue jus mangga dong, Yiyi," kata Sagar begitu dia duduk di kursi hadapan mereka.
Sontak Nizam dan Putri mengangkat kepalanya.
"Nama gue Putri, Aga dodol. Nggak bagus banget lo manggil gue Yiyi."
Sagar cemberut. "Lha, kan nama lo Yin Putri. Wajar dong kalau gue manggil lo Yiyi. Bener nggak, Zam?"
Nizam hanya tersenyum kecil.
"Lo udahan dihukumnya, Ga?" tanya Putri, memberikan gelas plastik berisi jus mangga yang tadi dipesannya saat Sagar menyuruh dirinya juga Nizam buat kumpul di kantin.
Sagar menganggukan kepalanya, menegak habis jusnya. "Hah, capek banget. Kayaknya bu Dinar niat banget hukum gue."
Nizam terkekeh. "Salah lo juga sih, pake ngrokok. Udah tau bu Dinar kayak gimana."
"Bener kata Nizam, lagi pula ngapain juga sih elo pake ngerokok segala, udah tau itu nggak bagus buat kesehatan jantung lo."
Sagar hanya memutar bola matanya, malas menanggapi ocehan kedua sahabatnya. "Gue pengen nyoba aja, udah lama banget nggak ngerasain nikotin "
Sontak Nizam kesal mendengarnya, dengan seenaknya dia memukul kepala Sagar dengan makalah setebal buku paket sejarah. "Ampuun dah, otak lo ini, Gar. Mesti dicuci."
"Rukiah sekalian," imbuh Putri. "Makin hari ini anak makin ngeselin. Tapi kenapa? Lo nggak mungkin berubah dalam semalam deh, Aga. Lo 'kan anaknya aneh banget."
"Njir, lo ngatain gue anak aneh. Ya Allah, dosa apa gue punya sahabat sableng macam kalian."
Keduanya hanya geleng-geleng kepala, capek juga kalau harus menghadapi sikap anehnya Sagar. Kemudian Nizam memberikan makalah yang tadi dia pukulkan ke kepala Sagar. "Ini yang lo minta, semuanya ada di situ."
Buru-buru Sagar membuka makalah tersebut, sesekali mengeryit saat membaca kata-kata yang menurutnya aneh, terkejut melihat deretan huruf bewarna merah.
"Gila, ini nilai raport atau tanggal peringatan? Merah semuaa!"
"Gue udah nanya ke beberapa guru, katanya dia itu sering bolos, hampir nggak naik kelas beberapa kali."
Sagar menopang dagunya dengan tangannya, sedang matanya serius menatap deretan huruf bewarna merah itu. Beberapa keterangan tertera di sana.
"Keluarganya sedikit berantakan, meski nggak sampai cerai tapi keadaannya sangat dingin. Dia juga punya masalah dengan Feri anak IPA 4 tanpa diketahui penyebabnya. Nilai-nilainya juga anjlok padahal waktu kelas 10 semester satu dia masuk 10 besar. Kenapa bisa begini?" tanya Sagar.
Nizam dan Putri mengangkat bahunya tidak tahu.
"Apa yang bakal lo lakuin dengan itu?" Kali ini Nizam yang bertanya
Sagar mengehela napas panjang. "Gue mesti ngerubah dia kalau gue pengen hidup."
"Caranya?"
Dan Sagar hanya tersenyum kecil. "Kalian lupa kalau Rhea pacar gue."
***