Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 7 The Oldies Secret

Bab 7 The Oldies Secret

"Mau ke mana?" Shikamaru baru saja keluar dari escape zonenya ketika melihat Hinata keluar dari ruangan perpustakaan.

"Kantor. Di sana lagi hetic banget gara-gara covid dan minta tes swab semua."

"Karyawan?"

"Bukan, klien kita semua minta tes swab. Kalau karyawan kan udah aku pesenin rapid test dan hasilnya negatif."

"Terus ngapain pakai itu?" Shikamaru menunjuk kaki Hinata.

"Oh, masak mau kerja pakai sandal sih."

"Ganti! Yang flat shoes kan bisa." Nada suaranya nggak naik oktafnya, cuma alisnya udah menukik sebelah. Tanda nggak mau kompromi.

"Aku pendek, De'er..." Hinata memelas.

"Aku tinggi." Jawab Shikamaru tidak peduli.

"Hih, kamu mana ngerti sih perasaanku!" Hinata melempar pump shoes-nya dan asal-asalan pakai flat shoes yang kemarin di belikan Junichiro setelah pulang dari tempat Sasuke. Hatinya dongkol setengah mati. Bagi cewek penampilan itu untuk menunjang kepercayaan diri. Shikamaru sih mana ngerti hal gituan.

Shikamaru berjongkok, "naik."

"Heeeh?!"

"Kamu bilang mau tinggi. Sini aku gendong."

Hinata tak bisa membendung merebaknya rasa panas dan merah di pipinya.

...

"Ckckck.. lancar terus ya kalian pacarannya." Jun mengintip dari atas tangga.

"Tsk. Merepotkan urus pacarmu sendiri sana!"

"Mana ada pacar??"

"Terus kenapa kamu getol sekali dipuji Sasuke dan tanya-tanya soal Iris?"

"Pak tua ngerti apa sih, aku nggak gitu!"

"Nggak gitu, sampai meretas sistem sekolahnya cuma buat lihat daftar siswa. Kamu kalau niat macarin anak orang nggak usah bawa nama perusahaan. Bikin malu aja, merepotkan."

Jun ternganga.

"Oh iya," Shikamaru membetulkan letak gendongannya sebelum berjalan ke pintu, "lain kali habis stalking Iris, kamu bersihin dulu riwayat pencarian. Tcih. Bikin malu aja, amatiran!"

"Bangke! Asdfghjkl..." Dumel Jun tanpa suara.

*****

.

"De'er."

"Hengg..."

"Kamu memata-matai anakmu ya?"

Yang ditanya diam bagai batu. Pura-pura tuli dan fokus menyetir dengan pandangan lurus ke depan. Kalau gini, Shikamaru terlihat bukan sebagai manusia tapi robot AI dengan chip maha tinggi.

Hinata mendengkus tidak senang, "jangan-jangan kamu mematai aku juga?!"

"Aku mematai banyak orang." Shikamaru berkata dengan nada datar seolah hal itu tidak penting, "bukan hanya Jun atau dirimu saja, Darl."

Mulut Hinata terngaga, "sejak kapan?!"

"Siapa?"

Hinata megap-megap. Demi bumi dan seisinya, kenapa bicara dengan suami sendiri terasa mengesalkan?!

"Sejak kapan kau memata-matai aku?!"

"Sejak kamu penting dalam hidupku." Jawabnya tanpa beban, sambil memutar roda kemudi tanpa kesulitan di tengah jalan raya.

Wajah Hinata memanas. Iya yakin mukanya sudah merah seperti terserang deman. Demi apa suaminya pandai menggombal hari ini?! Dan sialan sekali jantung yang berloncatan ritmenya. Ini hanya Shikamaru, astaga. Ia merasa jatuh cinta lagi. Konyol sekali.

Shikamaru yang biasanya cool dan pendiam dan suka sekali berkata ; 'merepotkan' dan ketika ia sudah menghilangkan kalimat yang ia benci setengah mati itu kenapa malah dia yang mati gaya begini.

"Apa kepalamu terbentur?!" Hinata menatap suaminya khawatir. "Apakah kamu baru saja terguling dari kasur?"

"Ckck! Aku diam kau mengoceh, aku tidak perhatian atau apalah itu. Merepotkan!"

"De'er!" Hinata berseru, tangannya mengambil clutch dan langsung memukul bahu suaminya.

Bug!

Bug! Bug!

"Hey! Hey! Aku menyetir. Dasar wanita, merepotkan." Shikamaru melindungi sisi kiri tubuhnya dari serangan Hinata.

"Aku benci kata itu!" Hinata mengerang kesal. Giginya gemerutuk dan membuat Shikamaru menelan ludah.

"Baiklah... Baiklah..." Shikamaru menyerah kalah.

"Sejak kapan kamu mematai aku?"

"Sejak dulu."

"Dulu, itu kapan?" Kejar Hinata tanpa ampun.

"Sejak junior high school."

"Eh?! Bagaimana bisa." Dari semua kalimat Shikamaru, bagaimana mungkin suaminya itu dengan mudah mengaku. Hinata heran sekaligus ngeri.

"Bisa saja kalau aku pandai menghitung peluang." Jawab Shikamaru acuh.

"Eeeehhh?!" Hinata terkejut setengah mati, dulu pun di SMP kita hanya tiga kali bertemu.

"Itu cukup, jatuh cinta hanya butuh sepuluh detik."

"Hah?!" Hinata speechless. Tidak menyangka. "Tapi kenapa kamu justru milih lulus dengan cepat?

"Semakin cepat lulus berarti semakin terbuka peluang memilikimu."

Hinata ternganga. Ingatkan dia untuk bernapas teratur dan menjaga jantungnya untuk tetap berdetak secara normal. Sungguh! Pria itu hanya bicara. Kenapa ia justru merasa digombali. Ya Tuhannnn... Mudah sekali ia baper. Memalukan!

"Jelaskan!" Hinata memberi perintah.

Shikamaru menarik napas dan menggumamkan kata; "merepotkan," tanpa suara.

"De'er!" Seru Hinata.

"Yes, Darl!"

"Jangan katakan Yes Darl! Kau seperti mesin penjawab di komputermu!"

"Baiklah! Oke! Atau apapun itu!" Shikamaru mengerang jengkel.

"Aku minta kamu menjelaskan!" Hinata dan sifat keingintahuan ala perempuan. Yang segala-galanya harus tersurat secara gamblang.

Menghela napas berat dan membatin kenapa jalan ini terasa jauh dari biasanya, akhirnya si Rusa menyerah kalah. "Ketika aku melihatmu, sepuluh detik pertama adalah pemindaian kepribadian dan juga pesonamu. Sepuluh detik berikutnya adalah probabilitas kemungkinan hubungan kita. Jadi ketika otakku mengintruksikan aku harus bergerak cepat, aku juga bertaruh banyak hal."

"Misalnya?" Hinata tak dapat menyembunyikan dadanya yang mengembang karena bangga. Jadi dia begitu antusias mencecar jawaban Shikamaru.

"Kemungkinan dirimu yang tidak bisa move on. Atau Naruto lebih cepat memilikimu."

"Heeehhh?!" Hinata tak bisa menahan mulutnya untuk tidak bersuara karena terkejut.

"Tampaknya bukan keduanya."

Mata Hinata mengerjap mendapati informasi bertubi.

"Sebab, aku pasti bisa membuatmu melupakannya."

Aaaahhh... Pipi Hinata merona sempurna. Ia tidak siap merasa baper seperti ini. Sebaiknya pembicaraan ini dihentikan saja. "Dan soal mematai Jun?" Ucap Hinata membelokkan persoalan.

"Keh! Anak itu sudah memasuki fase sepertiku."

Hinata terngaga, "dia beneran naksir anaknya Sasuke?"

"Menurutmu?" Shikamaru justru melempar kembali bola pertanyaan Hinata.

Hinata angkat bahu karena merasa tidak benar-benar dekat dengan Junichiro sebagai anak. Mereka anak rasa teman. Bagaimana ya menjabarkannya. Mother's things benar-benar jarang dengan Junichiro apalagi setelah anaknya sudah akil balig.

"Ketika Jun memulai riset kehidupan pribadi Sasuke untuk bisa bertahan jika Sasuke mulai menyerang N'Tech karena akan bersaing dengan industri energinya. Jun tahu bahwa Sasuke memang tidak menikah dan memiliki anak gadis sepantaran dengannya. Niat hati ingin berbuat jahat malah dia terperosok sendiri."

"Jangan mendoakan kejelekan untuk anakmu!"

"Tsk! Bocah merepotkan itu membuatku malu. Untuk apa terang terangan ke tempat Sasuke kalau tidak mau pamer dan membuatnya dipandang oleh Sasuke?! Jawabannya agar Sasuke memperketat pengawasan pada Iris."

"Dan mengamankan dari kandidat yang lain." Mata Hinata menerawang. Kilatnya makin yakin jika jawabannya benar. Dan membayangkan anak lelakinya sudah begitu dewasa dalam mengambil keputusan. Tapi jiwa keibuannya meronta, ia merasa Jun terlalu cepat tumbuh dan merasa bahwa anak lelakinya bisa menghilang kapan saja. Merasa antusias sekaligus sedih bersamaan.

"Binggo!" Shikamaru berdecak.

"Ya ampun. Anakmu itu..." Hinata memijat pelipisnya. Merangkai semua kemungkinan bertemu dengan Sasuke dan apa yang diperbuatnya akibat Jun, nanti.

"Jangan heran kalau tiba-tiba ia masuk ke sekolah Iris dan pura-pura sebagai murid pertukaran pelajar."

Hinata menatap suaminya horror. Bahkan langkah Junichiro pun suaminya sudah menebak? Apalagi jika dia macam-macam pasti suaminya akan tahu. Hinata bergidig ngeri.

"Lalu kenapa kau mengantarkanku pagi ini?" Mata Hinata menyipit.

Shikamaru berdehem, "mengeliminasi predator di wilayah kekuasaanku."

*****

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel