Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 8 Junichiro

Bab 8 Junichiro

Junichiro

Kalau ada yang paling kubenci di seluruh dunia, itu adalah ayahku. Iya, pria sok keren yang seenaknya sendiri membawaku ke mana-mana. Mengenalkan aku ke siapa-siapa dan membuatku menjadi kacungnya. Lalu dengan tanpa tanggung jawab menyerahkan semua asetnya kepadaku yang masih berumur enam belas tahun ini. Heks, aku bahkan belum punya SIM!

Menjadi anak Shikamaru Nara selalu sesulit itu. Terutama ketika kau sudah mengerahkan segalanya dan yang selalu dipuji malah ayahmu. Seolah menjadi mahluk kasat mata. Percayalah menjadi invisible adalah hal yang paling tidak enak.

"Junichiro Nara, kamu mendapatkan A+."

Aku tersenyum, maju ke depan kelas dan membungkuk sebentar, mengucapkan terimakasih kepada dosenku yang kini menepuk pundakku bangga. "Btw, kamu apanya Shikamaru Nara?"

Here we go again! Bahkan setelah aku berhasil masuk MIT?!

Setiap capaian yang kuperoleh akan menjadi milik pak tua sialan itu. "Aku? Aku anaknya." Cengiranku kaku. Tanganku mengepal hingga menyebabkan kertas ujianku kusut. Siapa yang ikut ujian dan siapa yang harua menerima pujiannya. Sialan sekali bukan.

"Wow! Shikamaru Nara hebat sekali. Selain membuat kami terpukau dengan IQ 200-nya dan bisa lulus sangat cepat. Dia juga membuat legitimasi di sini dengan mengirimkan putranya. Hebat benar dia."

Dan akhirnya angkalah yang memenangkan apapun saudara-saudara. Sama seperti air minum. Meski minum air mineral yang paling mutakhirpun nama AQUA lah yang akan di sebut. Memang sulit ya mengenyahkan nama besar sebuah Brand. Apalagi kalau berhubungan dengan ayahku sendiri. Bayang bayang angka 200 membuatku pening. Terutama ketika IQ-mu takkan sanggup melampaui dia.

****

Setelah itu aku pulang ke asrama dengan perasaan yang campur aduk. Aku masuk ke universitas di usia enam belas tahun. Bahkan sama seperti ayahku. Tapi kenapa aku selalu dibanding-bandingkan?

Harusnya aku sudah kebal kan, karena mengalaminya selama bertahun-tahun? Harusnya para tenaga pendidik tahu, kalau membandingkan aku dan ayahku termasuk tindakan bullying. Hellow... tidak ada manusia yang sempurna. Bahkan si malas itu—yang kalian ssebut sebagai manusia dengan IQ tertinggi, punya kelemahan. Termasuk kebodohannya tidak bisa mencuci piring dengan bersih tanpa dishwasher.

Ayahku bahkan lebih suka menyuruh asisten rumah tangga untuk mengukur suhu untuk defrost makanan beku!Kenapa ia tak membaca tombolnya saja?! Kadang aku merasa khawatir jika ia dihadapkan dalam kehidupan tanpa mesin. Lingkungan pertemanannya pun juga sangat mengenaskan. Dia ahli teknologi tapi sama sekali tidak punya media sosial.

Sebuah pesan masuk ke dalam kotak e-mailku. Aku membaca sekilas dari ponselku ketika sedang membuka pintu kamar asramaku. Gerakanku terhenti. Aku harus segera pulang ke rumah. Darurat katanya.

Tentu saja, aku berbalik haluan dan segera menuju keluar. Setelah adegan menyapa dan menuruni anak tangga, akhirnya aku tahu siapa orang yang menjemputku.

Sebuah mobil sudah menungguku di depan asrama, aku tahu ini akan terdengar berlebihan. Tapi Ayahku selalu punya cara untuk membuatku tak bisa menolak. Termasuk saat mobil dengan atap compactible itu begitu mencolok mata seolah minta diperhatikan. Di dalamnya seorang pria tampan berdarah Asia sudah menunggu. Jika kalian membayangkan Han dalam Tokyo Drift ya, semacam itulah orangnya.

Dia mengantarkanku ke bandara—lebih tepatnya ke hanggar sebuah pesawat jet pribadi yang memang bukan milikku. Tentu saja, pesawat jet bukan benda favorit ayahku. Jika ia menginginkan pesawat terbang, tentu jet kamuflase yabg akan dibelinya. Percayalah, dia—maksudku ayahku memang seaneh itu.

Aku menaiki jet pribadi—sewaan dengan pelayanan eksklusif menuju rumah, dengan perasaan curiga yang amat kental. Karena Shikamaru Nara yang kukenal adalah CEO nyeleneh dan penuh tipu daya.

.

.

.

.

****

Perasaanku tidak kunjung membaik bahkan setelah aku pulang ke rumah. Kamar kesukaanku menjadi neraka ketika pria itu duduk di sisi ranjang, membuka-buka komik yang selalu tersusun rapi di rak.

"Malam ini kita pulang ke Jepang."

"He?" Aku tak bisa menyembunyikan kilat terkejutku. Tas ransel kanvasku yang sedari tadi aku tenteng terlepas begitu saja.

"Dad.. kau nggak sedang bercanda kan?"

Pria itu menaruh komikku di tempatnya. Hal yang sangat janggal ketika ia biasanya seenaknya sendiri. Dengan kepribadiannya yang menjengkelkan dan tidak mendengar siapapun. Tapi pria itu nyengir tulus, hal yang sudah lama hilang dari pandangan mataku selama bertahun-tahun.

"Selamat, kau akan jadi kakak."

What the hell. Menjadi kakak? Dengan gap membentang enam belas tahun, atau tujuh belas tahun jika ia lahir nanti. Apasih yang kedua orang aneh itu pikirkan?!

Mulutku terbuka, lalu terkatup lagi karena tidak ada kata yang tepat selain kata chaos!

"Mommy-mu menginginkan kembali ke Jepang selama hamil dan melahirkan."

"Hah?! Terus gimana dengan kuliahku?"

"Pindah."

"Aku nggak mau!"

"Cuti."

"Demi Tuhan, Dad! Yang hamil Mom, kenapa aku harus ikut kalian ke Jepang?!" Jun memutar matanya.

"Ini tahun 2020"

"Aku tahu, jadi jelaskan karena aku tidak punya IQ200. Oke. Dan aku tak percaya bahwa kau mencintaiku 3000, karena kau selalu membulyku lebih banyak dari 3000 kali."

"Itu bukan bully-an. Itu gemblengan."

"Gemblengan my ass!"

"Mulutmu, onii-chan."

"Ya ampun!" Junichiro menepuk dahinya, "bahkan dia belum lahir."

"Kuberikan semua saham NTech."

Jun ternganga. Ada apa dengan ayahnya? Kenapa mendadak sekali. "Kau bermaksud apa?"

"Memberimu tahta itu lebih cepat." Shikamaru melipat kakinya, menyilangkan kaki seolah ia adalah seorang raja. Jun membenci gerakan itu, tentu saja. Semua hal yang dimiliki oleh ayahnya adalah hal yang menyebalkan.

"Dan tak manyisakan apapun untuk calon adikku?"

"Aku bisa memberinya perusahaan lain."

"Geezz, lagian aku juga tidak bisa membuat pemegang saham tunduk. Aku masih enam belas tahun."

"Kau bisa jika memulai ekspansi bisnis ke Jepang. Kebetulan kita sedang mengembangkan baterai ponsel yang lebih valid dan juga murah daripada Li-Ion."

"Dad sudah memulai penelitian tentang Lithium sulfur?"

"Kita sudah memasuki tahap produksi."

"Bagaimana bisa? Kenapa aku tidak dilibatkan?"

Shikamaru tersenyum, "waktu itu kau sedang ujian masuk MIT. Jadi aku menundanya..."

"Menunda hingga setahun?! How great is it," timpal Jun sarkastik.

"Kau bisa terlibat lebih jauh kalau kau bisa memblok pergerakan Uchiha."

"Fugaku sudah tua, dia tidak akan menganggap kita ancaman. Dia akan dengan bangga bilang kalau Lithium-Ion masih yang terbaik. Seperti Nokia pafa jamannya."

"Aku bicara tentang Sasuke."

"Heh, paman Superb?"

"Sasuke berhasil menumbangkan ayahnya pertengahan tahun kemarin."

"Lalu?"

"Kita jelas sebagai ancaman."

Jun mengerti arah pembicaraan ayahnya. Sebagai pebisnis, perubahan sekecil apapun akan membuat dampak yang besar.

"Virus Corona sudah tersebar akhir tahun kemarin. Otoritas China berusaha mengcovernya, tapi pandemi ini terus terbang hingga ke sini. Tidak lama lagi Kanada juga akan memiliki penderita. Mom memiliki kekhawatiran yang besar dan ingin pulang ke Jepang."

"Tapi ini baru Januari Dad..."

"Pumpung masih Januari. Ayo kita pulang ke Jepang."

Jun menarik napas, "aku tidak punya pilihan kan." Matanya kini bergulir ke arah jendela dan tanpa kata mantan calon anak semata wayang itu telah melangkah ke balkon kamarnya.

Shikamaru menarik napas dan memandang putranya dengan bangga, Junichiro tumbuh besar dengan dua orang manusia yang tak sempurna. Hinata dan Shikamaru Nara yang menikah terlalu muda, mengabaikan beban psikologis yang akan ditanggung mereka kelak.

"Junichiro. Kuberikan kau akses ke Chimera."

Pergerakan Junichiro terhenti. Nama satelit milik keluarganya begitu menyedot semua atensinya.

"ID-mu IronManKW01."

Jun langsung tersenyum, melangkah tergesa ke arah laptopnya. Dan mengetikkan ID yang diberikan ayahnya. Lalu senyumnya lenyap, "kenapa ada gambar Park Chanyoel?! Kenapa bukan gambarku?!"

Shikamaru terkekeh, "ganti saja sendiri."

"Terserahlah!"

****

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel