Bab 5 Hinata No Hime
Bab 5 Hinata No Hime
Pelukan itu tidak bertahan lama karena sang suami lebih gesit untuk segera melepaskan belitan tangan Ino.
"Jangan kurang ajar kepada bosmu." Ujar Shikamaru santai. "Kalau nyonya salah paham, bulan depan kau takkan sanggup beli skin care."
Gaya malas dan juga cuek suaminya membuat Hinata tersenyum, alih-alih ingin mencakar, sajian pelukan ala-ala pelakor itu malah berakhir dengan stand up komedi. Hanya suaminya yang tidak tertarik dengan perempuan yang memiliki body goal. Ya, kadang oramg jenius seleranya memang nyeleneh.
Ino mencebik. "Kau benar-benar menikahi Hinata Hyuuga? Kukira itu rumor." Sekertaris dengan dandanan yang lebih mirip dengan Amber Heard itu menyuarakan apa yang sejak tadi di dalam benaknya tanpa bisa ditahan.
Shikamaru mendengkus tak suka. Apa salahnya jika ia menikahi perempuan berjuluk tuan puteri itu. Toh nyatanya si tuan putri itu diterjunkan dari langit tepat di hadapannya dan berakhir menikahinya. Jangan lupakan bukti kongkritnya; Junichiro dan calon anak kedua mereka.
Menanggapi atmosfer panas antara bos dan anak buah, Hinata terkekeh, "silakan duduk, mau minum apa?"
Ino berbalik dan menatap Hinata dengan tatapan memelas, "lihatlah, umur kita sama, tapi kenapa kau masih imut sementara aku harus menghabiskan uangku untuk anti aging."
Hinata tertawa sambil mengibas tangannya. Merasa tidak enak karena dari tadi dia dipuji sedemikian rupa. Padahal, Hinatalah yang iri setengah mati pada rambut keemasan dan juga mata biru yang sangat indah itu.
Alih-alih menghentikan mulutnya yang dipulas dengan warna merah menyala, Ino justru makin gencar curhat betapa ia tidak percaya bahwa Hinata mau menikahi Shikamaru Nara.
Demi jagad raya yang masih dihuni olah perempuan itu, Ino mengira Shikamaru tidak berniat menikah. Bosnya itu sangat egois dan juga semaunya. Ia berpikir tidak akan ada seorang wanitapun yang sudi diduakan oleh mesin. Tapi nyatanya justru Hinatalah yang menjadi istrinya. Seorang yang terkenal baik hati, cantik, pintar memasak dan berasal dari keluarga bangsawan. Luar biasa keberuntungan bosnya.
Kali ini tanpa bisa dicegah mata biru Ino bergulir ke sebuah potret Hinata dengan background gedung pencakar langit. Merasa benar-benar iri kepada wanita yang menjadi istri bosnya. Hinata tak banyak berubah dari apa yang diingatnya semasa junior high school. Mata lebar, bibir mungil menggoda, pipi chubby yang kelihatan effortlessly angelic dengan tatapannya yang innocent. Definisi mutlak dari kecantikan murni tanpa sapuan make up.
Siapa juga yang bakal mengira kalau Hinata bahkan sudah punya anak remaja. Sementara dirinya masih begitu-begitu saja. Dibilang menikah juga belum, pacar kok rasa istri. Apalagi kalau berurusan dengan Sai, yang ada dialah yang digombali sampai lupa diresmi.
Atau dasar dirinya saja yang bodoh, mau saja dikadali.
"Eh, nggak enak ngobrol di sini. Mending di belakang aja. Santai-santai gitu." Hinata menawarkan toat yang lebih baik. Karena jujur saja ia sudah lama tidak menjamu teman perempuan. Tampaknya Ino adalah teman mengobrol yang asyik.
"boleh... boleh." Ino langsung menyambar kesempatan. Kapan lagi kan dia ngobrol dengan wanita yang kabarnya baru saja di wawancara oleh Tabloid Bazar.
"Sebentar ya. Aku mau masuk, soalnya gerah kalau pakai pakaian kantor gini." Hinata tersenyum.
"Oh, silakan."
****
Begitu masuk ke dalam, wanita yang menjadi istri Shikamaru Nara selama delapan belas tahun itu segera menyalakan laptop guna menyambungkan diri kepada anak buahnya yang sudah menunggu.
"Maaf, rapatnya kita tunda dulu sampai besok ya." Hinata membatalkan rapat virtualnya dan memilih untuk menjamu dengan baik anak buah suaminya.
Lagipula, sudah lama ia tak ngobrol dengan perempuan. Sedikit berbincang sepertinya asyik. Stress juga lama-lama hanya bicara dengan dua pria yang tak tahu diuntung.
"Untuk mengganti waktu kalian yang tersita. Silakan kalian pesan makan siang ya. Tagihannya tolong diberikan kepadaku." Hinata tersenyum penuh ketulusan. Ia sedikit merasa bersalah karena mengabaikan tugasnya dan justru mementinfkan obrolan tidak penting.
"Terimakasih, bos!" Ucap salah satu perwakilan ketua divisi.
"Baiklah. Selamat bekerja ya..." Hinata memutuskan sambungan.
****
Hinata berganti baju dengan menggunakan daster rumahan yang terbuat dari katun. Meski terlihat sederhana begitu, brand yang digunakan bukanlah brand kaleng-kaleng. Ia juga masih sempat membawa satu teko teh chamomile dengan madu, serta pai apel yang tadi pagi di buatnya sendiri.
Menikmati kudapan dengan teh sambil melihat bunga bermekaran di belakang rumah tampaknya seru.
"Bagaimana kalian bisa bertemu dan menikah?" Pertanyaan itu keluar begitu saja dari bibir cabai Ino. Ia kepo setengah mati.
"Sebetulnya malam itu aku kabur dari perjodohan dengan Naruto. Kemudian nekat menyetir sendirian mobil Neji."
"Eh, bukankah kau pernah naksir dia?" Suasanan canggung langsung mencair karena bahasa informal Ino.
"Dengar dulu..." Hinata protes ketika dia disela, "waktu itu aku kan nggak tahu kalau keluarganya itu suka ngomongin bobot, bibit, bebet."
Ino manggut-manggut. Setahunya nyonya Kushina memang agak kolot mengigat mereka keturunan ningrat.
"Bertemu nyonya Kushina membuatku paham, kalau Naruto tuh sebetulnya anak mami banget. Aku jadi benci orang kaya yang membanding-bandingkan aku dan pacarnya Naruto waktu itu."
"Terus-terus..."
"Jadi aku memutuskan keluar dari rumah dan ditampung oleh pengangguran itu." Hinata menunjuk Shikamaru dengan dagunya. Yang ditunjuk malah sudah molor gak jelas di atas sofabed.
"Sebentar-sebentar..." Ino menyela lagi, "Kau menghindari perjodohan dengan Naruto karena kamu bilang benci dengan orang kaya. Kau juga melarikan diri dan bilang kalau sengaja menyetir sendiri ke tengah hutan??"
Hinata mengangguk, "mobilku habis bensin di sekitar sini" Hinata mengendikkan bahu.
"Memasuki wilayah ini nggak gampang. Aku hampir nyasar tadi."
"Aku setuju." Hinata membenarkan. Tapi watu itu aku sudah kehilangan harapan. Dan lagipula, ada cahaya remang di sebuah pondok di tengah hutan. Jadi aku mempertaruhkan semuanya."
"Mempertaruhkan semuanya?"
"Iya aku berdoa, kalau yang menyelamatkan aku itu perempuan, maka aku akan memberinya mobil itu. Kalau laki-laki, asal dia belum beristri, aku mau dia nikahi."
"Hehhh???" Suara Ino kaget.
"Kau mau mempertaruhkan semua demi doa konyolmu?"
"Ya mau gimana lagi. Apalagi waktu itu, pondok ini cuma rumah kecil warisan orang tua dari seorang pengangguran. Dia bilang mau kerja part time kalau aku beneran mau nikah sama dia."
"Dan kau percaya??" Nada suara Ino terdengar kaget setengah mati, "rela menikahinya karena kamu kira lelakimu itu beneran pekerja part time?!"
Hinata terkekeh, ia mengangguk hingga membuat rambutnya bergoyang.
"Dengar, suamimu itu bilioner, pemilik dua perusahaan unicorn dan satu perusahaan decacorn. Dirumah meski kaya cuma ngetik-ngetik nggak jelas dia itu ngehasilin duid!
Kalau dia mau, dia bisa aja beli perusahaan Naruto. Intinya kamu buang uang sepuluh ribu dan ngejar seratus ribu. Edan! Dan kamu bilang kamu benci orang kaya??? Kamu niat merendah untuk meroket ya??"
.
*****
*) Istilah unicorn diberikan pada perusahaan rintisan yang memiliki valuasi sebesar 1 miliar dolar AS. Di Indonesia sendiri, terdapat 4 unicorn yakni Gojek, Bukalapak, Traveloka dan Tokopedia. Sedangkan di dunia, terhitung ada lebih dari 300 unicorn dengan total valuasi 1.074 miliar dolar AS.
Di atas unicorn, masih ada dua tingkat yang lebih tinggi lagi. Decacorn adalah status yang diberikan pada startup dengan nilai valuasi 10 miliar dolar AS atau 10 kali lipat dari unicorn. Dari 300 startup yang ada di dunia, ada lebih dari 15 unicorn yang telah naik menjadi decacorn.