Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 3 Pillow Talk

Bab 3 Pillow Talk

Junichiro mendesah. Sudah menduga akan berakhir seperti ini. Shino mabuk dan meracau, begitu pula Sai yang kelihatannya lebih elegan, nyaris tertidur di tempat itu. Tapi masih cukup waras untuk diberi pertanyaan apapun dan tidak melontarkan pertanyaan random. Seperti; "Jun, menurutmu adikmu cewek atau cowok??"

Ya mana Jun tahu, fetus itu masih berusia sebelas minggu! Lagipula akan tampak bodoh kalau mengomentari orang mabuk. Buang-buang tenaga saja.

"Shika hebat juga ya." Shino membelokkan topik setelah pertanyaan bodohnya.

"Hmm。" Sai membenarkan.

"Dia pasti akan memprediksi hal ini. Makanya kabur." Tangan Sai menari-nari di udara seolah sedang menjadi konduktor sebuah orkestra.

"Dia hanya tidak suka direpotkan." Jun menimpali dan bergegas menghampiri waitres untuk mencarikan dua taxi.

"Meh! Dengan kepribadian buruknya yang tidak suka repot itu, pantasnya Shikamaru memang di hutan, hiks." Shino cegukan, mengibas tangannya dan membayangkan manusia rusa itu berada di habitatnya.

"Dia memang berada di hutan, kan." Sai terkekeh, "bukan begitu, Jun?"

"Ya." Jawab Jun ogah-ogahan dan menyeret Shino memasuki taxi. Dia menyerahkan kartu nama Shino agar mengantar pria tengah baya itu pulang ke rumah istri cantiknya.

Kini tinggal Sai, si pengacara lajang yang tinggal bersama kekasihnya yang berisik. Menimbang-nimbang, antara menelepon kekasih Sai, atau menyuruh sopir saja. Sebaiknya memang ia menyerahkan pria itu ke sopir taxi saja, Jun benci drama.

Setelah memastikan taxi berjalan menuju ke apartemen mewah yang tertera di kartu nama pria itu, Jun menyewa taxi lain untuk ke hotel. The Ritz-Carlton, Tokyo di Asakasa oke juga.

Sayang kan, kalau kartu ayahnya tidak terpakai. Sepertinya dia juga akan membeli beberapa kaos dan

celana baru. Jangan lupakan sneakers *didas yang baru muncul itu! Jun tak bisa menahan cengiran di bibirnya. Setelah itu, baru... Pekerjaan yang sesungguhnya menanti. Tentu saja, mengembalikan trench coat ini pada pemiliknya.

Belum apa-apa, dia sudah tidak sabar menguras isi tabungan ayahnya.

****

Nyaris tengah malam terbangun karena kehausan Hinata merasa jantungnya berdetak kencang karena mendapati ruang kerja suaminya terbuka. Bukan apa-apa tapi setahunya ruang kerja suaminya hanya terbuka menggunakan pindai DnA.

Merasa aneh, ia segera bergegas ke garasi dan mendapati mobil SUV suaminya terparkir miring. Tanda terburu-buru diparkir hingga tidak rapi begitu. Ingin rasanya Hinata mengambil kunci dan membetulkan mobil berwarna hitam yang dilapisi kaca anti peluru. Sayangnya, tentu saja, kunci pada empunya yang Hinata yakin sekarang ada di ruangan berkerja.

****

Ketika pintu hitam itu tersibak, Hinata mendapati suaminya bergelung di escape zone-begitu pria itu menyebut, dan sebuah kesadaran hinggap dikepalanya karena anaknya tidak ada. Kepanikan menderanya, karena seingatnya, Junichiro baru satu bulan tinggal di Jepang.

"Di mana Junichiro?" Hinata menyibak selimut yang menutupi kepala suaminya.

Sang suami mendesis kesal, "Tokyo." Jawabnya asal.

"Kamu meninggalkan Junichiro di sana??" Hinata berkacak pinggang, matanya mendelik.

Yang ditanya justru pura-pura tidak mendengar dan bergelung dalam selimut.

"Katakan padaku? Kenapa?! Dia masih enam belas tahun, astaga!"

"Dia tidak akan mati."

"Harusnya aku sadar kenapa kau cuma memakai rajutan itu, tentu saja karena kau mau tidur!" Hinata mendengkus.

"Hinata."

"Apa?!" Tanya Hinata galak.

"Ini kesempatanmu menyerangku."

"Ck.. ck.. kau masih bilang begitu ketika anakmu berada di antah berantah? Dia bisa dalam bahaya!"

"Dia cukup hebat dalam menghabiskan saldo kartuku. Jangan khawatir. Lagipula Shino dan Sai takkan membiarkan anak itu lepas pengawasan."

"Sementara kau ayahnya malah bermalas-malas di sini??"

"Aku tidak sedang bermalasan. Aku sedang mengatur strategi."

"Bagian mana dalam kalimatmu sedari tadi yang mengatur strategi, apakah ajakan bercinta juga strategimu?!"

"Ck!"

"Kau ingin bilang aku merepotkan begitu?!" Hinata murka langsung menarik paksa selimut yang membuntal badannya.

Pria itu mendesah lelah, bahkan ketika ia tidak berbuat onar pun, istrinya masih marah. Astaga, hormon yang mengerikan.

"Jawab!"

Lelaki itu duduk, setelah menarik napas panjang. Ia akan melakukan pekerjaan maha berat; memberi detail pikirannya pada sang istri.

"Jun sedang melakukan tugasnya. Menjadi delegasi S Circle."

Hinata membuka mulutnya, tapi kemudian terkatup lagi, tanda ia terkejut.

"Uchiha melakukan pembelian alat penyadap mikro yang terlalu konstan dalam tiga tahun terakhir. Tahun ini dia bahkan membeli dua kali lebih banyak. Aku sudah menduga kalau sebenarnya ia tak hanya ingin menggulingkan ayahnya, tapi juga mulai mengincar banyak sektor untuk dimonopoli."

"Dan itu di mulai dari vaksin Covid 19?" Hinata cepat tanggap.

Suaminya mengangguk, "Jun pasti sudah sadar apa yang terjadi sekarang. Jadi dia akan mengalihkan perhatian dengan mengosongkan rekeningku."

"Dengan membawa penyadap itu kemana-mana..." Hinata menganga, tidak tahu bahwa bayi kecilnya punya otak serupa suaminya.

Suaminya terkekeh, "aku tidak bisa diwakilkan dengan barangku sendiri kalau aku punya legitimasi lebih valid. Dan juga lebih cerdik."

"Jun pasti kesal sekarang."

"Tsk! Dia adalah orang yang paling diuntungkan sekarang."

"Baiklah. Kau bisa tidur kembali." Hinata meraih selimut yang tergeletak di lantai dan menyerahkannya kembali kepada suaminya.

Suaminya tersenyum senang dan melanjutkan lagi tidurnya yang terganggu.

Hinata mendesah dan keluar dari ruang kesayangan sang suami. Setelah berhasil menutup pintunya, lamat-lamat ia mendengar dumelan sang suami.

"Merepotkan!"

"Aku mendengarmu, De'r!"

"Ups, sorry, Darl."

****

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel