Bab 9 Tidak Tahu Diri
Bab 9 Tidak Tahu Diri
"Ketika kita mencintai seseorang, cintai dia apa adanya. Jangan kita berharap untuk dia sempurna. Karena sempurna itu, ketika kita mencintai tanpa syarat."
-Cinta Dibalik Awan-
"Apa kamu liat-liat!" seru Nero sambil mencolok mata laki-laki yang sangat disukai oleh Ocha dengan pulpen. "Hanya karena kamu bisa bernyanyi dan membuat hati perempuan luluh, bukan berarti kamu lebih tampan dari aku. Bahkan pacar aku saja lebih banyak darimu."
Roland melirik Nero lalu mendesah, tidak heran jika Nero berubah jadi gila hanya karena seorang aktor Korea yang dikagumi oleh Ocha. Memerhatikan Pak Ustman hanya membuat matanya jadi berat, mendengar ocehan Nero hanya membuat telinganya kesemutan, tapi kalau tidur, Roland sama sekali tidak bisa melakukannya mengi-ngat mata Pak Ustman yang begitu tajam.
Terpaksa Roland lebih memilih mendengarkan ocehan Nero. Setidaknya dia tidak akan mengantuk.
"Meski kamu colok matanya berulang kali, percuma, tidak akan membuat laki-laki tiba-tiba buta."
Roland ikut melihat foto aktor Kim Woo Bin yang Nero print di warnet dekat sekolah. Wajah tampan—setidaknya menurut Ocha—Kim Woo Bin sudah tidak berupa lagi. Di kepalanya terdapat tanduk, di sudut senyum bibir Kim Woo Bin terdapat taring panjang, hidungnya digambar ingusan, di pipi ada bintik-bintik menyerupai jerawat, kedua matanya dicolok hingga bolong. Roland menggelengkan kepala, sahabatnya itu memang terlalu agresif.
"Kamu tau apa bedanya Kim Woo Bin denganmu?"
Nero langsung memandang Roland.
"... Kim Woo Bin lebih pintar dari kamu. Makanya dia bisa jadi aktor terkenal."
Rahang Nero mengeras, dia bergumam pelan mengenai tipe laki-laki Ocha yang ternyata suka sama laki-laki pintar. "Berarti kalau aku pintar, Ocha bakalan suka padku. Ahh, ngomong-ngomong siapa yang jadi juara sekolah?"
Sebelah alis Roland terangkat. "Mau apa kamu?"
"Mau aku keluarin dari sekolah supaya Ocha tidak suka padanya."
Roland hanya bisa membenturkan kepala ke atas meja lalu mendesah. Tidak pernah menyangka kalau Nero akan sebodoh ini.
"Astaga, pantas saja Ocha tidak suka sama kamu."
Nero ikut mendesah, "Ya ampun , jangan bikin aku bingung deh. Maksudnya apa?"
Kemudian dengan sangat sabar Roland menjelaskan cara mendapatkan hati perempuan dengan benar. Berdasarkan dari artikel yang Roland baca, cara utama mendapatkan hati perempuan yaitu dengan memperhatikan perempuan tersebut, ajak dia berkencan ...
"Ck, itu sudah terlalu biasa. aku itu sukanya yang luar biasa."
Roland berdecak, "Tererah kamu saja deh."
Nero mendengus, menyandar ke kursi sambil memperhatikan Pak Ustman di depan sedang menjelaskan cara menyelesaikan contoh soal fisika. Ocha suka laki-laki pintar, maka dari itu Nero juga harus jadi pintar. Tetapi, rasanya pintar dalam bidang fisika tidak mungkin. Satu menit memerhatikan soal fisika di papan tulis membuat matanya jadi berat.
"Kenapa ya fisika sama Ocha itu sama?" kata Nero begitu berhasil keluar dari kelas sekaligus keluar dari penjelasan Pak Ustman yang sama sekali tidak bisa dia mengerti. "Sama-sama sulit untuk didapatkan."
"Kalau mudah didapatkan tidak akan ada usaha."
Nero berhenti sesaat ketika melihat Tian melambaikan tangan, memberi kode agar duduk bersamanya. Tidak punya pilihan lain karena kantin penuh, Nero dan Roland berjalan ke arah bangku yang ditempati oleh Tian.
"Muka kamu kenapa? Dari tadi aku perhatikan cemberut terus."
Nero memandang Tian lama. "Yan, aku tidak menyangka kalau kamu segitu perhatiannya padaku. Apa kamu suka padaku? Tapi maaf aja, aku tidak bisa balas perasaan kamu. Hati aku sudah untuk Ocha aja."
Mulut Tian menganga hingga baksonya turun kembali ke mangkuk. Namun buru-buru Tian menyuap kembali hingga membuat Roland mengernyit jijik.
"Jorok sekali sih kamu."
"Kenapa? Kamu mau baksoku? Nih, aku kasih gratis."
"Sial!"
Tian mendengus, dia kembali memandang Nero namun tidak berkata apa-apa. Takutnya Nero salah pengetian lagi seperti tadi. Lebih baik dia diam saja. Ketika dia hendak bertanya sesuatu pada Nero, tiba-tiba kantin yang semula riuh semakin riuh ketika segerombolan laki-laki datang.
Bahu Nero langsung lemas, paling tidak suka pada keramaian apalagi gerombolan laki-laki yang datang tukang buat onar.
"Sudah aku bilang 'kan kita makan di kantin belakang aja."
"Kenapa si Ares berkumpul dengan mereka?"
Roland menaikan sebelah alis, menatap Ares yang dirangkul secara paksa oleh anak kelas 12. "Dia gabung dengan kakak kelas?"
Nero ikut melihat ke belakang, gerombolan yang datang memang anak-anak seangkatannya, hanya Ares satu-satunya laki-laki paling muda alias satu tingkat di bawah mereka seperti halnya Ocha—hanya saja kalau Ocha secara ajaib lompat kelas jadi kelas 12 karena otaknya genius makanya bisa lulus tahun ini.
Bibir Nero mengerucut, menyadari ke mana perginya Ares setiap malam dan membuat Zia khawatir.
"Anak itu memang tidak punya pengertian." Nero kembali berbalik, tidak lagi tertarik dengan gerombolan itu. "Yan, pesenin aku bakso tahu dong. Pake lontong, ya."
Tian hanya mengangguk, terlalu terbiasa disuruh oleh Nero. Namun ketika dia hendak pergi ke gerobak tukang bakso tahu, salah satu gerombolan laki-laki yang duduk di pojok kiri kantin berseru, meminta Tian untuk memesankan bakso tahu juga lima porsi.
"Uangnya mana?"
"Dari kamu."
Tian memutar bola mata. "aku lagi tidak punya uang."
"Anak Hakim Agung masa tidak punya uang."
Nero mendesah, dia beranjak lalu mendatangi gerobak penjual bakso tahu. "Mang, sepuluh porsi, ya. Duduknya di sana." Nero menunjuk meja pojok kiri kantin. Kemudian pandangannya tertuju pada Roland dan Tian. "Pindah ke sana."
Nero berjalan ke arah bangku di pojok kantin diikuti oleh Roland dan Tian. Keadaan jadi sunyi senyap saat ketiga laki-laki itu duduk bersama segerombolan anak-anak kelas 12 yang suka bikin onar.
"Kali ini aku yang teraktir. Tapi lain kali jangan ngehina temanku sampe bawa-bawa kerjaan ayahnya kalau tidak mau tangan kalian patah." Nero berkata datar namun tak ayal membuat semua orang merinding.
Tian menatap Nero penuh kekaguman. "Ner ..."
"Nanti kamu ganti uangku yang hilang karena sepuluh porsi bakso tahu."
Tian langsung men-cebik, rasa kagum terhadap Nero langsung pupus. "Jiah, pelit sekali."
"Bukan pelit. aku lagi bokek, tabungan aku ludes dipakai untuk beli si Rossi sama bayar kontrakan. Ngertiin aku dikit. Bukannya kamu suka padaku?"
"Sialan, sembarangan sekali sih kamu ngomong. Jangan bikin orang-orang salah paham. aku tidak suka sama kamu."
"Berarti kamu benci sama aku?"
Tian melengos, sepertinya EQ Nero jauh dibawah rata-rata. Daripada mendengar balasan Nero yang membuat kepalanya pusing, lebih baik dia ikut memakan bakso tahu seperti yang lain.
Nero tidak memedulikan berbagai ocehan serta umpatan yang dia dengar di sekelilingnya. Perhatiannya hanya tertuju pada bakso tahu di depan, hampir habis namun Nero masih merasa lapar. Mungkin karena tadi pagi dia tidak makan apa pun mengingat telat bangun sehingga datang terlambat ke sekolah juga menghilangkan kesempatan berangkat bareng Ocha.
"Ehh, si Riko pake motor baru? sial, imut sekali motornya."
"Heeh, aku denger tuh motor punya anak sekolah ini. Si Riko emang suka maling motor, mentang-mentang tidak ada orang yang berani ngelawan. ayahnya kepala polisi, Sialan."
"Res, bukannya si Riko juga nantang kamu? aku rasa dia suka sama motor kamu. Hati-hati aja!"
Ares tersenyum kecil, sesaat perhatiannya tertuju pada Nero di ujung meja, sama sekali tidak tertarik dengan keramaian di sekeliling. "aku tidak akan biarin dia rebut motor aku."
"Huuuu!!!"
Ketika bakso tahu Nero sudah habis, laki-laki itu beranjak berdiri, langsung diikuti oleh Roland dan Tian.
"Eh, Ner. Katanya kamu mau ikut tawuran? Beneran?" Salah satu dari mereka bertanya.
Nero yang tadinya ingin pergi jadi tidak jadi. "Kenapa? kamu tidak suka?"
"Whoahh, jangan salah paham. Kita malah seneng kalau kamu ikutan. Garuda pasti bakalan terkejut."
Nero tersenyum miring, dia menatap sang ketua gerombolan dengan pan-dangan datar. "Jangan banyak berharap sama aku. aku ikutan karena motor yang dipake sama Riko itu punya aku. Dan aku bakalan ambil kembali motor aku tidak peduli kalau ayah Riko itu kepala polisi atau bukan. Kalau mau, aku bisa minta ayah buat nurunin jabatan ayahnya Riko."
Yang lain hanya menganga, Nero memang tidak suka kekerasan, tapi sekali melakukan kekerasan, maka semuanya akan tamat. Bukan hanya fisik, kadang jika amarah Nero tidak bisa dibendung, laki-laki itu kadang memanfaatkan pengaruh serta kekayaan Aldo, sang ayah, dengan menghancurkan hidup seseorang.
"Hubungi aku kalau Riko punya niat ngembaliin motor aku tanpa ada kekerasan," kata Nero—entah sejak kapan mengambil ponsel Cepi—lalu melempar ponsel Cepi ke atas meja setelah memasukan nomor teleponnya.
Cepi langsung memandang ponsel dengan sorot kagum, terlalu bahagia bisa mendapatkan nomor ponsel asli Nero.
Nero menyuruh Tian dan Roland pergi dahulu karena dia ingin pergi ke toilet. Namun ketika dia melewati toilet perempuan, dia mendengar umpatan kasar, awalnya Nero tidak terlalu peduli namun saat telinganya mendengar suara lembut yang tidak asing di pendengarannya. Tanpa banyak kata dia menendang pintu toilet yang terkunci hingga membuat beberapa orang di dalam toilet berjengit kaget.
Pandangan Nero hanya tertuju pada perempuan yang berdiri menyandar ke dinding dengan wajah ketakutan. Beberapa helai rambut terlepas dari ikatan, bahkan bajunya pun tampak basah. Sontak rahang Nero mengeras.
"Nero ..." seru Nadia hendak merangkul tangan Nero namun ditepis oleh laki-laki itu cukup kasar.
"Kamu ke mana aja? Kenapa chat aku tidak dibaca-baca."
Nero tidak mendengarkan ocehan Nadia, perempuan terakhir yang berpacaran dengan Nero tapi putus karena Nero merasa bosan dengan tingkahnya yang keterlaluan. Tatapan laki-laki itu hanya tertuju pada Ocha.
"Kalian apain dia?" Suara Nero begitu dingin, ekspresi lembut dan ramahnya mendadak hilang tergantikan dengan ekspresi dingin.
Nadia kembali memandang Ocha mencemooh. "Aku tidak suka. Dia terus deketin kamu, tidak punya harga diri sekali. Kamu mutusin aku pasti gara-gara dia, kan? Aku mau ngasih dia pelajaran biar tidak ngelunjak."
Nero menahan amarah, kenapa juga Ocha tidak melawan geng Nadia. Padahal setahunya saat di rumah perempuan itu sebelas-duabelas dengan harimau.
"Pergi!"
Tapi, Ner ..."
"Pergi dari hadapan aku sebelum aku patahin tangan kalian satu per satu."
Nadia dan dua teman-nya tidak punya pilihan lain selain pergi, namun sebelum keluar, Nadia memandang Ocha jijik sambil bergumam 'tidak tahu diri'.
"Baju kamu basah. Pulang aja, nanti aku ..."
Mendadak perkataan Nero hilang saat melihat mata sembab Ocha, apa perempuan itu menangis? Nero mengerjap kaget.
"Jangan sok perhatian sama aku." Nada Ocha tidak kalah dingin dengan suara Nero saat mengusir Nadia.
"Kamu liat 'kan akibatnya. Gara-gara kamu deketin aku, mantan-mantan kamu yang gila ngebully aku."
Nero tidak bisa menjawab.
"Makanya udah aku bilang, jauhi aku! aku mau hidup tenang, tidak kayak gini!" Ocha terengah. "Gara-gara kamu hidup aku jadi menderita! Jangan pernah deketin aku lagi!"
Lagi-lagi Nero terdiam, menatap kosong lantai toilet lalu rahangnya mengeras. Tanpa sadar kedua tangannya terkepal erat. Tidak akan membiarkan orang-orang yang membully Ocha hidup tenang.
"Nadia ..." Nero bergumam. "Ngapain kamu nyari urusan sama aku." Dengan langkah lebar, Nero keluar dari toilet perempuan lantas menelepon sese-orang. "Siang, Pak Jamal. Saya Vinero. Bukan, saya tidak nyari ayah. Saya ingin minta tolong sama Bapak. Saya ingin siswa bernama Nadia Hartati dikeluarin dari sekolah. Sekarang juga ..."