Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 8 Ketika Aku Masih Kecil

Bab 8 Ketika Aku Masih Kecil

"Persahabatan itu ibarat karang besar. Walau diterpa ombak besar, tapi tetap utuh dalam menjaga kesolidan."

-Toy Story-

"Ya Tuhan, aku tidak nyangka kalau abangmu mesum." Ares menggeleng saat Nero begitu semangat membuka sesuatu di ponsel ber-wallpaper perempuan berbi-kini—yang sempat Ares curigai sebagai ponsel Nero. laki-lakiitu mendengus, padahal dia sangat ber-harap jika ponsel itu benar-benar milik Nero, dengan begitu dia bisa mengejek Nero habis-habisan.

Sayangnya Ares tidak bisa melaksankan niatnya. Nero terlalu susah di-jatuhkan.

Meski demikian, Ares tidak akan menyerahkan Ocha pada laki-laki sinting macam Nero.

"Kamu akan terkejut kalau tau seperti apa dia." Nero menyahut, terlalu asik dengan ponsel di tangannya. Ada banyak rahasia di ponsel Farel yang bisa Nero jadikan sebagai senjata jika sewaktu-waktu Farel mengancamnya seperti dahulu.

Sayang, yang didapat Nero dari ponsel Farel hanya perempuan berbikini dan beberapa kontak nomor asing.

laki-lakiitu mendesah, pantas saja akhir-akhir ini dia tidak bisa menghubungi Farel. Rupanya ponsel sepupunya itu kebawa olehnya, tapi kapan? Nero mengingat-ngingat, terakhir kali bertemu dengan Farel kemarin lusa saat Farel mengomel panjang lebar karena Nero meninggalkan Dino begitu saja lalu pergi sambil mengumpat.

"Dia bahkan tidak sadar ponselnya ketinggalan." Nero berdecak.

"Kamu benar-benar tidak suka pada perempuan berbikini, kan?" Tiba-tiba Ocha bertanya setelah puas mengamati lukisan yang dibuat Nero, dia harus mengakui jika lukisan Nero sangatlah bagus.

Ares berdecak, "Ck, semua laki-laki juga pasti suka perempuan berbikini, Cha."

Ocha mendelik.

Ares langsung diam. Menyadari kalau Ocha masih marah karena dia menuduh Nero yang tidak-tidak. laki-lakiitu menggersah lalu mengumpat dalam hati saat menyadari kalau pandangan Ocha terhadap Nero mulai berubah. Dia sama sekali tidak suka! Tapi, bagaimana caranya dia mengusir Nero yang selalu terlihat sempurna di mata para perempuan?

"Aku baru tau kalau kamu bisa melukis." Jelas perkataan Ocha tertuju pada Nero.

Nero tersenyum sangat lebar, dia tidak sedang tertarik pada ponsel Farel yang isinya foto perempuan bugil semua. "Dulu ayah aku suka meelukis, beliau pernah mengajarku ketika aku masih kecil."

"Ayahmu juga seorang pelukis?"

Nero tersenyum aneh, dia melirik Ares sekilas. "Jelas bukan. Ayahku biasa ... pebisnis, beliau cuma ... hobi melukis aja. Tapi itu dulu, sekarang udah tidak."

"Kok ..."

Lagi-lagi Nero tersenyum aneh sekali. "Ya, beliau berhenti melukis sejak ... Bunda meninggal."

Mendadak suasana jadi sangat hening, Ares yang tadinya ingin mengejek Nero jadi tidak jadi setelah mendengar kalimat terakhir laki-laki itu. Ocha menyadari kalau Nero tampak enggan membicarakan ayahnya, bahkan dia baru tahu kalau bundanya Nero sudah meninggal.

Tetapi kenapa Nero terlihat baik-baik saja selama ini?

Apa memang para laki-laki bisa menyembunyikan kesedihannya dengan teramat baik? Jelas Ocha bisa merasakan kalau Nero sangat sedih kehilangan sang bunda.

Mungkin saja, pikir Ocha muram. Ares saja terlihat cukup baik-baik, berbeda dengan dirinya yang masih sedih kehi-langan sang ayah.

"Kenapa aku jadi merinding, ya." Ares mengusap leher, berusaha mencairkan suasana hening yang terjadi. Tambah merinding sedang ketika Ocha dan Nero menatapnya secara bersamaan.

Hampir saja Ares pamit pergi karena tidak tahan dengan suasana men-cengkam saat Resti berseru dari luar rumah. Kening Ares sontak berkerut melihat laki-laki yang selalu bersama Nero di sekolah berjalan di samping Resti.

"Muka kamu kenapa, Land?" tanya Nero, menaikan sebelah alis melihat penampilan acak-acakan Roland, wajahnya pun tampak begitu pucat.

Roland mendesis, kedua matanya bagaikan mata iblis yang siap memakan jiwa manusia. "Ini semua gara-gara kamu, Kampret!"

Nero sama sekali tidak mengerti maksud Roland, dia menatap sang sahabat polos. "Kok aku? Aku tidak pernah membuatmu kacau seperti itu."

Wajah Roland memerah, andaikan tidak ada Resti bersama mereka, sudah Roland habisi Nero hingga tak bersisa. "Kenapa kamu suruh aku ke sini, hah?! Gara-gara kamu nyuruh aku bawa kue brownies, orang gila yang mangkal di depan mengejarku sampai aku ... sampai aku ..."

Nero menelengkan kepala, memenunggu cerita Roland dengan sangat sabar. Bisa dia tahu kalau Roland pasti sangat terguncang mengingat kembali peristiwa yang mungkin saja paling memalukan di hidup laki-laki itu.

"... Sampai ibu menemukan Roland sedang dipeluk sama orang gila," sambung Resti seolah mengerti kalau Roland tidak sanggup meneruskan cerita.

Ocha dan Ares menganga kaget hampir tidak bisa menahan tawa geli, sementara Nero mendesah lantas beranjak mendekati Roland. Dia berdecak sebentar lalu memluk Roland sekilas.

"Ck, maaf. Makanya kalau datang naik motor atau mobil. Kan, udah aku bilang kalau tempat ini rawan. Kamu sih tidak ngerti."

Roland mendengus, "Motorku sedang di bengkel, mobilku bannya kempis. tidak ada pilihan selain naik taksi sampai depan."

Nero hanya meng-gelengkan kepala. "Terus browniesnya masih ada?"

Mendadak wajah Ro-land kembali sebal. "Menurutmu?!"

"Yahh, padahal tadinya brownies itu mau aku berikan ke Tante Resti." Nero menatap Resti seperti anak kecil ketahuan mencuri mangga tetangga. "Maaf, padahal Tante suka sekali brownies, tapi saya malah ..."

Ares mencibiri sikap Nero yang bermuka dua sungguh sangat menjijikan. Dia bahkan tidak tahu kalau laki-laki paling menakutkan di sekolah ternyata seperti itu. Sayangnya Ocha tidak berpendapat sama dengan Ares, dia menatap Nero dengan senyuman kecil.

"Tidak apa , tidak usah repot-repot. Lagi pula Tante bisa membuat brownies untuk kalian." Resti menunjukan kantong keresek ke depan Roland dan Nero. "Kebetulan Tante baru belanja. Ayo!"

Senyum kedua laki-laki itu melebar, dengan riang mereka berjalan mengikuti Resti ke dalam rumah tanpa sungkan—lagi-lagi membuat Ares kesal setengah mati—bahkan Roland mena-warkan diri untuk mem-bantu Resti membuat kue.

"Dia benar-benar Roland temenmu?" Ares menatap Roland tidak percaya, setahunya sikap Roland di sekolah tidak jauh beda dengan Nero, bar-bar dan sok jadi penguasa sekolah.

Nero kembali meng-hempaskan tubuh ke atas sofa dengan mata me-ngamati Roland. "Kenapa? Dari dulu Roland suka masak. Setauku, cita-citanya mau menjadi chef yang membuka restoran di mana-mana."

Ares berdecak, "Aku tidak yakin dia bisa mewujudkannya."

Ocha menyikut rusuk Ares hingga laki-laki itu mengaduh sakit. "Jangan meremehkan mimpi orang. Kalau Roland lebih sukses darimu, baru tau rasa."

Ares cemberut, dia ikut duduk di samping Nero lantas mengamati Ocha di depan. Sibuk dengan sesuatu yang tidak dia mengerti. Tidak lama kemudian tivi dinyalakan menampilkan seorang lelaki sedang bernyanyi di atas panggung disaksikan oleh seorang wanita.

Ares langsung cemberut. "Yahh, lebih seru nonton Naruto daripada laki-laki payah seperti dia."

Nero menaikan sebelah alis, tertarik dengan drama Korea yang ditonton Ocha. Dia bahkan tidak tahu kalau Ocha suka nonton drama Korea. Tapi, ngomong-ngomong, apa menariknya? Untuk kali ini dia setuju dengan Ares; lebih bagusan nonton Naruto daripada laki-laki yang suka nangis tidak jelas.

"Iya, kebetulan aku sudah mendownload episode terbaru Naruto," seru Nero semangat sambil mengacungkan USB ke depan Ares.

Ares membuang rasa sebalnya pada Nero dengan tersenyum sangat lebar melihat USB tersebut. "Whoahh, ayo, kita tonton!!"

Nero hendak berjalan menuju televisi namun Ocha malah memukul kepalanya, perempuan itu juga memukul kepala Ares.

"Awas saja kalau kalian nonton yang tidak-tidak di rumahku."

"Yahh, film yang seperti itu tidak seru. tidak ada jurus-jurusnya."

Ares mengangguk setuju. "Iya, di film seperti itu mana ada Tsunade, yang berdada besar."

Ocha mendelik, sekali sedang dia menggeplak kepala Ares. "Dasar laki-laki! Di mana-mana sukanya dada dan bokong."

"Aku mah tidak suka yang seperti itu. Aku meliat perempuan dengan apa adanya." Nero tersenyum lebar, ditanggapi dengan decakan berjamaah oleh Ocha dan Ares.

"Alahh, jangan sok suci. Aku tau setiap malam kamu suka nonton film biru, kan."

Nero menggeleng, antara kesal dan malas. "Terserah kamu aja deh, yang penting kamu bahagia." Nero hendak kembali berjalan menuju TV, tetapi lagi-lagi dicegah oleh Ocha.

"Ini rumahku! Kalau kalian mau nonton anime, di rumah sendiri sana. Menganggu orang saja!"

Tidak bisa melawan, Nero dan Ares terpaksa duduk di sofa sambil menonton drama Korea yang entah apa judulnya, mereka sama sekali tidak peduli. Karena bosan, mereka malah mengomentari drama tersebut seenak jidat hingga membuat Ocha marah lalu melempari mereka dengan bantal sofa.

"Sekali lagi kalian menghina oppa-ku. Aku tidak akan segan-segan untuk mengunci pintu rumahku untuk kalian."

Nero mengerutkan kening. "Dia oppa? Kakek maksudnya? Whoah, hebat banget operasi plastik di Korea. Bisa bikin kakek-kakek jadi muda seperti itu. Astaga, aku harus coba. Siapa tau muka aku bisa mirip seperti Donal Trump atau Jhony Deep."

"Yaelahh Nero, aku tidak pernah tau kalau kamu sebodoh itu." Ares menggelengkan kepala. "Oppa yang dimaksud sama Ocha itu, bapak-bapak yang oplas jadi anak muda gitu."

"Hah? Bedanya kakek-kakek sama bapak-bapak apa?"

Ares berpikir sesaat. "Perbedaannya dari usia mereka. Jadi kemutakhiran teknologi oplas mereka tidak terlalu menjamin."

Nero menganggukan kepala, lalu mengamati sedang drama tersebut. "Apa si laki-laki itu tidak marah disebut 'Oppa' terus oleh perempuannya?"

Ares mengangkat bahu. "Tidak mungkin marah lha. Kenyataannya, si laki-laki itu memang bapak-bapak, kan?"

Nero tidak langsung merespon, dia menatap Ares lama. "Ngomong-ngomong, Res. Kok, kamu tau hal yang begini. Jangan-jangan kamu ... mau jadi dokter plastik, ya. Astaga, Res."

Ares langsung memukul-loyor kepala Nero. "Ya Tuhan, aku masih ada cita-cita yang lebih mulia daripada itu."

Nero mencebik, "Dokter plastik juga mulia, kok. Bisa membuat perempuan jadi tambah cantik."

Ares hanya mendengus, sedangkan Ocha hanya bisa mendesah. Tidak tahu lagi harus berbuat apa pada dua laki-laki dengan tingkat kewarasan di bawah rata-rata.

Roland duduk di samping Nero setelah selesai membantu Resti membuat kue brownies, dia ikut melihat drama yang sedang ditonton oleh Ocha lalu mendesah. "Padahal hari ini ada pertandingan bola."

Dari awal Ocha sudah mengira jika Roland akan ikut-ikutan mengoceh tidak jelas mengenai drama yang ditonton. Karena tidak tahan, dia menyuruh mereka untuk pergi saja jika tidak suka dengan apa yang ditontonnya.

"Ngebosenin, ceritanya juga gitu-gitu aja, flat."

"Bagusan cerita Sinchan daripada ..."

"Pergi sana kalau kalian tidak suka!" Ocha sudah tidak tahan lagi, ketiga laki-laki itu terlalu bersikap seenaknya sehingga lupa sedang di mana mereka berada.

Nero tersenyum lebar, dia merebut laptop di pangkuan Ares lalu memberikan laptop tersebut pada Ocha.

"Ocha Sayang, kalau kamu mau nonton drama tanpa diganggu oleh kami. Mendingan kamu nonton dramanya di laptop aja."

Ocha mendelik membuat Nero ketakutan, para laki-laki langsung menunduk sambil menghela napas.

Roland menatap Nero dan Ares bergantian lalu menggelengkan kepala.

"Pantes saja kalian ditolak oleh Ocha."

"Apa?!" Nero dan Ares merespon bersamaan.

Roland memutar bola mata. "Aku tau kenapa Ocha selalu menolak kalian." Dia berdecak sambil menggelengkan kepala. "Kalau kalian mau mendapatkan hati Ocha. Harusnya kalian bisa mengerti Ocha. Seharusnya ikut suka apa yang Ocha suka, bukannya egois."

Nero menatap Roland lama. "Jadi, aku harus ikut suka nonton drama Korea yang membosankan itu? Hah, yang benar saja!"

Roland melirik Ocha. "Berarti kamu tidak memiliki kesempatan untuk mendapatkan hatinya Ocha."

"Sialan. Ahh, tapi ..." Nero memandang Ares. "Sebagai temennya Ocha, apa kamu tau apa aja yang disukai Ocha selain nonton drama sentimentil?"

Ares berpikir sesaat. "Setau aku, Ocha cuma suka menonton drama Korea dan belanja baju perempuan."

Mulut Nero langsung terbuka. "Ohhh, berarti aku juga harus suka belanja baju perempuan." Dia menggaruk rambut. "Tapi, buat apa aku belanja baju perempuan? Apa bajunya aku harus memakai pakaian perempuan stiap hari?"

Roland langsung menutup kedua mata, berharap agar diberi kesabaran lebih dalam menghadapi keabnormalan pemikiran sahabat baiknya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel