Bab 7 Belajar Melukis
Bab 7 Belajar Melukis
"Mereka yang kasar terhadapmu, itu karena mereka cemburu. Karena kamu sangat beruntung. Jadi jangan membenci mereka, jangan mengasari mereka dan kasihanilah mereka." -I Can Hear Your Voice-
Ocha menopang dagu dengan ekspresi bosan, memutar bola mata pada kedua laki-laki yang pagi ini sudah stand by di meja makan rumahnya sambil cengengesan tidak jelas atau sesekali bertengkar, merebut perhatian Resti agar terlihat seperti anak baik nan patuh di hadapan Mama perempuan yang mereka sukai.
"Untuk apa sih kalian pagi-pagi sudah ke sini. Menggangguku saja," gerutu Ocha, tidak tahan sedang melihat dua laki-laki sinting itu di rumahnya. Ini hari minggu. Hari libur Ocha yang artinya perempuan itu tidak mau diganggu oleh siapa pun kecuali oleh Resti atau Zia.
Kemudian Ocha menatap Nero sepenuhnya, apa laki-laki itu sengaja bangun pagi sekali lalu pergi ke rumahnya? Ocha juga sedikit bingung saat melihat Nero datang bersamaan dengan Ares, seolah mereka tinggal bersama.
"Kamu tidak lelah pagi-pagi datang ke rumahku?"
Nero langsung menggeleng. "Tentu saja tidak. tidak ada kata lelah dalam hidup aku kalau itu menyangkut kamu."
Ares langsung pura-pura muntah. "Sial, menjijikan sekali sih." Dia mendelik. "Panjang ceritanya."
Nero mengerutkan kening. "Maksudnya?"
"Nak Nero pindah ke rumah Ares kemarin," jawab Resti, setelah selesai membuat sarapan pagi untuk tamu-tamunya.
"APA?!" Mata Ocha membelalak kaget. "Kamu pindah ke rumah Ares? Bagaimana bisa?"
"Tentu aja bisa. Tinggal bawa barang-barangku ke rumah Mama, beres deh. Tapi tidak dibawa semua juga sih. Rumah Mama akan penuh kalau aku bawa semua barangku."
Ocha tidak peduli dengan ocehan Nero mengenai barang-barangnya. Yang membuat dia terkejut adalah fakta bahwa Nero pindah ke rumah Ares dan memanggil Zia dengan panggilan 'Mama'!
"Kamu memanggil Tante Zia 'Mama'?" Ocha menatap horor Ares yang cemberut, sangat tahu kalau Ares tidak pernah suka orang lain—kecuali Ocha—memanggil Zia dengan sebutan 'Mama'. Tapi Nero? Memanggil Zia 'Mama'? Ocha menggelengkan kepala takjub, Nero memang hebat bisa menakhlukan Ares dan Zia.
"Kenapa memangnya? Nero juga boleh memanggil ibu, 'Ibu'."
Ares memutar bola mata bosan, tidak percaya kalau laki-laki asing macam Nero mampu menarik perhatian semua wanita, termasuk wanita yang sudah lanjut usia.
"Boleh, Tan?" Nero bertanya antusias.
Resti meangguk sambil tersenyum lebar, beliau memberikan masing-masing sepiring nasi goreng pada ketiga remaja itu. "Tentu aja boleh. Ayo dimakan, Zia menyuruh ibu untuk memberi kalian sarapan."
Nero mengangguk, teringat saat pagi-pagi sekali Zia membangunkannya dan Ares, mengatakan kalau beliau harus pergi keluar kota secara mendadak. Maka dari itu mereka langsung mengungsi ke rumah Ocha demi mendapat sarapan pagi.
"Enak, tidak?" Resti menatap Nero penasaran yang direspon dengan anggukan semangat serta acungan dua jempol oleh Nero, hingga membuat Ocha dan Ares melongo.
Kedua orang itu memandang Nero dengan seksama, pasti ada yang tidak beres, pikir mereka. Ketika Resti pergi keluar sebentar. Ocha dan Ares langsung menatap tajam Nero.
"Kamu pasti memasang susuk, ya?!" tuduh Ares tiba-tiba.
Nero menaikan sebelah alis.
"Kamu pasti memakai ilmu guna-guna untuk mengambil hati perempuan dan ibuku." Ocha ikut-ikutan, bingung melihat Resti yang seolah sangat menyukai Nero hingga menanyakan hal sepele seperti tadi. Bahkan Ocha yakin kalau Mamanya bertemu dengan Nero tidak lebih dari satu atau dua kali. Tetapi, mereka seolah sudah kenal lama dan sangat akrab.
Nero melongo. Susuk? Guna-guna?
"Ayo jujur!" seru Ocha dan Ares.
"Kenapa aku harus memakai hal seperti itu?" Nero benar-benar bodoh dalam hal seperti ini, bahkan ini pertama kalinya dia mendengar guna-guna dan apa kata Ares tadi, suk-suk? Sasuk? "Memang itu apa?"
Ocha dan Ares langsung menghempaskan diri ke punggung kursi sambil menatap Nero lekat-lekat, tampaknya laki-laki itu punya pesona yang mampu menarik semua perhatian para perempuan yang sejujurnya kurang normal karena tidak tahu seperti apa Nero sebenarnya. Ares sangat berharap jika Ocha tidak ikut-ikutan terpsona sama kecoak busuk bernama Abraham Chendra Vinero itu. Kalau hal tersebut terjadi, bisa-bisa hidup Ares terancam.
Ares mendesah, dia harus sesegera mungkin mengusir Nero dari rumahnya.
Lagi-lagi Ocha dan Ares dibuat heran saat Resti mengajak Nero masuk ke dalam ruangan tempat Resti menumpahkan semua fantasinya ke dalam sebuah lukisan yang membuat siapa pun terpesona melihatnya. Dan itu terjadi sekitar dua jam yang lalu, entah apa yang dilakukan Nero di dalam ruangan tersebut. Tidak mungkin kan Nero menyentuh Resti? Secara Resti itu jauh lebih tua dari Nero, masa Nero tertarik sama tante-tante. Dan Ocha juga tidak mau punya ayah tiri yang usianya sama seperti dia, terlebih ayah tirinya macam Nero. Amit-amit deh, pikir Ocha bergidik ngeri.
"Si kecoak busuk itu belum keluar juga?" tanya Ares, setelah kembali dari rumahnya untuk mengambil laptop. Dia berencana tinggal di rumah Ocha, bermain game atau jika Ocha mau, mereka bisa pergi jalan-jalan.
Ocha mengangkat bahu, ingin masuk ke dalam ruang kerja sang ibu tapi takut. Dia menghempaskan tubuh ke atas sofa dengan mata memicing menatap pintu. Andaikan mata Ocha punya kekuatan laser seperti mata Superman, pintu itu pasti sudah habis terbakar.
"Belum."
"Sial, sudah dua jam lho! Apa saja sih yang di lakukan kecoak itu?!"
Karena penasaran, kesal dan takut Nero mencuri start darinya dengan mendekati ibu Ocha agar membiarkan Ocha memilih Nero daripada Ares. laki-laki itu berjalan dan menempelkan telinga ke pintu, berusaha untuk mendengar apa yang sedang dibicarakan Nero atau Resti.
"Ohh ... emh, sebenarnya lebih cocok pakai warna maroon. Engg, kesannya elegan dan menggoda ..."
Ares membelalakan mata terkejut, apa maksud Nero barusan? Menggoda? Elegan? Astaga!
"Benar, lebih bagusan yg maroon. Nanti saya pakai."
Mata Ares terbuka sepenuhnya, bahkan hampir keluar dari kelopak matanya. Astaga, ini benar-benar gawat, pikir Ares. Tidak percaya kalau Nero rupanya tertarik sama tante-tante. Ares ingin mendobrak pintu dan mengintrogasi si kecoak asing yang datang tiba-tiba ke hidup mereka saat dia mendengar suara alunan melodi gitar Depapepe. Jelas itu bukan nada dering ponsel Ares atau pun Ocha, jadi ...
Ocha yang jaraknya sangat dekat dengan ponsel—kemungkinan besar—milik Nero. Langsung menunduk, melihat nama id pemanggil yang tertera di layar ponsel.
"Siapa?" bisik Ares, masih tetap berdiri di depan pintu ruang kerja Resti.
"Reno." Ocha menyahut dengan suara keras, dia berjalan menghampiri Ares sambil membawa ponsel Nero.
Ares menyuruh Ocha untuk men-silent ponsel Nero. Ocha menurut, dia melihat Reno berhenti menelepon lalu terbelalak kaget saat melihat wallpaper ponsel Nero.
"Ya Tuhan!" seru Ocha tidak percaya.
Ares langsung menoleh, tidak biasanya Ocha berseru menggunakan kata barusan. "Kenapa? Ada apa?" tanyanya panik, kemudian Ocha menunjukan foto yang menjadi wallpaper ponsel Nero. "Ya Tuhan!"
Ares merebut ponsel Nero dari tangan Ocha sambil mengamati foto perempuan kulit putih berbikini merah maroon yang menjadi wallpaper ponsel Nero. Kemudian dia teringat dengan kata-kata Nero yang menyarankan Resti agar memakai warna merah maroon.
"Ya Tuhan!" seru Ares lagi, meyakini apa yang dilakukan oleh Nero di dalam ruang kerja Resti. "Jadi si kecoak itu lebih suka pada tante-tante dibandingkan anak muda." Dia mendengus saat memikirkan suatu saat nanti Nero menjadi ayah mertuanya ketika dia menikah dengan Ocha.
Ares memutar bola mata, mana mau dia punya ayah mertua yang usianya sama seperti dirinya.
"Kenapa?" Ocha kebingungan melihat raut wajah Ares yang berubah-ubah.
Kemudian Ares menceritakan apa yang dia dengar dari dalam ruang kerja Resti. Kontan Ocha membelalak terkejut. Tidak akan membiarkan Nero mendekati sang ibu.
"Tidak bisa dibiarkan. Aku harus mencegah Nero sekarang! Mana mau aku punya ayah tiri seperti dia. Amit-amit."
"Kamu benar!" seru Resti dari dalam, membuat Ares dan Ocha siaga seketika. "Lihat, memang bagus. Cocok banget kalau sudah dipakai."
Ocha dan Ares saling pandang curiga, kecurigaan mereka hampir terbukti sekarang. Bisa saja di dalam ruang tersebut Nero sedang menyentuh Resti, meski Resti sudah cukup tua, tetapi wanita itu tidak kalah cantik dengan Ocha. Apalagi zaman sekarang banyak anak muda yang menikahi tante-tante bahkan nenek-nenek.
"Aaa-aaww ..."
Mereka berdua langsung menoleh ke pintu saat mendengar suara Nero seperti sedang ... mendesah?
"Pasti sakit?" Itu suara Resti.
"Ini pertama kalinya buat saya."
"Ya Tuhan, harus panggil Pak RT ini!" kata Ares panik, tidak salah lagi...
"Aku tidak nyangka. Ibu ..." Ocha menutup mulut, tidak tahu kalau sang ibu malah jatuh hati sama laki-laki remaja nan sinting macam Nero. Pantas saja akhir-akhir ini Nero selalu mendekatinya, bukan karena menyukai Ocha rupanya. Melainkan sedang pendekatan sebagai ayah tiri.
"Kalian kenapa?" tanya Resti begitu keluar dari dalam ruang kerja. Menatap Ocha yang sedang menelepon polisi agar mereka menangkap Nero atas tindakan pelecehan, lalu Ares yang terburu-buru pergi keluar untuk memberitahu Pak RT agar mengusir Nero dari lingkungan komplek rumah.
"Lho, Bu?" Ocha mengerjap, balik menatap sang ibu dengan kening berkerut karena Resti tampak baik-baik saja, bajunya juga masih rapi, tidak acak-acakan seperti sudah melakukan ....
Ares langsung berjalan menghampiri Resti. "Tante tidak apa?"
Giliran Resti yang kebingungan. "Kenapa memangnya? Tante baik-baik aja, kok. Cuma Nero, tangannya terluka."
"Hah?!"
Resti melenggang melewati mereka, membawa kotak P3K dan kembali masuk ke dalam ruang kerja. Ocha dan Area mengekor dari belakang, melongo melihat keadaan Nero yang baik-baik saja, tapi tangannya berdarah entah karena apa.
"Tangan kamu kenapa?"
Nero mengangkat kepala, tersenyum pada Ocha. "Tadi aku nyoba bukain kaleng cat pake tangan, tapi susah, terus gini, deh." Nero tersenyum lebar sambil memperlihatkan luka di jempol yang sedang diobati oleh Resti.
"Kenapa buka cat kaleng pake tangan? Suduh tau susah." Ocha melihat ke sekitar, tidak ada yang mencurigakan. Semuanya tampak baik-baik saja. "Terus kenapa kamu lama sekali di sini?"
Nero terlihat salah tingkah. "Soalnya yang warna maroon lebih cocok dengan warna baju kamu." Nero menunduk pelan. "Kalau yang itu, aku ... aku ..."
"Tadi Nero meminta Ibu untuk mengajarinya melukis." Resti berbinar. "Ibu baru tau lho kalau Nero bisa melukis. Lihat, mirip sekali denganmu 'kan." Resti menunjuk gambar lukisan yang dibuat oleh Nero.
Ares mencibir, tentu saja Resti baru tahu kalau Nero bisa melukis, toh mereka baru bertemu beberapa kali. Lain halnya dengan Ares dan Ocha yang sudah mengenal Nero cukup lama pasti heran kalau laki-laki itu bisa melukis sebagus itu.
"Ohh." Ocha langsung melirik Ares dengan tatapan beraninya-kau-membohongi-aku. "Dia sedang melukis, bukan macam-macam pada ibu," bisik Ocha, merasa bersalah karena sudah menganggap Nero yang tidak-tidak, untung Resti keburu keluar tadi. Kalau tidak pasti sekarang Nero sedang diseret oleh polisi dan warga komplek.
Ares menggaruk kepala lalu tersenyum selebar mungkin. "Habisnya dia mecurigakan, sih. Lagi pula 'kan aku tidak tau kejadian yang sebenarnya."
"Berisik!"
Ares merengut, merutuki dirinya yang sudah membuat Ocha marah. Pasti sekarang perempuan itu akan bersimpati pada Nero. Seringai Ares muncul, dia masih punya satu hal yang membuktikan bahwa Nero itu mesum.
"Lhaa di sana rupanya ..." Nero langsung menghampiri Ares lalu mengambil ponselnya. "Pantes aja bang Farel tidak bisa aku hubungi. ponselnya ada di kamu." Dia tersenyum lebar. "Kamu yang curi, ya?!"
Ares dan Ocha melongo. "Hah?!"
Jadi maksudnya itu bukan ponsel Nero, tapi punya siapa tadi—bang Farel?