Bab 6 Melamar
Bab 6 Melamar
"Kau bagaikan hantu yang nyata bagiku. Karena setiap saat aku melihat wajahmu, di saat itulah bayanganmu mulai menghantuiku."
-Goblin: The Lonely and Great God-
Nero memasukan barang-barang yang diperlukan ke dalam ransel, mulai dari pakaian laptop dan beberapa barang lain yang sekiranya bisa masuk ke dalam ransel. Lagi pula jika dia perlu apa pun, dia bisa pulang ke rumah ini dan mengambil barang yang dibutuhkan.
"Mau ke mana?"
Nero langsung menoleh ke arah sofa saat mendengar suara bariton yang dua bulan ini tidak pernah dia dengar. Nero tidak menghiraukan lelaki paruh baya itu, tetap berjalan menuju pintu depan.
"Mau ke mana?"
Nero berhenti sesaat. "Pergi."
"Bawa ransel?"
"Menginap di rumah temen, sampai ... beberapa bulan ke depan."
Aldo tidak berkata apa pun lagi, Nero menghela napas. Sepertinya sang ayah tidak peduli ke mana dia akan pergi. Nero meneruskan jalannya, memasukan ransel ke dalam mobil. Untuk terakhir kali, dia menatap rumah yang dahulu terasa begitu hangat ketika Bunda masih hidup, rumah yang selalu membuat Nero betah tinggal di dalamnya. Namun sayangnya, untuk beberapa bulan ke depan dia harus meninggalkan rumah tersebut demi bisa mendapatkan hati perempuan yang sudah mengambil hatinya sejak pertama kali bertemu.
"Saya pergi dulu." Nero tersenyum kecil, lalu masuk ke dalam mobil. Menatap rumah tersebut cukup lama lalu melajukan mobil dengan kecepatan sedang menuju rumah yang baru dia sewa.
***
"Untuk apa kamu datang ke rumaku?!" seru Ares saat melihat Nero duduk manis di sofa ruang keluarga. Dia menutup mulut dramatis. "Jangan-jangan kamu mau melamar Mamaku, ya. Ngaku!" Mata Ares menyipit curiga, dia duduk di hadapan Nero masih lengkap dengan seragam berantakan dan tas yang tersampir di bahu kiri, melipat kedua tangannya seolah sedang mengintimidasi Nero, meski hal tersebut sia-sia saja.
Nero terlihat begitu santai, dia duduk sambil menyilangkan kaki seolah sedang di rumah sendiri. "Aku memang mau melamar."
Mata Ares membelalak kaget. "APA KAMU BILANG?!!" Suara Ares menggelegar hingga burung yang bertengger di kabel listrik langsung terbang.
Nero tidak berjengit, dia menatap datar Ares "Melamar untik tinggal di sini maksudnya," sambung Nero.
"APA KAMU BILANG?!!"
"Ares, sudah berapa kali Mama bilang, jangan teriak-teriak. Kamu menakutin seisi komplek!" Zia berseru dari arah dapur lalu datang sambil membawa jus jambu untuk Nero.
"Buat aku mana?"
Zia mendelik. "Kalau kamu mau, bawa saja sendiri. Masih banyak di kulkas."
Ares langsung cemberut. "Kok begitu. Masa si kecoak itu dikasih aku tidak."
"Apa kamu bilang? Kecoak? Kamu sebut Nero kecoak? Anak setampan Nero disebut kecoak. Ya ampuun, Ares. Mama tidak pernah mengajari kamu seperti itu lho."
Wajah Ares semakin tertekuk, dia medengus sambil memandang ke arah lain. "Jadi menurut Mama si kecoak itu lebih tampan dari aku. Aku ini anak Mama, lho." Ares mulai dramatis, sikap bebalnya mendadak luntur hanya karena Zia lebih memilih Nero dibandingkan anaknya sendiri.
"Kamu memang anak Mama, tapi kamu tidak setampan Nero. Katanya Nero juga pintar, lho. Dia anak baik-baik, tidak seperti kamu."
"Apa? Si kecoak busuk itu Mama sebut baik? Asal Mama tau saja, si kecoak itu bukan anak baik-baik. Lagipula aku jauh lebih tampan darinya."
Nero tidak bersuara, dia hanya mengamati interaksi Zia dan Ares. Meski mereka berdebat, namun dia tahu kalau mereka sangat dekat dan saling menyayangi. Melihat mereka, Nero jadi teringat pada Bundanya yang meninggal empat tahun lalu. Jika saja wanita lembut itu masih ada sekarang, mungkin sekarang dia bisa seperti Ares dan Zia.
"Mulai sekarang, Nero akan tinggal bersama kita."
"Tapi ... kenapa?" Ares masih tidak setuju saat mendengar laki-laki yang paling dibencinya akan tinggal serumah dengannya. Dia melirik Nero yang sedari tadi hanya diam mengamati.
"Mama tadi melihat Nero sedang berjalan keliling komplek. Pas Mama tanya, Nero mengatakan kalau dia sedang mencari kontrakan. Yaudah, Mama menyuruh Nero untuk menyewa kamar di rumah ini saja."
"Benar." Akhirnya Nero bersuara, sikapnya berubah jadi begitu manis hingga membuat Ares ingin muntah. "Saya sangat berterima kasih pada Mama—"
"Kamu panggil mamaku apa? Mama? Memang kamu pikir mamaku itu mamamu?!"
"Ares! Jangan salahin Nero. Mama sendiri yang menyuruh Nero buat manggil Mama dengan 'Mama', biar kedengarannya lebih akrab."
Ares memutar bola mata, kesal karena Nero mampu mengambil hati sang ibunda dipertemuan pertama. Bahkan Zia sudah melupakan Ares yang notabenenya adalah anak kandungnya sendiri.
"Emang kamu bayar berapa perbulannya?"
Nero melirik Zia sekilas. "Tiga juta perbulan. Dibayar cash uuntuk tiga bulan ke depan."
Mulut Ares menganga, tiga juga perbulan? Dibayar lunas hingga tiga bulan ke depan. Besar juga, pantas saja Mamanya langsung menerima Nero begitu saja. Dia mendengus keras-keras, meski Zia adalah wanita baik-baik, namun Zia tetap wanita—meski sudah tua—yang suka sama uang.
"Pokoknya aku tidak menerimamu di rumahku." Ares bersikeras, bisa kacau kalau Nero benar-benar tinggal di rumahnya. Pasti laki-laki itu akan mendekati Ocha dengan sangat mudah. Hilanglah kesempatannya untuk mendapatkan hati Ocha jika saingannya adalah Nero. Sudah kalah tampang, sekarang Ares pun tidak punya banyak uang seperti Nero.
"Aku tidak meminta izin,u," balas Nero santai.
"Nero benar. Dia tidak perlu izinmu buat tinggal di sini. Mama sudah memberinya izin. Mulai sekarang Nero akan tinggal bersama kita. Toh lagi pula sayang 'kan satu kamar di rumah ini kosong. Daripada dijadikan gudang lebih baik disewakan saja. Kebetulan ada Nero yang datang menyari tempat kosan."
Nero mengangguk lagi, sedangkan Ares terus mencibir karena Nero ternyata bermuka dua. Di depan Zia dan Ocha, laki-laki itu bersikap sangat manis dan patuh. Tetapi, di belakang, kedua wanita itu pasti terkejut seperti apa Nero sebenarnya. Tentu saja Ares tahu seperti apa reputasi Nero di sekolah, benar-benar menakutkan. Dia saja tidak percaya akan berhubungan dengan laki-laki paling ditakuti di sekolah.
"Sekali lagi saya berterima kasih karena Mama sudah mau menerima saya di sini. Saya akan berjanji untuk tidak melakukan hal yang aneh-aneh di sini. Saya akan melakukan hal yang baik."
Zia mengangguk. "Sama-sama, apa sih yang tidak untuk kamu." Zia tersenyum lebar hingga membuat amarah Ares semakin tersulut, benar-benar tidak terima Zia bersikap baik pada Nero.
"Awas saja kalau kamu buat ulah di sini! Aku tidak akan segan-segan untuk mengusir kamu dari sini."
"Ares!"
Ares mendengus, dia masuk ke dalam kamar sambil membanting pintu. Nero sama sekali tidak terganggu dengan tingkah Ares, dia hanya menatap Zia yang sedang menjelaskan aturan di rumah ini. Zia akan memberi Nero sarapan, makan siang, dan makan malam karena Nero membayar sewa rumah sangat besar. Nero hanya mengangguk-angguk saja, toh selama ini dia hanya makan mie instan saja. Makan nasi pun sangat jarang, bahkan Nero bisa menghitungnya dengan jari.
"Sebaiknya kamu istirahat saja. Sudah malam, kamu juga pasti harus beres-beres juga."
"Oke, terima kasih." Nero mengangguk sekali lalu membuka pintu kamar barunya.
Nero melihat ke sekeliling, kamar ini tidak sebesar kamar di rumahnya. Tidak juga semewah kamar di rumahnya, namun entah mengapa rasanya kamar ini begitu hangat. Nero menyimpan ransel ke atas meja belajar, melihat jendela kamar yang sejajar dengan jendela kamar Ocha. Mendadak senyum lebar menghiasi wajahnya, tidak salah dia menghabiskan uang cukup banyak jika gantinya dia bisa melihat Ocha secara leluasa.
A. C. Vinero: Malam. Yang giat belajarnya supaya dapat nilai yang tinggi, setinggi menara Eiffel.
Nero mengirim pesan pada Ocha, meski dia ragu kalau Ocha akan membalasnya. Yang penting dia sudah memberi perhatian pada perempuan itu.
Ketika Nero sudah selesai membereskan semua barang-barangnya ke dalam lemari dan meja belajar, dia melihat ponselnya yang berkedip. Dengan sebelah alis terangkat, dia membuka pesan yang masuk. Tidak percaya karena Ocha membalas pesannya.
Ocha: Darimana kamu mendapat nomorku?
Nero terkekeh, dilihatnya gorden jendela Ocha yang tetutup. Namun lampu kamarnya masih menyala menandakan bahwa Ocha belum tidur. Dia langsung mendial nomor Ocha, langsung mendapat sambutan pada deringan kedua.
"Hai, Sayang!" sapa Nero, seharusnya dia sudah tahu kalau Ocha akan memarahinya habis-habisan, namun dia tetap menyapa Ocha seolah mereka sedang pacaran.
"Sayang kepalamu!" sembur Ocha disambut kekehan oleh Nero. "Dapat nomorku dari mana?"
Nero duduk di kursi, mengamati siluet Ocha. "Apa sih yang tidak bisa aku tau tentang kamu." Nero merengut. "Eh, kok kamu tau kalau yang mengirim sms itu aku?"
Nero bisa menebak kalau sekarang Ocha pasti sedang memutar bola mata kemudian menjawab, "Kamu pikir aku buta sampai tidak liat foto profile kamu yang menjijikan itu?!."
"Walau menjijikan yang penting tampan, kan?"
"Vinero!!"
"Panggil aku lagi dong ..."
"Hah?!"
"Kamu tau tidak, jantungku langsung berdebar cepat sekali waktu kamu memanggil nama aku. Untung aku masih hidup."
"Tolong deh, jangan berlebihan!"
"Aku tidak berlebihan. Aku sedang jujur."
"Aku lebih suka kamu jujur tentang dari mana kamu mendapatkan nomor ponsel ku."
"Emang kenapa?"
"Kalau kamu tau dari orang terdekatku, kalau aku ganti nomor kamu akan tau lagi. Mending kalau itu orang jauh."
Nero diam sesaat. "Kenapa kamu tidak mau aku mendekati kamu? Padahal perempuan-perempuan lain ingin menjadi pacarku."
"Aku bukan perempuan bodoh yang bisa jatuh hati padamu dengan mudah."
"Tapi aku akan berusaha membuat kamu jatuh hati padaku. tidak perlu cinta padaku, yang penting sayang saja."
"Ck, sepertinya kamu sedang mabok. Lebih baik aku tutup." Benar saja Ocha menutup telepon.
Nero tersenyum tidak jelas, dia kembali melihat kamar Ocha yang lampunya sudah padam. Dia menghela napas, melihat jam digital yang menunjukan pukul setengah sebelas malam. Pasti Zia sudah tidur, sedangkan Ares entah pergi ke mana. Tadi dia mendengar seruan Zia yang melarang Ares untuk keluar di malam hari.
Langkah Nero sempat terhenti saat melihat Ares masuk ke dalam rumah dengan keadaan yang cukup kacau. Sepertinya laki-laki itu ikut balapan liar, Nero hanya melirik Ares sekilas lalu kembali melangkah menuju dapur hendak mengambil air minum.
Baru juga menuangkan air ke dalam gelas, tiba-tiba Ares menarik kerah kaus oblong Nero dan menatap laki-laki itu dengan pandangan setajam silet.
"Apa alesan kamu tinggal di rumahku? kamu pikir aku bodoh karena tidak tau motif kamu tiba-tiba pindah ke sini, memberi uang banyak."
Nero mencoba untuk tenang, dia ingin melepaskan tangan Ares dari bajunya. "Menurutmu?"
"Berengsek! Aku bertanya padamu!"
Kening Nero berkerut saat mencium bau alkohol dari mulut Ares. Apa laki-laki itu mabuk? Nero berdecak, menepis tangan Ares dengan kasar.
"Mamamu pasti kecewa berat kalau tau kamu seperti ini."
Nero mendorong Ares menjauh lalu masuk ke dalam kamar, rasa haus yang sempat dia rasakan mendadak hilang gara-gara bertemu dengan Ares.
"Ocha ... Ares ... Ocha ... Ares ..." Nero menatap langit-langit kamar gelap, memikirkan kedua orang yang rupanya mempunyai arti peranan penting dalam hidupnya. "Ocha ... Aku sayang dia, tapi Ares ... Aku benci dia. Tapi benci bisa jadi cinta. Eh, masa aku suka padalaki-laki. Ocha lebih menggoda."
Dan sisa malam itu Nero habiskan dengan mengoceh tidak jelas layaknya orang gila.