Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 5 Samudera

Bab 5 Samudera

"Jika kamu tidak membiarkan sesuatu terjadi, maka takkan ada yang terjadi. Sekali pun itu adalah kehilangan seseorang yang kamu sayangi."

-Finding Nemo-

"Samudera?" potong Nero, tersenyum. "Saya sudah tahu. Bang Farel cerita banyak tentang Sam pada saya. Kayaknya bang Farel sangat sayang pada Sam, sampai-sampai dia nangis pas Sam pergi."

Dino diam, menatap Nero. laki-lakiberseragam itu menerawang.

"Saya iri pada Sam yang bisa dekat dengan bang Farel. Dia sepupu saya, tapi kami tidak terlalu dekat." Kemudian Nero menatap Dino sungguh-sungguh. "Saya menghargai dokter yang mau membantu saya, saya menghargai bang Farel yang meminta bantuan dokter. Tapi saya rasa, dokter tidak perlu repot-repot membantu saya."

Dino hanya menatap Nero, semakin lama dia menatap Nero, semakin jauh pemikirannya bahwa Nero sama seperti Samudera. Mereka berbeda, pikir Dino.

"Kenapa?" Akhirnya Dino membuka suara.

Nero mengangkat bahu, menyesap esspreso sambil memandang ke arah lain. "Tidak ada harapan untuk saya hidup. Meski sikap dan sifat saya sangat brengsek, tapi sepertinya Tuhan terlalu sayang pada saya, sehingga Dia tidak mau saya sembuh."

Dino mengerutkan kening, belum mengerti maksud Nero.

Nero mendesah tidak menyangka bahwa dokter yang kata Farel sangat jenius ternyata selelet ini. "Dokter belum lihat catatan medis saya, ya." Mata Nero menyipit. "Biar dokter tidak bingung. Saya jelaskan saja, kata dokter lain, kepala saya memiliki kelainan, mereka sering menyebutnya kanker otak, entah stadium berapa, saya tidak ingat—nanti dokter cari saja sendiri—saya bisa menjalani kemoterapi, tapi saya tidak mau. Kemoterapi itu 'kan menyakitkan. Kepala saya sudah sakit, saya tidak mau menambah rasa sakitnya lagi, hanya demi hal yang jelas sia-sia ..."

"Kamu bisa menjalani operasi. Beberapa orang yang mengidap kanker otak bisa sembuh dengan menjalani operasi."

Nero mengangguk membenarkan. "Mereka adalah orang-orang yang beruntung karena diberi kesempatan untuk sembuh." Nero menghela napas. "Tapi, biasanya saya selalu sial. Kalau saya menjalani operasi, nanti saya akan cepat mati. Padahal saya masih ingin hidup." Nero tersenyum saat bayangan wajah Ocha muncul di kepalanya.

"Kamu akan cepat mati kalau pesimis seperti ini." Dino menyeringai jahil, meski matanya berkata lain saat mendengar cerita Nero. laki-lakiitu bercerita tentang penyakitnya terlampau tenang seolah Nero menceritakan penyakit orang lain.

Nero menatap dinding kafe yang dipenuhi oleh berbagai coretan. "Saya tidak akan pesimis kalau saya bisa menjalani operasi. Kalau saja saya bisa sembuh dengan operasi sudah dari dulu saya lakukan. Tapi sayangnya tidak bisa."

Kali itu Dino terdiam cukup lama, mulai mengerti ke mana arah pembicaraan mereka. "Darah? Apa kamu memiliki golongan darah yang langka?"

Nero menjentikan jari, tidak terlihat panik layaknya Dino yang terkejut saat tahu mengapa sampai sekarang Nero tidak pernah menjalani operasi. "Nah, akhirnya dokter tahu. 90 deh buat dokter. Soalnya dokter agak lamban, sih."

Dino masih sedikit terkejut, dia menatap bingung Nero. Kenapa laki-laki itu tidak begitu peduli dengan keadaannya, di mata Dino, Nero seolah bahagia bisa mati muda.

"AB negatif?"

Nero menganggukan kepala. "Iya. AB negatif. Darahnya sangat langka, susah untuk didapatkan. Dokter yang lain sudah berjanji pada saya untuk memberi tahu saya kalau mereka sudah dapat darah AB negatif. Tapi sepertinya belum, deh."

Nero mengerutkan kening. "Itu sekitar setahun yang lalu. Susah, kan. Makanya saya menyerah saja. Siapa tau tiba-tiba Tuhan memberi mukjizat ke saya. Tapi tidak mungkin juga, sih. Saya 'kan orangnya brengsek. Ck, harusnya saya jadi anak baik saja kalau begini."

Nero tersenyum bahkan terkekeh, namun Dino tidak. Lelaki itu terus menatap Nero dengan raut bingung, ini pertama kalinya dia bertemu dengan laki-laki seperti Nero. Dino malah heran sendiri, apa Nero tidak sedih dengan keadaannya, apa Nero tidak peduli pada kondisi tubuhnya?

Demi Tuhan, Nero masih sangat muda. Mungkin usianya 19 tahun—Farel pernah cerita kalau Nero tidak naik kelas saat di SMP—tetapi kenapa ...? Dino mendesah, bahkan Samudera saja meninggal di usia yang sama seperti Nero. Setiap orang memang punya takdir masing-masing, tapi rasanya menanggung beban berat di usia muda rasanya sungguh tidak adil.

"Saya akan berusaha." Dino menatap Nero sungguh-sungguh. "Saya akan berusaha untuk mendapat darah AB negatif, tetapi selama saya mencari darah tersebut, saya mohon agar kamu mau menjalani kemoterapi."

Nero menelengkan kepala, humor di wajahnya menghilang tergantikan dengan wajah serius. Dia duduk tegak, kedua matanya yang berwarna hitam menatap Dino tajam.

"Kenapa? Kenapa dokter ingin saya sembuh? Kenapa dokter bersikeras agar saya menjalani kemoterapi?"

Dino balas menatap Nero tak kalah tajam. "Karena saya tidak mau melihat remaja meninggal di depan mata saya."

Nero berdiri. "Saya mohon, jangan menatap saya seolah saya adalah Sam. Saya tidak tau dan tidak kenal dengan Samudera. Jika dokter merasa bersalah karena tidak bisa menolong Sam, jangan jadikan saya sebagai pelampiasan. Meski itu dalam hal baik."

Dino tercengang, apa Farel bercerita banyak tentang Samudera sehingga Nero terlihat cukup kesal. "Saya tidak pernah nganggap kamu sebagai Samudera. Saya menganggap kamu sebagai pasien saya."

"Tapi saya belum memutuskan untuk berobat pada dokter." Nero tersenyum lebar hingga gigi putihnya terlihat. "Terima kasih atas teraktirannya. Lain kali saya yang teraktir."

Nero berlalu pergi meninggalkan Dino sendirian di kafe, saat berada diluar. Nero tidak langsung pergi, dia menekan kening ke dinding sambil mengerang pelan. Jika dia bicara beberapa menit sedang bersama Dino, mungkin dia pingsan di depan dokter lelet itu. Nero mengambil botol obat dari dalam saku celana, hanya menatap botol tersebut tanpa berniat membukanya padahal kepalanya serasa mau meledak.

"Percuma ..." Nero memasukan kembali botol tersebut ke dalam saku celana, berjalan sempoyongan menuju jalan raya. Hendak menghentikan taksi yang lewat.

Satu jam kemudian Nero tiba di sekolah, dia semakin kepayahan. Bahkan untuk turun dari taksi pun dia membutuhkan banyak tenaga, dia berhenti di depan gerbang sekolah yang masih tertutup. Setahu Nero, sekolah akan bubar sekitar satu jam lagi. Daripada menunggu di depan gerbang seperti gelandangan, Nero lebih memilih masuk ke sekolah lewat jalan belakang yang kebetulan tidak dikunci. Sepertinya Pak Arif lupa.

"Aishh," desis Nero saat dia hampir terjatuh padahal di depannya tidak ada hambatan sama sekali. Sepertinya kepalanya memang sudah mau pecah sekarang. Dia berjalan menuju kantin yang ramai oleh anak-anak yang dihukum oleh guru dan bolos seperti Nero.

Nero mengambil air mineral dan segera meminumnya bersama obat yang selalu siap sedia di kantung celana. Meski kepalanya masih sakit, setidaknya napasnya tidak terlalu sesak seperti tadi. Nero duduk di bangku sendirian, menyandar ke dinding sambil memejamkan mata.

"Itu Nero, kan?"

Nero mendengar suara anak-anak menyebut namanya. Namun Nero tidak peduli, dia masih memejamkan mata, rasa sakit di kepalanya lebih penting daripada omongan orang-orang.

"Dia sendirian? Ke mana Roland?"

"Mana aku tau. Emang aku ibu mereka. Eh, tapi untuk apa kamu nanya apa dia sendirian. kamu mau mengajak Nero berantem?"

"Sial, aku masih mau hidup."

Topik pembicaraan beralih pada Nero yang tidak pernah ikut tawuran. Padahal jika laki-laki itu ikut, pasti sekolah mereka akan menang telak. Mungkin Nero lebih suka berkelahi satu lawan satu, dibanding keroyokkan.

Sebagian besar anak-anak bandel yang suka tawuran atau buat onar di SMA Pertiwi pasti kenal banget sama Nero, sang algojo. Nero akan sangat menakutkan jika diusik. Pernah dahulu ada anak baru yang belum mengenal Nero, dengan bodohnya anak baru itu menantang Nero hanya karena Nero tidak sengaja menumpahkan jus jeruknya. Alhasil, anak baru itu dirawat di rumah sakit selama dua minggu dengan kaki dan beberapa tulang rusuk yang patah.

"12 MIA 1 sudah keluar belum?" Nero bersuara, matanya masih terpejam. Meski pelan, namun seisi kantin serempak diam. Mereka memandang Nero terkejut. Jarang sekali Nero mau bicara pada mereka. "Salah satu dari kalian ada yang dari MIA 1 tidak?" Nero kembali bertanya setelah hening untuk waktu yang cukup lama.

Nero menanyakan hal yang bodoh sejujurnya, di antara semua anak bandel di kantin mana ada yang masuk kelas MIA 1, kelas favorite di SMA Pertiwi. Namun tak urung, beberapa dari mereka menjawab pertanyaan Nero dengan ragu.

"Bukannya MIA 1 pulangnya suka paling akhir, ya."

"Iya juga, sih. Si Jeri dari MIA 1, kan? kamu telepon saja dia."

"Hey, sekarang mereka sedang ujian. Anak patuh nan baik seperti mereka mana ada yang memegang ponsel waktu ujian."

Terdengar kekehan dari seisi meja yang paling dekat dengan Nero. "Heeh, aku lupa."

Nero membuka mata, orang-orang disekitarnya terlihat berputar. Kontan dia kembali memejamkan mata sesaat lalu menatap mereka lagi.

"Siapa saja yang ikut tawuran minggu depan?" tanyanya membuat anak-anak bandel itu terkejut setengah mati.

"Kenapa? kamu mau ikutan?" Ada rasa harap di nada mereka.

Nero tersenyum miring, duduk tegak menatap mereka. "Kami pikir aku mau ikutan dalam hal-hal seperti itu? Eh, tapi kayaknya akan seru. Roland mau tidak ya kalau aku ajak?"

"Pasti mau!" seru laki-laki yang rambutnya tampak aneh, sepertinya laki-laki itu kena razia rambut. "Roland 'kan selalu mengikutimu."

Nero mengangguk. "Kapan acara pastinya?"

Kontan wajah semua orang di kantin berubah cerah, senang karena sekolah mereka akan menang kali ini. "Hari kamis atau jumat sepulang sekolah. kamu mau ikut briefing dulu tidak?"

Nero tersenyum kecil, bahkan tawuran pun briefing terlebih dahulu. Sungguh hebat anak-anak zaman sekarang. "Aku ikut saat perginya aja." Setelah itu Nero kembali memejamkan mata. "Jangan lupa beri tahu aku kalau MIA 1 sudah bubar."

"SIIIAAPP!! LAKSANAKAN!"

Nero tersenyum kecil, semakin lama kesadarannya semakin berkurang. Dia berusaha untuk tetap terjaga meski sia-sia karena rasa kantuk dan sakit di kepalanya lebih mendominasi.

"Apa Bunda akan baik-baik saja?"

"Semoga saja. Kamu berdoa saja, semoga Bundamu sadar kembali."

"Tapi ini sudah hampir dua bulan. Tapi, Bunda tidak sadar juga. Dia tidur terus."

Nero mengerang, dia ingin terbangun. Tetapi, seolah ditarik. Dia malah berada di pinggir jalan, hendak menyeberang tanpa menyadari kalau ada mobil truk yang melaju sangat kencang. Mata Nero terbelalak kaget, dia bisa saja mati andaikan truk tersebut tidak banting setir.

"AYAHH!!!"

Jeritan tersebut membangunkan Nero dari mimpi buruknya. Dia terengah, menatap ke sekeliling. Dia tidak berada di tengah jalan melainkan di kantin dengan Roland yang sudah duduk di hadapannya sambil makan indomie goreng.

"Akhirnya kamu bangun juga," kata Roland melihat Nero duduk tegak. "Tadi anak-anak mau membangunkanmu tapi tidak berani. Mereka takut dipukul karena menganggu tidurmu."

Nero tidak langsung merespon perkataan Roland, dia menghela napas lalu melihat ke sekeliling kantin yang masih ramai. Sepertinya kelas sudah bubar sehingga beberapa siswa memilih tinggal dahulu di kantin.

"Ocha sudah pulang sama Rena. Mereka naik motornya Rena, kalau kamu mau tau."

Nero hanya mengangguk. "Baguslah."

Roland menaikan sebelah alis, tumben Nero tenang-tenang saja mendengar Ocha sudah pulang. "Oh, iya. kamu tau tidak, katanya sekolah tetangga alias SMA Garuda bawa motor matik yang kebetulan menganggur di jalan deket sekolah. Bukannya itu Rossi, ya?"

Mulut Nero menganga. "APA?!! ROSSIKU DICULIK?!!"

Pangkal hidung Roland mengernyit, rupanya dia salah memberitahukan informasi ini pada Nero.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel