Bab 4 Pertemuan Dengan Dino
Bab 4 Pertemuan Dengan Dino
Nero kembali masuk ke sekolah dengan wajah murung. Dia benar-benar sedih ditinggal Rossi, padahal mereka baru saja bersama tapi sudah ada yang merebut Rossinya.
"Uangku ..." desah Nero, bahkan dia juga kehilangan banyak tabungannya demi membeli Rossi.
Nero cemberut sepanjang perjalanan menuju kelas, dalam hati menggerutu akan merebut kembali Rossinya. Dia akan membuat siapa pun menyesal karena sudah menculik selingkuhannya. Nero menatap kunci motornya, dalam hati bertekad tidak akan segan-segan untuk mematahkan leher orang yang menculik Rossinya.
Belum sempat Nero naik tangga menuju kelas, tiba-tiba Rena menghadang jalannya. Nero menatap Rena datar, sama sekali tidak terpengaruh dengan tatapan maut perempuan itu.
"Jujur padaku, apa yang kamu lakukan pada Ocha kemarin? Kenapa kalian berangkat bersama?"
Nero meneleng dan tersenyum miring. "Apa itu ada hubungannya dengamu?"
Rena mendelik. "Tentu aja, Ocha itu sahabatku. Dan aku tidak akan membiarkan kamu mempermainkan Ocha seperti kamu mempermainkan mantan-mantanmu."
Nero mencoba untuk sabar. "Apa aku keliatan seperti mau mempermainkan Ocha? Apa kamu tidak lihat bahwa aku benar-benar suka padana."
Rena terlihat ingin membantah, memangnya dia akan percaya kalau laki-laki semacam Nero menyukai Ocha pada pandangan pertama. Rena menunjuk wajah Nero, tatapannya begitu tajam menatap laki-laki itu. "Awas saja kalau mantan-mantan kamu mendatangi Ocha dan buat Ocha menangis. Aku akan langsung mendatangimu dan menghancurkan hidupmu."
Nero terkekeh, Rena pikir dia bisa menghancurkan dirinya? Apa perempuan itu tidak tahu siapa Nero?
Nero satu-satunya orang yang cukup disegani di sekolah. Meski Nero tidak terlihat seperti anak nakal yang suka tawuran, namun sebenarnya Nero lebih kejam dari siapa pun. Jika berkelahi maka setidaknya orang yang dilawan Nero akan dirawat di rumah sakit setidaknya satu minggu, jika Nero tidak suka pada seseorang, atau ada orang yang mengganggu Nero, maka Nero tidak akan segan-segan untuk menghancurkan hidup mereka.
Nero bisa melakukan apa pun, apalagi ayah Nero sangat kaya. Pasti keinginan apa pun akan terlaksana. Termasuk menghancurkan hidup seseorang entah itu perempuan atau laki-laki, entah mereka itu anak orang yang berpengaruh atau tidak. Asalkan mereka mengusik hidup Nero, laki-laki itu tidak akan segan-segan untuk mengganggu hidup mereka hingga mereka meminta maaf agar Nero meninggalkan mereka.
Tatapan Nero berubah dingin, dia mendekati Rena hingga jarak wajah mereka sangat dekat. "Sebelum kamu menghancurkanku, aku akan lebih dulu menghancurkan hidupmu ... sampai tidak bersisa," bisik Nero tersenyum kecil.
Rena mundur beberapa langkah, sedikit terkejut dengan perubahan sikap Nero yang tiba-tiba. Baru menyadari kalau Nero benar-benar sangat menakutkan.
"Rena, kenapa kamu di situ? Ayo masuk!" seru Ocha berlari menghampiri Rena tapi tidak jadi saat melihat Nero berdiri di depan Rena.
Nero tersenyum sangat lebar, wajah dinginnnya langsung hilang seketika, dengan riang dia berjalan menghampiri Ocha sampai membuat Rena keheranan dengan perubahan sikap Nero yang sangat cepat. laki-lakiitu menyapa Ocha, menanyakan kabar Ocha pagi ini padahal mereka bertemu setengah jam yang lalu, Nero juga menawarkan sarapan tapi ditolak mentah-mentah oleh Ocha.
"Jangan sok akrab denganku," desis Ocha, melihat tatapan orang-orang padanya. Tampaknya mereka heran melihat Nero dekat dengan dia.
Nero merengut. "Kenapa? Kamu, kan, pacarku."
Ingin rasanya Ocha memukul kepala laki-laki itu hingga benjol, namun tampaknya hal tersebut akan jadi tindakan yang cukup anarkis. Maka dari itu sebagai gantinya dia menginjak kaki Nero sampai membuat laki-laki itu mengaduh kesakitan.
"Sakit, Yang."
"Yang-yang, emang aku pacarmu. Berapa kali aku bilang, kamu bukan pacarku."
Tapi Nero tidak mendengarkan, dia malah menggandeng tangan Ocha. Menariknya hingga sampai ke kelas Ocha. Saat di depan kelas, Nero langsung menyapa Bu Agni yang baru saja masuk ke dalam kelas.
"Pagi, Bu!"
"Pagi, kamu untuk apa ke sini? Bukannya pergi ke kelas sendiri," kata Bu Agni yang sudah mengenal Nero sebagai pembuat onar paling meresahkan di sekolah.
Nero metersenyum lebar, dia mendorong Ocha masuk ke kelas hingga kembali menarik perhatian semua orang di kelas juga Bu Agni. Ocha menatap marah Nero, tapi laki-laki itu tidak peduli, dia malah semakin melebarkan senyumnya.
"Saya cuma mau mengantar Ocha ke kelas, setelah itu baru saya pergi ke kelas sendiri. Hitung-hitung menghindari Pak Ahmad dulu yang sepertinya suka sensi tiap melihat saya."
"Kamu itu ..." Bu Agni hanya mendesah, Nero memang benar-benar tidak bisa dirubah sedang kelakuannya.
"Tenang aja, Bu. Meski saya sedang patah hati karena Rossi meninggalkan saya, saya tidak akan bolos. Karena mulai sekarang saya akan belajar dengan baik, supaya"... —Nero menatap Ocha sayang—"Saya harus punya masa depan yang bagus demi Ocha. Supaya dia mau menerima cinta saya. Iya kan, Cha?"
"Apaan sih." Wajah Ocha sudah merah padam, bagaimana bisa Nero bicara sesantai itu pada Bu Agni. Apa Nero tidak malu?
"Kalian pacaran?" tanya Nico.
Nero mengeratkan genggamannya. "Sykurlah, Kami baru saja jadian kemarin." Sontak hal tersebut langsung mendapat sorakan dari seisi kelas, sedangkan Ocha sudah tidak punya wajah sedang untuk masuk ke dalam kelas.
"Selamat! Jangan lupa teraktirannya!"
"Witchwiww!!"
"DIAM KALIAN!!" seru Bu Agni, kontan semua anak langsung diam sesekali melihat Nero dan Ocha.
Dalam hati Ocha menggersah, gara-gara Nero, semua orang menganggap kalau dia pacarnya Nero sinting. Pasti semua orang akan menertawakannya.
Nero kembali menatap Ocha penuh perhatian. "Belajar yang benar, karena aku juga akan belajar yang benar untuk masa depan kita. Sana. Duduk di sebelah Rena, nanti pulangnya aku jemput."
Ingin rasanya Ocha memasukan Nero ke dalam karung lalu melemparnya ke sungai Amazon biar dimakan sama buaya sana.
"Kamu ini, mau belajar atau shooting drama Korea?" Bu Agni menggeleng tidak habis pikir dengan kelakuan anak zaman sekarang. "Ocha duduk. Dan kamu, Nero. Sana pergi ke kelas sendiri. Saya tidak terima murid lain."
Nero berpose ala tentara, menghormat pada Bu Agni. "Tentu. Demi Ocha. Mulai sekarang saya akan belajar dengan baik!" Nero melambai pada Ocha. "Aku pergi dulu, dah, Sayangg!"
Ocha hanya bisa menunduk malu, jika dia melihat Nero sedang akan Ocha pastikan untuk membunuh laki-laki itu.
"Nero!" seru Roland menghampiri Nero yang saat itu baru saja turun dari lantai dua.
Nero berhenti, menatap Roland dengan sebelah alis terangkat. "Ada apa?"
Roland terlihat ragu menyampaikan maksudnya, berkali-kali dia melihat ke sekitar lalu membisikkan sesuatu ke telinga Nero yang membuat laki-laki itu terkejut dan kesal setengah mati.
"Dia itu!" Nero berusaha menahan amarah, lalu dia menyeret Roland ke tempat sepi. "Di mana kamu liat dia?" Wajahnya berubah dingin, gigi gerahamnya bergelutuk.
"Kemarin malam, di tempat biasa." Roland mendesah. "Ada yang lihat—"
"Pantes aja dia tidak pulang semalam," potong Nero. "Terus, siapa aja yang lihat dia?"
"Firman."
Nero menutup wajah dengan kedua tangan. "Bodoh!" Dia mengumpat kesal, jika Firman tahu pasti semuanya akan kacau, apalagi Firman bukan orang yang suka jaga rahasia orang. Semuanya akan jadi sangat kacau kalau Firman membocorkan semuanya.
"Makasih sudah memberi tahuku." Nero berbalik, mengambil ponsel dari dalam saku.
Roland menahan tangan Nero. "Jangan bertindak sembarangan, Ner. Firman bukan orang yang bisa kamu bohongi. Dia cuma menganggap kamu anak SMA. Cuma bocah. tidak lebih."
Nero tersenyum kecil, meski tatapannya terlihat sedih. "Kalau aku tidak bisa menggunakan kemampuanku." Dia menerawang. "Aku cuma harus melakukan satu hal ... meski itu akan menghancurkan hidup aku sendiri."
Roland mendesah, memangnya Nero mau menghancurkan apa lagi? Hampir empat tahun bersahabat dengan Nero membuat Roland tahu segala hal tentang Nero termasuk hal ini. Hidup Nero sudah hancur, dan sekarang mau sehancur apa lagi?
"Sampai kapan kamu mau menutupi ini semua?" Roland mendesah. "Hidup kamu akan benar-benar hancur kalau kamu terus menutupi semua ini."
"Aku tidak punya pilihan lain, Land. Bagaimana pun juga, aku sudah janji pada Bunda." Nero tersenyum, teringat janjinya pada sang ibunda yang terkadang selalu memberatkannya.
Tiba-tiba ponsel Nero berbunyi, pesan dari Farel yang memberikan nomor ponsel seseorang beserta alamat kerja dan rumahnya.
Bang Farel: TEMUI DIA SEKARANG!!
A. C. Vinero: Aku sedang di sekolah, Bang
Bang Farel: Pokoknya temuin dia sekarang atau aku seret kamu ke sana.
A. C. Vinero: Tapi, Bang aku tidak bisa keluar sekarang. Wali kelas aku pasti mengamuk kalau aku bolos lagi.
A. C. Vinero: Bu Heni kan menyeramkan sekali.
Bang Farel is typing ...
Nero hanya berdecak, kalau sudah begini dia tidak bisa menghindar lagi. Farel akan mengomel semalaman jika dia tidak menuruti keinginan sepupunya itu.
"Kamu mau bolos?" Roland melirik Nero penasara. "Astaga, kemarin kamu juga bolos. Kalau Bu Heni marah gimana? kamu sudah kelas tiga lho, kalau nanti tidak lulus gimana?"
Nero tersenyum. "Tenang saja. Aku akan lulus, kok. Meski diurutan terakhir." Dengan penuh permohonan, dia meminta Roland untuk merahasiakan hal ini, dia harus menemui seseorang pagi ini, kalau tidak riwayatnya akan tamat.
***
Nero sengaja datang pagi karena tidak ingin terlambat menjemput Ocha nanti. Bagaimana pun juga dia harus gesit mendapatkan hati Ocha agar tidak didahului oleh si penganggu, Ares.
Someday Cafe
"Kenapa dia minta untuk bertemu di kafe?" tanya Nero masuk ke dalam. Dia melihat ke sekitar, menemukan seorang lelaki yang sangat mirip dengan foto lelaki yang dikirim Farel tadi.
"Maaf, saya datang terlambat," kata Nero begitu sampai di hadapan lelaki itu. "Temennya Bang Farel, kan? Dokter Dino?"
Lelaki itu tersenyum. "Iya, itu saya." Dia menatap Nero yang memakai seragam sekolah. "Seharusnya kamu berada di sekolah bukan di sini."
Nero menggaruk kepalanya lalu tersenyum. "Engg, gurunya sedang tidak ada."
"Alasan klasik." Lelaki itu mengulurkan tangan. "Saya sudah dengar banyak tentang kamu dari sahabat saya. Senang bertemu denganmu, saya Dino."
Nero membalas uluran tangan Dino. "Saya Nero."
Dino tersenyum miring. "Melihat kamu, saya jadi teringat pada sepupu saya."
"Sepupu?" Nero membeo, senyum miring tercipta di bibir tipisnya.
Dino mengangkat bahu. "Hem, dia dua tahun lebih tua darimu atau lebih mungkin. Namun dia sudah pergi tiga tahun yang lalu." Dino terlihat sedih. "Dia ..."